Oleh: Nela Gustina Muliawati, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Broken Windows merupakan sebuah teori kriminologis yang menyatakan bahwa tanda-tanda nyata kejahatan, perilaku anti-sosial, dan kekacauan sipil menciptakan lingkungan perkotaan yang mendorong timbulnya kejahatan dan kekacauan lebih lanjut, bahkan sampai dengan kasus kejahatan berat.  

Nama teori ‘Broken Windows’ berasal dari hasil pengamatan atas jendela-jendela yang pecah di permukiman penduduk. Jendela yang dibiarkan pecah memicu pecahnya jendela lain yang disebabkan adanya persepsi bahwa perilaku vandalisme diperbolehkan sehingga menimbulkan rasa aman untuk melakukan hal tersebut.  Apabila dibiarkan begitu saja, hal ini akan memicu aksi vandalisme yang lebih parah bahkan sampai dengan aksi pembobolan.

Dengan kata lain, berdasarkan teori ini, kejahatan atau kekacauan yang mengerikan merupakan akibat dari kejahatan atau ketidakteraturan kecil yang dibiarkan atau tidak ditindaklanjuti sehingga mendorong orang lain untuk berbuat hal yang sama atau bahkan lebih keji dari itu.

Teori tersebut pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan sosial James Quinn Wilson dan George Lee Kelling dalam artikelnya yang berjudul ‘Broken Windows pada majalah The Atlanctic Monthly yang dimuat pada bulan Maret 1982. Artikel tersebut mencuri perhatian masyarakat luas dan banyak dikutip dalam tulisan-tulisan tentang kriminologi.  Lebih dari itu, teori tersebut bahkan diterapkan di kota New York pada pertengahan 1980-an ketika Goerge Lee Kelling diangkat sebagai konsultan untuk Otoritas Transit New York.

Otoritas Transit New York menerapkan teori tersebut untuk mengatasi tingkat kejahatan di New York yang sangat tinggi. Ada sekitar 2.000 kasus pembunuhan dan 60.000 kasus kejahatan berat yang terjadi setiap tahun di New York. Penerapan teori tersebut dimulai dengan membuat kebijakan baru atas pengelolaan kereta bawah tanah yang dilaksanakan oleh George Kelling bersama Direktur Kereta Bawah Tanah David Gunn. Kebijakan baru itu berupa pembersihan kereta dari coretan grafiti. Pembersihan dilakukan setiap malam untuk memastikan bahwa kereta tersebut bersih ketika akan dipakai keesokan harinya. Pembersihan coretan grafiti dilakukan sebagai simbol tindak lanjut atas adanya ‘Broken Windows’ (coretan grafiti).

Selain itu, teori ‘Broken Windows’ juga diterapkan oleh Kepala Polisi Transit William Bratton dalam mengamankan kereta bawah tanah. William Bratton memutuskan untuk mengambil tindakan keras terhadap orang yang tidak membayar biaya kereta. Sebelumnya, orang-orang yang tidak membayar biaya kereta dibiarkan begitu saja karena dianggap hal sepele oleh kepolisian dan masih ada kejahatan besar yang harus ditangani. William Bratton percaya bahwa penghindaran biaya kereta merupakan simbol kejahatan kecil (Broken Windows) yang akan mengundang kejahatan yang lebih besar.

Penerapan teori ‘Broken Windows’ diyakini oleh Malcolm Gladwell, dalam bukunya yang berjudul “The Tipping Point: How Little Things Can Make Big Difference”, sebagai penyebab turunnya angka kriminalitas di New York pada masa 1990-an. Lebih lanjut, Malcolm Gladwell menyebut fenomena tersebut sebagai ‘The Power of Context’, yaitu sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa manusia sangat sensitif terhadap lingkungan mereka. Artinya, perubahan kecil dalam lingkungan manusia akan sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia. Terkait dengan kejahatan di New York, ‘The Power of Contextmenyatakan bahwa untuk mengatasi kejahatan besar tidak harus menyelesaikan kasus atau masalah yang besar tetapi mulailah dengan menyelesaikan masalah yang kecil, seperti membersihkan coretan grafiti dan menindak tegas para penghindar biaya kereta.

