Oleh: Thearizky Cintari Sylvanita, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merupakan institusi pemerintah di Indonesia yang mengawali dilakukannya reformasi birokrasi yang dimulai pada tahun 1983 yaitu pada sistem pemungutan pajak yang semula Official Assessment System menjadi Self Assesment System. Reformasi tersebut berlanjut hingga tahun 2017, DJP melakukan reformasi perpajakan yang disebut dengan Reformasi Perpajakan Jilid III.

Reformasi Perpajakan Jilid III berfokus pada perbaikan lima pilar institusi. Kelima pilar tersebut yaitu bidang organisasi, sumber daya manusia (SDM), teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, serta peraturan perundang-undangan. Dari kelima pilar ini, teknologi informasi dan basis data sebagai pilar ketiga merupakan tulang punggung (back bone) dalam Reformasi Perpajakan Jilid III. Salah satu pelaksanaan dari reformasi dalam teknologi perpajakan adalah dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Core Tax System atau Sistem Inti Perpajakan.

Core Tax System ini dimaksudkan untuk menciptakan sistem administrasi perpajakan yang lebih efektif dan efisien serta memiliki fleksibilitas yang tinggi, yaitu dengan menyediakan dukungan terpadu bagi pelaksanaan tugas DJP termasuk otomasi proses bisnis mulai dari proses pendaftaran wajib pajak, pemrosesan surat pemberitahuan dan dokumen perpajakan lainnya, pemrosesan pembayaran pajak, dukungan pemeriksaan dan penagihan, hingga fungsi taxpayer accounting. Ini juga merupakan jawaban atas tantangan yang dimiliki DJP mengenai pelayanan dan proses bisnis perpajakan yang harus menyesuaikan perilaku wajib pajak masa kini yang semakin memanfaatkan teknologi untuk kemudahan hidup. Wajib pajak ingin semuanya serba praktis. Meskipun dari DJP sendiri menargetkan proses pengadaan Core Tax System baru bisa efektif pada tahun 2021, namun kesiapan para pegawai DJP sebagai pemberi layanan tersebut harus dimatangkan mulai dari sekarang. Pegawai DJP kali ini semakin dituntut untuk melek dengan perkembangan teknologi dan informasi yang ada, terutama dalam lingkup DJP sendiri agar dapat memberikan pelayanan dan konsultasi yang prima kepada wajib pajak.

Berbicara masalah perkembangan teknologi, bukan hal yang asing apabila masalah tersebut selalu dihubung-hubungkan dengan generasi yang paling dekat dengannya, bahkan bisa dibilang tidak bisa lepas darinya. Ya, generasi milenial (millennials). Generasi milenial atau kadang juga disebut dengan generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah Generasi X, yaitu orang yang lahir pada kisaran tahun 1980-2000an. Maka, ini berarti generasi milenial adalah generasi muda yang berumur 17- 37 pada tahun ini. Generasi milenial memiliki ciri khas tersendiri, yaitu mereka lahir ketika handphone dan media sosial mulai muncul di Indonesia, sehingga wajar apabila generasi ini lebih melek teknologi dibanding generasi-generasi sebelumnya. Di Indonesia, dari jumlah 255 juta penduduk yang telah tercatat, terdapat 81 juta merupakan generasi milenial, yaitu generasi yang berusia 17- 37 tahun. Jumlah tersebut sangat banyak dan signifikan, mengingat populasi generasi milenial sudah mencakup 30 persen dari total penduduk di Indonesia.

Generasi milenial dikenal memiliki sifat yang lebih toleran terhadap sesamanya. Hal ini dipengaruhi oleh arus globalisasi yang semakin cepat, di mana anak-anak muda sekarang dapat berinteraksi dengan manusia dari berbagai belahan dunia. Arus globalisasi menciptakan interaksi langsung dan tidak langsung yang lebih luas antar umat manusia, yang tidak mengenal batas-batas antara negara satu dengan negara yang lain. Perkembangan teknologi membuat para generasi milenial tersebut mengandalkan media sosial sebagai tempat mendapatkan informasi. Oleh sebab itu, globalisasi dan teknologi membuat generasi milenial menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan, wawasan mereka terhadap keberagaman pun menjadi lebih luas sehingga timbul sifat toleran yang cukup tinggi dari generasi ini, sehingga mereka pun menjadi generasi yang lebih cepat mempelajari suatu hal yang baru dan asing bagi mereka.

Di dalam Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sendiri, setiap tahunnya mengalami kenaikan jumlah penerimaan pegawai baru. Pada tahun 2018, Kemenkeu menerima 2.000 pegawai baru, lalu pada tahun 2019 ini meningkat penerimaannya menjadi 2.880 pegawai baru. Menkeu Sri Mulyani mengatakan dari sebanyak 2.880 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang dibutuhkan Kemenkeu paling banyak dialokasikan untuk DJP yaitu sebanyak 1.721 orang atau 60% dari jumlah CPNS Kemenkeu. Formasi ini untuk kebutuhan sangat mendesak, yaitu untuk meningkatkan capaian kepatuhan pajak, target penerimaan pajak dan untuk meningkatkan Account Representative (AR). Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa di dalam DJP akan mengalami banyak regenerasi posisi dan jabatan, tentunya kebanyakan dari generasi milenial lah yang akan mengisi posisi dan jabatan tersebut.

Dirjen Pajak, Robert Pakpahan pun mengungkapkan akan harapannya kepada generasi milenial seperti yang dikutip dalam laman resmi DJP (Rabu, 29/5). Beliau menyebut keberadaan anak muda di tubuh DJP menjadi kunci keberhasilan otoritas di masa mendatang. Hal tersebut disampaikannya saat berkunjung ke Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Kalimantan Timur dan Utara (Kaltimra). Menurut beliau, sinergi dan koordinasi dalam bekerja menjadi faktor yang sangat krusial. Apalagi, porsi kaum muda mendominasi komposisi pegawai otoritas pajak. Fakta ini harus menjadi peluang untuk mengoptimalkan Reformasi Perpajakan. Beliau juga mengharapkan adanya ide-ide segar dari para pegawai dari generasi milenial menjelang pemutakhiran Core Tax System. Perbaikan sistem data ini menjadi krusial karena data menjadi sumber kekuatan DJP, selaku institusi penunjang perekonomian Indonesia. Generasi milenial menjadi harapan akan keberhasilan tercapainya maksud dan tujuan dilakukan Reformasi Perpajakan, khususnya pada pilar teknologi informasi dan basis data yang seharusnya menjadi ‘makanan’ bagi generasi milenial DJP.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja