Bystander Effect, Kelalaian yang Merugikan Sesama

Oleh: Sinta Agustin, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“Bisa minta tolong ajarin materi kemarin, nggak?” Ini adalah pesan terakhir yang muncul dari salah satu grup Whatsapp, sebut saja Grup Kampus. Tiga puluh menit berlalu dan tak terlihat jawaban apapun dari 43 partisipan perbincangan tersebut. Padahal si pengirim pesan berharap dengan membawa permasalahan ke lingkup yang lebih luas, solusi akan lebih mudah didapatkan, alih-alih mengiba kepada teman secara personal.
Bystander effect, merupakan situasi di saat orang hanya memilih untuk menjadi pengamat, menyaksikan bahaya yang terjadi, namun tidak melakukan apapun untuk membantu atau menghentikan kejadian tersebut. Bystander effect sering dikaitkan sebagai “efek pengamat” dan “difusi tanggung jawab”. Sebagai contoh kasus Grup Whatsapp di atas, seluruh partisipan selain pengirim pesan, merasa tidak bertanggung jawab langsung untuk memberikan bantuan. Sehingga hanya bertindak sebagai pengamat, serta berharap dan meyakini bahwa ada orang atau partisipan lain yang akan membantunya.
Tak dapat dipungkiri, kita pun sering berhadapan dengan kejadian seperti ini. Permintaan bantuan yang diujarkan secara pribadi, mau tak mau timbul rasa tanggung jawab tersendiri. Sebaliknya, jika dilontarkan kepada kelompok yang lebih besar, pada umumnya yang terjadi hanya saling senggol menyenggol, berharap ada orang lain yang bersedia menolong.
Kasus Bystander Effect
Fenomena bystander effect mulai mendapat perhatian sejak kasus Kitty Genovese pada tahun 1964. Dikutip dari pijarpsikologi.org, kasus tersebut bermula ketika Kitty sedang pulang dari pekerjaannya sebagai manajer bar pada pukul 03.00 dini hari. Saat itu Kitty memarkirkan mobilnya dan berjalan menuju apartemennya di Queens, New York City. Kala itu Winston Moseley sedang mengincar seseorang pada malam itu dan Kitty yang menjadi sasarannya. Merasa ada yang mengikuti, Kitty langsung berlari menuju apartemennya, namun terlambat karena Winston Moseley sudah berhasil menyerang dan menusuknya.
Saat itu Kitty berteriak minta tolong dan beberapa lampu di sekitar apartemen mulai dinyalakan. Salah satu tetangga keluar dan si Monsley lari dan bersembunyi, tetapi tetangga tersebut malah menutup jendela. Tidak ada satupun tetangga yang keluar untuk membantu. Moseley kembali dan menikam Kitty berkali-kali, merampok, dan memperkosa Kitty. Kitty terus menangis minta tolong dan serangan tersebut berlangsung sekitar 30 menit. Sebanyak 38 orang mungkin telah menyaksikan pembunuhan Kitty dan diwawancarai oleh polisi, tetapi tidak ada yang keluar untuk membantunya atau menelepon polisi.
Kasus tersebut pada akhirnya menarik peneliti psikologi sosial, Bibb Latane dan John Darley, serta mencetuskan teori baru, yaitu bystander effect. Menurut Latane dan Darley, kejadian yang menimpa Kitty Genovese tersebut disebabkan oleh dua hal utama.
Pertama, adanya difusi tanggung jawab yang merupakan akibat dari kehadiran orang-orang lain. Oleh karena kehadiran orang-orang lain tersebut, seseorang yang turut melihat/mendengar sebuah kejadian yang memerlukan pertolongan tidak begitu merasa butuh untuk melakukan sesuatu, sebab “melakukan sesuatu” tersebut dirasa merupakan tanggung jawab bersama.
Kedua, adanya kebutuhan untuk bertindak dalam langkah-langkah yang dianggap benar dan dapat diterima secara sosial. Kehadiran orang lain menyebabkan seseorang yang turut melihat/mendengar sebuah kejadian yang memerlukan pertolongan tidak langsung memberikan bantuan, melainkan memerhatikan reaksi dari orang-orang di sekitarnya terlebih dahulu. Jika orang lain tidak melakukan apapun, seorang individu biasanya mengartikannya sebagai penanda bahwa tidak dibutuhkannya suatu reaksi apapun.
