Dana Perimbangan, Flypaper Effect, dan Upaya Penguatan Penerimaan Daerah

Oleh: Nifail Al Ahza, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Kebijakan otonomi daerah pada dasarnya adalah penguatan kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) agar pembangunan di daerah terjadi secara merata dalam lingkup nasional. Untuk melaksanakan kewenangannya, belanja daerah ditopang oleh pendapatan daerah yang terdiri dari tiga komponen yaitu: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah (Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah).
Dana Perimbangan dialokasikan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) sebagai salah satu tugas strategisnya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 Dana Perimbangan, dalam Pasal 1 ayat (8) disebutkan bahwa dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Kemudian, Dana perimbangan terdiri dari tiga jenis yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Dana perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Pada akhir tahun 2022, Indonesia telah memiliki 38 provinsi. Provinsi baru itu adalah Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya. Pemekaran daerah berpotensi menimbulkan dampak pada dana perimbangan. Penambahan jumlah provinsi atau kabupaten akan menimbulkan penambahan pembiayaan bagi pemerintah pusat. Apalagi hal ini didukung oleh fakta bahwa sebagian besar daerah justru terlalu bergantung pada kiriman "amplop" dari pusat dan kurang mampu memaksimalkan potensi daerah untuk menggerakkan penerimaan yang berkelanjutan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (2021) rasio rata-rata PAD dan total pendapatan daerah berada di angka 37,5% di mana hanya 14 dari 34 provinsi memiliki rasio di atas rata-rata. Dari 14 provinsi ini kemudian hanya delapan di antaranya yang memiliki rasio lebih dari 50%.
Flypaper Effect
Dana perimbangan memiliki fungsi yang signifikan. Dalam konteks kebijakan publik, dana perimbangan merupakan solusi untuk menutup celah fiskal atau fiscal gap antara belanja daerah dengan PAD di daerah tersebut. Jika dimanfaatkan dengan baik, output berupa pemenuhan fasilitas dan pelayanan masyarakat pada tiap-tiap daerah akan menjadi ideal. Namun demikian, kiriman dana yang bersifat "pasti" dari pusat seharusnya tidak mematikan potensi penerimaan daerah.
Ketimpangan rasio antara PAD dan total pendapatan daerah memperlihatkan sebuah fenomena yang disebut sebagai flypaper effect. Metafora yang melekat pada sistem pemerintahan desentralisasi ini pertama kali muncul pada artikel yang terbit dalam jurnal The Stimulative Effects of Intergovernmental Grants: Or Why Money Sticks Where It Hits yang ditulis oleh Gramlich, Courant, dan Rubinfeld (1979). Pada saat itu, mereka sedang mencoba mencari penjelasan atas fenomena alokasi dana hibah oleh pemerintah federal yang dianggap "tidak sesuai" sehingga menyebabkan kesenjangan rasio postur dana belanja pemerintah lokal. Flypaper effect secara sederhana dapat dideskripsikan sebagai sebuah fenomena di mana pemerintah daerah sangat bergantung pada bantuan dana dari pemerintah pusat, tapi kurang mampu untuk memaksimalkan PAD miliknya sehingga tidak menciptakan rasio yang setara dalam komponen total pendapatan daerah yang akan digunakan untuk belanja daerah. Akibat dari hal ini adalah ketimpangan sumber belanja daerah yang sebagian besar ditanggung pemerintah pusat dan menjadi beban berkepanjangan apabila tidak segera ditangani.
PKS dan UU HKPD
Pemerintah telah berupaya mengatasi ketimpangan rasio antara PAD dan total pendapatan daerah. Salah satunya adalah dengan pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama (PKS) pertukaran data yang dilaksanakan oleh DJP, DJPK, dan Pemda. Lebih lanjut, aturan mengenai kelengkapan data yang diinformasikan oleh pihak Pemda kemudian diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.03/2017 Tahun 2017 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan Dengan Perpajakan. Kegiatan ini kemudian menghasilkan Daftar Sasaran Pengawasan Bersama (DSPB) yang berisi hasil penyandingan data antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
DSPB dapat dimanfaatkan untuk melakukan penggalian potensi perpajakan bagi pusat dan daerah. Sebagai contoh dalam kegiatan jual-beli tanah dan/atau bangunan, seperti yang kita ketahui dari sisi penjual akan membayar Pajak Penghasilan Final (PPh Final) Pengalihan Tanah dan Bangunan dengan dasar pengenaan pajak (DPP) berupa nilai pengalihan untuk melunasi kewajiban pajak pusat. Sedangkan di ranah pajak daerah, wajib pajak pembeli membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dengan DPP adalah nilai perolehan dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Atas data yang diperoleh dari PKS berupa nilai pengalihan dan nilai perolehan, dapat disandingkan untuk menggali potensi. Atas selisih lebih antara nilai pengalihan dikurang nilai perolehan, akan menjadi potensi BPHTB, dan sebaliknya.
Kegiatan PKS sudah berada di tahap V pada tahun 2023. PKS tahap I dilaksanakan pada tahun 2019 yang melibatkan Pemda di tujuh kota di tujuh provinsi. Lalu, disusul oleh PKS tahap II pada tahun 2020 dengan 78 Pemda, tahap III pada tahun 2021 dengan 83 Pemda, tahap IV pada tahun 2022 dengan 86 Pemda, dan tahap V pada tahun 2023 dengan 113 Pemda. Sehingga total sampai dengan saat ini terdapat 367 Pemda dengan komposisi 270 kabupaten, 77 kota, dan 20 provinsi yang berpartisipasi dalam PKS.
Ordonansi yang mengatur optimalisasi penggalian potensi perpajakan dan pemanfaatan data bersama telah diupayakan oleh pemerintah. Pertama, melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) pada tanggal 5 Januari 2022, yang mencabut berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. UU HKPD bertujuan untuk mewujudkan alokasi sumber daya nasional yang efisien dan efektif melalui HKPD yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna pemerataan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, HKPD berlandaskan empat pilar utama, yaitu mengembangkan sistem pajak yang mendukung alokasi sumber daya, penurunan ketimpangan vertikal dan horizontal, peningkatan kualitas belanja daerah, dan harmonisasi kebijakan fiskal pusat-daerah.
Kedua, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PP KUPDRD) yang disahkan tanggal 6 Juni 2023. Aturan turunan ini merupakan hukum formil yang menjelaskan ketentuan umum dan tata cara pemungutan pajak daerah termasuk di dalamnya adalah kebijakan earmarking dan opsen yang sebelumnya belum diatur dalam UU PDRD.
Dana perimbangan dan penerimaan daerah melalui pajak telah dilakukan di seluruh dunia sebagai bagian dari alat kebijakan desentralisasi. Sangat mustahil membuat sebuah pemerintah daerah yang sepenuhnya terlepas dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, sangat penting untuk terus melakukan peninjauan dan pembaruan secara sistematis dan kontinu untuk menyesuaikan berbagai efek yang tidak disengaja (seperti flypaper effect). Kunci dari keberhasilan desentralisasi adalah peran pejabat publik sebagai penentu besaran Dana Perimbangan. Pemberian Dana Perimbangan yang tepat guna adalah satu langkah untuk mencapai penghematan APBN dan penggalian potensi pajak daerah secara bersamaan.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 256 kali dilihat