Oleh: Sri Lestari Pujiastuti, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

“Kertas, gunting, batu !” seorang anak berteriak, melempar tangannya yang terbuka ke depan. Diikuti dua anak lainnya yang menyodorkan tangannya yang mengepal. Tawanya tergelak. “Batu kalah dengan kertas. Aku menang !” serunya. Dua anak lain dengan wajah lesu menyodorkan wajahnya, siap untuk diberi goresan putih dari tepung sagu. Kertas bertekuk lutut pada gunting. Kertas menang dari batu. Batu lebih digdaya dari gunting. Suit ala Jepang adalah permainan yang populer di kalangan anak-anak.

Kertas

Pada sekitar tahun 105 M, seorang pegawai pengadilan kerajaan Cina bernama Ts’ai Lun melakukan sebuah percobaan dengan mencampur beberapa bahan seperti serat pohon Mulberry, kain bekas, dan sisa jerami. Hasil percobaannya Ts’ai Lun tersebut kemudian ini lah yang kita kenal dengan nama kertas. Ts’ai Lun mempersembahkan kertas kepada salah seorang kaisar dari Dinasti Han (202 SM – 220 M) yaitu Kaisar Ho Ti. Kaisar sangat gembira dengan hasil temuan Ts’ai Lun. Sebelumnya buku ataupun surat dan penyebaran ilmu pengetahuan dilakukan melalui media seperti sutra, kulit kambing, atau bambu. Sangat tidak praktis dan ekonomis.

Teknik dan formula pembuatan kertas terus disempurnakan, hingga kemudian penggunaan kertas semakin merebak di Cina. Pada abad ke-12 dengan menjaga rahasia teknik dan formula pembuatan kertas Cina memonopoli komoditas dan mengekspor kertas ke negara-negara Asia lainnya. Di tahun 751 M, kertas mulai digunakan di Timur Tengah, dan pada abad ke-14 berdirilah pabrik kertas di Eropa seperti di Spanyol, Italia, Prancis, dan Jerman. Penggunaan kertas semakin meluas setelah Johannes Gutenberg menemukan alat mesin percetakan pada tahun 1450-an.
 
Mengingat revolusionernya penemuan kertas oleh Ts’ai Lun, Stan Russo menempatkannya pada ranking ke tujuh belas dari lima puluh individu yang penting dalam sejarah dalam bukunya yang diterbitkan tahun 2005 berjudul The 50 Most Significant Individuals in Recorded History : A Rank in Descending Order (Inklings Press : 2005). Bahkan Michael H. Hart menempatkannya pada urutan ke tujuh dari seratus tokoh paling berpengaruh di dunia dalam buku lawasnya  yang berjudul The 100 : A Ranking of The Most Influential Person in History  (Citadel Press, Kensington Publishing Corp : 1978). 
 
Bahan baku dasar pembuatan bubuk kertas (pulp) adalah selulosa dalam bentuk serat dan hampir semua tumbuhan yang mengandung selulosa dapat dipakai sebagai bahan baku pembuatan pulp. Pada umumnya kayu yang digunakan adalah jenis Pinus dan Cemara, berbagai jenis Kayu Putih (dari jenis Eucalyptus globulus dan Eucalyptus grandis), atau kayu pohon akasia (paling sering adalah jenis Acacia mangium). 
 
Meskipun industri kertas terus didorong untuk berinovasi dengan mengembangkan teknologi yang berwawasan lingkungan serta pengelolaan industri dalam konteks industri hijau,  namun tidak dapat dipungkiri bahwa tingginya permintaan dunia akan kertas maupun pulp sudah barang tentu memerlukan pasokan bahan baku kertas yang tidak sedikit yaitu ketersediaan kayu. Menurut ilmuan UGM Prof. Dr. Sudjarwadi, pembuatan 1 rim kertas membutuhkan 1 batang pohon berusia 5 tahun. Sedangkan industri pulp sendiri sebagi pengolah kertas butuh 4,6 meter kubik kayu untuk memproduksi 1,2 ton kertas. Satu hektar hutan tanaman industri diperkirakan dapat menghasilkan 160 meter kubik kayu. Apabila industri pulp mampu memproduksi 3 juta ton kertas setiap tahun maka penebangan hutan akan mencakup areal hutan seluas 86.250 hektar.[1]
 
Revolusi Digital
 
Dimulai di tahun 1969 oleh Departemen Pertahanan Amerika atau DARPA (Defence Advance Research Project Agency sebuah proyek untuk mengembangkan jaringan komunikasi data antar beberapa komputer melahirkan cikal bakal internet. cikal bakal internet tersebut dinamai The Advanced Research Projects Administration (ARPNet) pada tahun 1972. Internet yaitu sebuah sistem global jaringan komputer yang saling menghubungkan antara satu dengan yang lain di seluruh penjuru dunia. Internet  menjadi penemuan yang sangat populer di abad ke-19 dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Penemuan internet ini melengkapi penemuan besar Charles Babbage yaitu Difference Engine di tahun 1821 yang merupakan asal muasal dari komputer. Pada tahun 1995, kehadiran  internet (interconnection-networking) semakin meluas yang ditandai dengan hadirnya penyedia jasa internet (ISP). 
 