Dalam kehidupan sehari-hari, marak ditemukan kasus bystander effect yang tidak kita sadari. Aneka unggahan viral yang kerap kita nikmati, banyak diantaranya merupakan buah dari fenomena efek pengamat yang sesungguhnya amat merugikan. Sebagai contoh, viralnya video penumpang gerbong khusus wanita yang dimaki-maki oleh seorang ibu lanjut usia. Dalam video tersebut terlihat bahwa tidak ada satu pun penumpang di sekelilingnya mencoba melerai hingga petugas keamanan datang untuk meredakan suasana. Pun bagi pengambil gambar tersebut, tidak terlihat upaya untuk menawarkan bantuan, alih-alih malah mencari pembenaran dan simpati dengan mengunggahnya pada media sosial.
Gotong Royong
Dalam budaya Indonesia, gotong royong merupakan suatu istilah yang telah membumi. Kerap digunakan sebagai doktrin rasa kekeluargaan, gotong royong merupakan manifestasi konkret dari semangat kebersamaan antar-masyarakat dalam bantu-membantu dan tolong-menolong.
Manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial yang sejatinya membutuhkan bantuan orang lain dalam menjalani roda kehidupannya. Dari mulai rumah tangga, masyarakat, hingga kehidupan bernegara dapat terlaksana dengan munculnya sikap gotong royong. Masyarakat akan secara otomatis menawarkan bantuan kepada sanak saudara maupun tetangga sekitar apabila ada penyelenggaraan suatu acara. Bahkan seringkali mengorbankan kepentingan sendiri semisal menunda atau meniadakan aktivitas yang sedianya harus mereka lakukan pada saat itu.
Memupuk sikap gotong royong dipercaya mampu meminimalisasi kasus bystander effect yang kerap tidak disadari. Dengan meningkatkan empati terhadap sesama, serta lebih peduli terhadap lingkungan sekitar, dapat menciptakan pribadi dengan jiwa sosial yang tinggi. Kehidupan masyarakat yang lebih harmonis, mengedepankan sinergi antar penduduknya, dengan mudahnya akan terwujud.
Fenomena bystander effect tak hanya terjadi dalam lingkungan sekitar saja. Dalam lingkup yang lebih luas, kurangnya kepedulian akan pembangunan negara, menjadi salah satu ciri seorang bystander. Dengan merasa bahwa masih banyak kontributor lain, serta minim sensitifitas terhadap layanan atau ruang publik, bystander akan merasa bahwa kontribusinya tak memiliki pengaruh yang cukup signifikan. Kurangnya rasa memiliki dan tak terdapat imbalan secara langsung, kerap menjadi alasan masyarakat malas untuk berkontribusi.
Peran dari masyarakat merupakan kunci utama kesuksesan pembangunan pada suatu negara. Mulai dari pejabat tinggi, tokoh masyarakat, hingga masyarakat pada umumnya memiliki andil terhadap keputusan pembangunan. Pajak merupakan salah satu sumber utama untuk menjalani roda kehidupan bernegara.
Generasi muda merupakan ujung tombak keberhasilan Indonesia. Kesadaran milenial dibarengi dengan rasa cinta tanah air mampu mewujudkan sinergi yang melekat pada kehidupan sehari-hari. Pembangunan Indonesia mampu diwujudkan melalui semangat gotong royong, salah satunya berupa kontribusi terhadap aspek perpajakan semenjak dini. Tak hanya menjadi wacana semata, sikap gotong royong wajib diterapkan agar tidak serta merta terkikis oleh budaya individualis yang insensitif terhadap sekitar. Dengan memunculkan kepedulian dan rasa memiliki, tak hanya mampu meningkatkan kontribusi, tetapi juga dapat menghilangkan ketidakacuhan yang muncul dalam fenomena bystander effect. (*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 2429 kali dilihat