Integritas Adalah Budaya Kita, Bukan Korupsi

Oleh: Gania Hariani H, pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
Menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) pada kementerian yang bertanggung jawab menghimpun dan mengelola keuangan negara adalah sebuah prestise tersendiri. Tanpa peran Kementerian Keuangan, negara ini tak akan tegak berdiri dan melaju dalam pembangunan di semua bidang. Pun rakyat tak akan berada dalam kemakmuran dan ketenteraman hidup.
Dalam beberapa kesempatan pemberian motivasi internal untuk pegawai, kita mungkin mendengar bahwa kita pun layak dihargai setara dengan pahlawan bangsa. Ungkapan tersebut menurut saya pribadi tidaklah berlebihan.
Ketika di masa lampau para pahlawan harus mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan negara ini, maka ASN Kementerian Keuangan menghimpun dan mengelola dana pajak demi pembangunan negara dan kesejahteraan rakyat. Kesamaan yang mungkin relevan dengan para pahlawan kemerdekaan adalah ketika mereka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, maka pergumulan kita dengan penerimaan negara adalah demi kemerdekaan dan kemandirian ekonomi.
Kebanggaan Sebagai Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sayangnya kalau boleh jujur masih sering terjadi di antara kita, para ASN Direktorat Jenderal Pajak khususnya, enggan mengakui identitas sebagai pegawai DJP.
“Bapak bekerja di mana?”
“Oh, Ibu PNS. Di kantor apa ya, Bu?”
Ketika seseorang menanyakan hal itu, apa jawaban kita? Saya yakin, beberapa di antara kita akan memilih untuk menjawab secara diplomatis. Atau bahasa gaulnya ngeles. Alih-alih mengakui terus terang sebagai pegawai Kementerian Keuangan atau DJP, kita lebih suka menjawab dengan cara apa pun sepanjang tidak menyebutkan nama institusi yang konon kita cintai dengan penuh percaya diri.
Apa yang menjadi alasan maraknya fenomena “ngeles” ini, tentunya kita sama-sama menyadari. Setelah bertahun-tahun kita bersama-sama institusi tempat kita mengabdi, Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Pajak, menggulirkan kampanye dan edukasi tentang budaya bersih bebas korupsi yang kita anut, tidak dipungkiri masih banyak masyarakat yang menganggapnya sekadar simbol belaka.
“Nagapain bayar pajak, toh nanti dikorupsi juga!”
“Bayar pajak sama saja memperkaya segelintir orang. Kita yang susah-susah kerja, mereka yang menikmati…”
Masih sering bukan, kita mendengar atau membaca ungkapan ini?
Persepsi positif masyarakat tentang alokasi dana pajak dan pertanggungjawabannya memang masih harus terus diperbaiki. Salah satu yang bisa memberi tanggapan tepat dan terbaik adalah mereka yang diamanahi untuk menghimpun dana pajak. Para pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
Sekalipun kita tidak sepenuhnya memegang kendali atas penggunaan dana yang telah kita himpun dari wajib pajak, setidaknya kita punya ‘beban moril’ untuk mengedukasi apa dan bagaimana pajak berperan bagi kehidupan rakyat Indonesia. Tentunya komitmen kita untuk menjaga diri dari tindakan korupsi mendukung citra positif sebagai pegawai DJP, sehingga kita tak perlu repot-repot menutupi identitas kita.
"Berani melakukan perubahan dan melawan korupsi adalah sesuatu yang membuat kita lebih dihargai," begitu Ibu Sri Mulyani Menteri Keuangan kita pernah menyampaikan.
Apakah Korupsi Budaya Kita?
Lely Azizah dalam Gramedia Blog menyebutkan budaya berasal dari dua bahasa. Menurut bahasa Sansekerta budaya berasal dari kata buddhayah yang berarti budi atau akal. Sedangkan menurut bahasa Inggris budaya dikenal dengan kata culture (yang kemudian diserap menjadi bahasa Indonesia “kultur”) yang memiliki makna mengolah atau mengerjakan.
Budaya dikaitkan dengan budi dan akal manusia, merupakan pola atau cara hidup yang berkembang di antara sekelompok orang yang selanjutnya diturunkan pada generasi berikutnya. Poin penting lain yang juga harus diketahui tentang budaya adalah nilai dari budaya itu sendiri. Nilai dari suatu budaya akan diterapkan sebagai pedoman hidup dalam bertingkah laku oleh masyarakat (Yusuf Abdhul, 2021).
Maka pertanyaannya adalah, apakah nilai-nilai yang kita anut, telah menggambarkan bagaimana akal dan budi luhur manusia pada umumnya?
Menyinggung tentang budaya, masyarakat kita dikenal memiliki budaya untuk saling memberi atau membalas jasa. Sebaliknya, tanpa kita sadari, seringkali kita mengharapkan balasan dari orang lain atas jerih payah yang kita lakukan. Sebagaimana disebutkan di atas, budaya melibatkan akal dan budi ketika diimplementasikan ke dalam sebuah pola hidup. Maka manusia hendaknya memikirkan kembali esensi dari balas jasa yang ia pahami, apakah akan mencederai integritas dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain atau tidak.
Mengadopsi Nilai Integritas
Integritas sendiri seringkali dihubungkan dengan suatu kebajikan atau karakter yang baik (Audi & Murphy, 2006). Dalam perkembangannya integritas sering dikaitkan dengan upaya pencegahan korupsi, sehingga salah satu indikator yang paling sering disebutkan untuk menggambarkan sifat orang yang berintegritas adalah kejujuran (Gunardi Endro, 2017).
Integritas sebagai salah satu nilai-nilai Kementerian Keuangan direpresentasikan dengan cara berpikir, berkata, berperilaku dan bertindak dengan baik dan benar serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral. Nilai inilah yang seharusnya dipahami sebagai budaya organisasi, sekaligus budaya yang diaplikasikan dalam pola pikir dan perilaku para pegawai.
Seiring dengan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang diperingati setiap tanggal 9 Desember oleh seluruh dunia, tak seharusnya kebanggaan kita pegawai Direktorat Jenderal Pajak, sebagai pahlawan penghimpun dana pembangunan, luruh oleh stigma yang tidak tepat. Selain mengemban amanah penerimaan negara, kita juga sejatinya mengemban amanah untuk memperjuangan kesadaran masyarakat terhadap budaya antikorupsi.
Perjuangan yang Belum Usai
Tema yang diusung Kementerian Keuangan pada peringatan Hakordia tahun 2021 adalah "Perkuat Budaya Antikorupsi, Wujudkan Kemenkeu Satu yang Tepercaya, Menuju Indonesia Tangguh dan Tumbuh". Pemilihan tema ini menunjukkan bahwa upaya-upaya meningkatkan awareness serta memperkuat budaya integritas para pegawai akan terus dilakukan.
Ketika kita berdalih bahwa penyimpangan dan pelanggaran integritas hanya dilakukan oleh oknum dan individu tertentu, maka seluruh organisasi akan ternoda. Kita pun akan geram dan merasa terluka bukan?
Bagaimana pun juga setiap individu menjadi bagian dari kelompok ketika terbentuk suatu budaya. Maka kita diharapkan peduli dengan lingkungan terdekat, saling menguatkan dan mengingatkan. Atas dorongan lingkungan terdekat pula sifat tamak manusia bisa teredam atau sebaliknya, mengalahkan kesadaran diri. Pegawai DJP dan Kementerian Keuangan selayaknya bersatu padu, menguatkan hati dalam menyelami arus godaan yang tiada henti menghayutkan integritas.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 325 kali dilihat