Ganti Definisi Pajak di UU Pajak

Oleh: Ahmad Dahlan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pajak merupakan mata pelajaran di sekolah yang paling diingat istri saya, itu pun tidak lengkap. Hanya dua dari beberapa unsur yang teringat dari definisi pajak, yakni “bersifat memaksa” dan “tidak mendapat imbalan secara langsung.” Selain kedua hal itu, dia tidak ingat apa-apa lagi hal pelajaran semasa sekolah.
Mendapati kenyataan itu, saya berasumsi bahwa dua unsur tersebut yang paling diingat oleh masyarakat kita tentang pajak. Namun, dua unsur tersebut yang justru paling menimbulkan persepsi negatif perihal pajak. Padahal unsur lainnya merupakan sesuatu yang positif, salah satunya adalah “digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pengertian pajak secara lengkap sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2017 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Barangkali itulah salah satu penyebab kurang populernya pajak di mata masyarakat. Saya mencoba membahas salah satu unsur pengertian pajak yang dipersepsikan negatif itu, yakni “tidak mendapat imbalan secara langsung.” Unsur lainnya yakni “bersifat memaksa” jika tidak ada aral melintang akan saya bahas dalam tulisan lain.
Mengubah Frasa
Yang dimaksud dengan tidak mendapat imbalan secara langsung adalah bahwa para pembayar pajak tidak langsung menerima manfaat pajak yang dibayar. Hal ini misalnya berupa perbaikan jalan raya di daerah pembayar pajak, fasilitas kesehatan gratis bagi keluarga, beasiswa pendidikan bagi anaknya, dan lainnya. Ini yang membedakan pajak dengan iuran lain, misalnya iuran/premi asuransi. Para pembayar premi asuransi tentu akan mendapat manfaat secara langsung berupa perlindungan.
Namun, apakah masyarakat pembayar pajak tidak akan memperoleh manfaat dari pajak yang dibayarkan? Tentu saja dapat, berupa infrastruktur dan fasilitas umum, fasilitas pendidikan, pengembangan transportasi umum, fasilitas kesehatan, keamanan dan ketertiban, dan lain-lain. Apalagi di masa pandemi Covid-19 sekarang ini, sebagian dari hasil pajak dikembalikan kepada masyarakat dalam rangka penanganan dampak pandemi.
Sayangnya kesan yang ditangkap masyarakat adalah tidak mendapat imbalan atau tidak mendapat manfaat dari membaca frasa “tidak mendapat imbalan secara langsung” dalam pengertian pajak. Hal demikian bisa dipahami karena kalimat itu diawali dengan kata “tidak mendapat” yang memang berkonotasi negatif.
Tanpa mengubah substansi, kita dapat memperbaiki frasa tersebut menjadi “mendapat imbalan secara tidak langsung”. Dengan mengubah peletakan kata pada frasa tersebut, kita dapat membuat para pembaca yang semula berkonotasi negatif (tidak mendapat imbalan) menjadi positif (mendapat imbalan). Karena memang faktanya para pembayar pajak akan mendapat imbalan dari pajak yang dibayarkan, tetapi secara tidak langsung.
Mengubah Substansi
Pengertian pajak sebagai sesuatu yang bersifat memaksa dan bagi para pembayarnya tidak mendapat imbalan secara langsung sepertinya sudah mendarah daging di Indonesia, baik bagi para pembayar pajak maupun para aparat perpajakan itu sendiri. Sehingga apabila ada wajib pajak yang menuntut diberikannya imbalan atas pajak yang dibayarkan, aparat pajak berkilah bahwa itu tidak mungkin karena sudah digariskan dalam undang-undang.
Apakah paradigma itu memang sudah tidak bisa diubah? Perubahan adalah sesuatu yang niscaya. Termasuk juga seharusnya perubahan paradigma perpajakan.
Di beberapa negara, paradigma bahwa pembayar pajak tidak mendapat imbalan secara langsung sudah mulai ditinggalkan. Hal ini dapat diartikan bahwa para pembayar pajak akan mendapat imbalan secara langsung, misanya mendapat manfaat berupa jaminan hari tua. Dari pajak yang dibayarkan saat ini, akan ada alokasi sekian persen sebagai semacam premi asuransi untuk jaminan hari tua. Hal ini bisa diterapkan kepada pembayar pajak orang pribadi.
Di Indonesia, barangkali sudah saatnya berpikir ke arah sana. Mungkin diawali dengan diberikannya fasilitas tertentu bagi para pembayar pajak, sebagaimana yang saat ini sedang dirintis oleh Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Jakarta Utara. Kepala Kanwil DJP Jakarta Utara Edi Slamet Irianto sedang membangun paradigma baru pelayanan perpajakan berbasis kepatuhan.
“Dalam paradigma lama, semua wajib pajak berhak mendapatkan pelayanan yang sama. Dengan paradigma baru, manajemen pelayanan akan diubah, yaitu dengan pelayanan berbasis kepatuhan pajak. Artinya, pelayanan atau treatment yang diberikan akan dibedakan berdasarkan klasterisasi pembayar pajak,” tulis Kepala Kanwil DJP Jakarta Utara.
Untuk mengubah paradigma tersebut, cara yang paling efektif adalah dengan mengubah definisi pajak secara substantif dalam undang-undang. Definisi pajak dapat diubah dengan menghilangkan frasa “dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung”.
Selagi ada usulan perubahan RUU KUP di Senayan pada saat ini, tidak ada salahnya saya turut mengusulkan perubahan pengertian pajak yang termaktub dalam undang-undang tersebut yakni dengan 2 alternatif. Pertama, mengubah frasa “tidak mendapat imbalan secara langsung” menjadi “mendapat imbalan secara tidak langsung”. Dan yang kedua, mengubah secara substantif yakni dengan menghilangkan frasa “tidak mendapat imbalan secara langsung”.
Demikian, semoga bermanfaat.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 1445 kali dilihat