Kertas mempunyai fungsi yang tidak melulu untuk kepentingan tulis menulis. Catatan saja, pada 2020 kebutuhan kertas dunia diperkirakan mencapai 490 juta ton, atau naik 24,3% dibandingkan kebutuhan tahun lalu sebanyak 394 juta ton.[2] Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (komputer dan internet) menjadi jawaban untuk menemukan alternatif pengganti kertas. Penemuan tersebut juga mendorong kegiatan masyarakat beralih dari manual ke dalam bentuk digital sebut saja beberapa contohnya mulai dari e-paper yang menggantikan koran, e-book yang menggantikan buku cetakan, sistem penagihan mengganti tagihan manual dengan e-billing atau e-mail yang mengubah kegiatan surat menyurat manual. Revolusi digital juga melahirkan cara baru dalam berdagang. Perdagangan online menjadi marak. Kita dengan mudahnya bertransaksi dengan siapa pun di belahan dunia ini hanya lewat sebuah gawai. 
 
Ekonomi dunia berlari bergerak ke arah digitalisasi. Pertanyaannya, bagaimana dengan pajak. Bukankah pajak dan pergerakan ekonomi di masyarakat selalu beriringan seperti dua sisi mata uang? Apa yang dapat dilakukan oleh Ditjen Pajak dan juga kita sebagai wajib pajak?
 
Digitalisasi Administrasi Perpajakan
 
Peluang pajak untuk bergerak ke arah digital sebetulnya telah dibuka oleh Ditjen Pajak melalui UU KUP Tahun 2000. Melalui beleid tersebut penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) tidak lagi dibatasi hanya dapat disampaikan secara langsung maupun melalui Kantor Pos, tetapi juga dapat disampaikan melalui cara lainnya yang diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. ‘Cara lain’ itulah yang kemudian dijadikan pintu masuk untuk digitalisasi dalam administrasi perpajakan. Pada tahun 2004 melalui Keputusan Ditjen Pajak Nomor KEP-88/PJ/2004, untuk pertama kalinya diatur lebih lanjut penyampaian SPT secara elektronik. Meskipun penyampaian SPT elektronik (e-spt) masih harus disampaikan melalui perusahaan jasa aplikasi (Application Service Provider) yang telah ditunjuk oleh Ditjen Pajak. 

Selanjutnya pada tahun 2005, Ditjen Pajak melalui Keputusan Ditjen Pajak Nomor Kep-05/PJ/2005 mulai menerapkan e-filing. Penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik (e-filing) adalah suatu cara penyampaian Surat Pemberitahuan yang dilakukan melalui sistem online yang real time. Berbeda dengan e-filing saat ini, pada saat itu e-filing masih harus dilakukan melalui ASP. Saat itu, pelaporan SPT Masa / Tahunan melalui e-filing juga terlebih dahulu harus dilengkapi dengan Electronic Filing Identification Number (EFIN) yaitu sebuah nomor identitas yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar kepada Wajib Pajak yang mengajukan permohonan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan secara elektronik (e-filing). Pelaporan SPT Masa / Tahunan melalui ASP mempunyai satu konsekuesi bahwa pelayanan tersebut tidak gratis alias berbayar.  

Dengan semangat memberikan layanan terbaik bagi wajib pajak, melalui Peraturan Ditjen Pajak Nomor PER-39/PJ/2011 Ditjen Pajak untuk pertama kalinya menyediakan layanan pelaporan SPT Tahunan secara e-filing melalui website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id). Layanan ini  masih terbatas bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi kriteria untuk menyampaikan SPT Tahunan menggunakan Formulir SPT Tahunan 1770S atau Formulir SPT Tahunan 1770SS.

Keuntungan pelaporan pajak secara online bagi wajib pajak yang dilakukan  melalui website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) atau langsung ke laman djponline.pajak.go.id adalah dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. SPT yang dilaporkan wajib pajak juga tercatat secara langsung (real time) dalam sistem informasi Ditjen Pajak dan terarsip dengan baik dalam akun wajib pajak. Administrasi perpajakan tentu akan menjadi lebih kredibel dan akuntabel.

Penyempurnaan fasilitas pelaporan pajak secara online dan dorongan kepada wajib pajak beralih dari melapor secara manual dengan menggunakan formulir kertas menjadi pelaporan pajak secara online terus diupayakan oleh Ditjen Pajak. Sejak tahun 2017 mendampingi e-filing dan untuk mengatasi kepadatan akses pada akhir masa pelaporan, Ditjen Pajak menyediakan pilihan baru cara pelaporan yaitu melalui e-form (layanan pengisian SPT elektronik secara offline). Layanan pelaporan SPT Tahunan elektronik di perluas meliputi semua jenis pelaporan SPT Tahunan baik yang menggunakan SPT Tahunan 1770S, SPT Tahunan 1770SS,  SPT Tahunan 1770, SPT Tahunan 1771 (kecuali SPT Tahunan 1770SS, tidak tersedia di layanan e-form).

Revolusi digital menyederhanakan banyak hal, menghemat waktu, biaya dan menjadikan dunia tanpa batas. Berdasarkan rilis Ditjen Pajak tanggal 20 Maret 2018,  jumlah SPT yang masuk hingga tanggal 19 Maret 2018 sebanyak 6,36 juta SPT. Jumlah ini meningkat 24,12% dibanding periode yang sama tahun 2017.[3] Sebuah kabar yang patut disambut dengan suka cita, sebab saya memandang kita sedang bergerak menuju sebuah titik kedewasaan untuk menjadikan keadaan lingkungan kita saat ini sebagai acuan dalam bertindak. Jadi, bagi kita sebagai wajib pajak untuk apa lagi menunggu menggunakan e-filing?(*)    

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.


[1] Jubilee Enterprise, Membangun Kantor Ramah Lingkungan dengan Internet, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2010

[2] http://www.kemenperin.go.id/artikel/8421/Kapasitas-Produksi-Kertas-dan-Bubur-Kayu-Bakal-Naik-di-2017

[3] http://www.pajak.go.id/selain-e-filing-djp-juga-miliki-e-form-layanan-pengisian-spt-elektronik-secara-offline