Teori tentang kriminologi ini mengajarkan bahwa sesuatu yang besar berawal dari hal-hal kecil. Bahkan mungkin hal kecil tersebut sering kali tidak disadari dan kadang disepelekan. Selain itu, teori tersebut juga mengajarkan untuk memperhatikan sesuatu secara mendetail atau terperinci. Mungkin dalam bahasa yang lebih ekstrem adalah tanpa toleransi. Segalanya harus baik, tidak ada ketidakaturan yang bisa ditoleransi. Kelihatannya memang sedikit mengerikan. Namun, begitulah cara kerjanya. Sebuah perubahan kecil merupakan awal dari perubahan besar, baik perubahan ke arah yang positif maupun ke arah yang negatif.

Teori tersebut semestinya juga berlaku untuk kejahatan pada bidang lain, misalnya pada bidang perpajakan. Kejahatan perpajakan dapat diartikan sebagai perbuatan atau tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum perpajakan sehingga merugikan keuangan negara. Kejahatan perpajakan dapat dilakukan oleh siapa saja. Meskipun demikian, pelaku utama dari tindak kejahatan perpajakan, tidak lain dan tidak bukan, adalah wajib pajak dan fiskus.  

Kejahatan yang dilakukan wajib pajak dapat berupa penggelapan pajak, penghindaran pajak, dan perilaku melawan hukum lainnya. Sementara itu, kejahatan yang dilakukan fiskus dapat berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kejahatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan besar perpajakan.

Berdasarkan teori ‘Broken Windows’, kejahatan besar perpajakan berawal dari kejahatan kecil yang diabaikan. Sementara itu, ‘The Power of Context mengajari kita bahwa untuk mengatasi kejahatan besar sebaiknya dimulai dengan menyelesaikan masalah-masalah kecil.

Masalah kecil itu dapat berupa pelayanan pajak yang kurang optimal, fasilitas kantor yang kurang baik, maupun tingkat kesadaran pajak masyarakat yang masih kurang. Masalah tersebut merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir sebagian besar kantor pajak di Indonesia, termasuk KPP Pratama Sukoharjo.

Kini, KPP Pratama Sukoharjo sedang melakukan perubahan-perubahan kecil, baik perubahan fisik kantor maupun perubahan kebijakan kantor. Perubahan tersebut terjadi sejak datangnya Kepala Kantor baru, yaitu Agus Hernawanto Purnomo.

Ada banyak perubahan yang dibawa Agus Hernawanto Purnomo untuk KPP Pratama Sukoharjo. Perubahan yang paling mencolok adalah perubahan fisik kantor. KPP Pratama Sukoharjo telah mengalami perbaikan di area tertentu, misalnya toilet kantor. Selain itu, KPP Pratama Sukoharjo juga dipercantik dengan adanya wallpaper dinding yang cerah ceria. Yang tidak kalah menarik adalah ditempelnya sticker besar bertuliskan “Pajak Kuat, Indonesia Maju” di dinding kaca pada TPT (Tempat Pelayanan Terpadu).

Selain perubahan fisik kantor, Agus Hernawanto Purnomo juga membuat beberapa kebijakan kantor. Salah satunya adalah kebijakan tayangan TV pada TPT (Tempat Pelayanan Terpadu). Sebelumnya, tayangan yang muncul pada TV ruang TPT adalah tayangan program televisi yang disediakan oleh stasiun TV.  Dengan adanya kebijakan baru tersebut, tayangan yang muncul pada TV kantor adalah tayangan iklan layanan masyarakat dari Direktorat Jenderal Pajak, bukan lagi acara-acara dari stasiun TV.

Lebih dari itu, Agus Hernawanto Purnomo juga membuat kebijakan tentang penggunaan ruang konseling. Pegawai yang memakai ruang konseling diharuskan untuk menjaga kerapihan dan kebersihan ruang konseling. Sebelumnya, ruang konseling sering terlihat berantakan dengan banyaknya berkas yang tertinggal di dalamnya. Nampaknya belum muncul kesadaran untuk menjaga kerapihan ruangan maupun menjaga keamanan dokumen. Setelah dibuat kebijakan tersebut, ruang konseling kini terlihat rapih dengan berkas yang tertata sekaligus indah dengan wallpaper barunya.

Perubahan-perubahan kecil yang terjadi di KPP Pratama Sukoharjo dapat diibaratkan sebagai tindak lanjut atas adanya ‘Broken Windows’ atau langkah kecil sebagai awal dari perubahan besar seperti yang dinyatakan ‘The Power of Context’.

Tindak lanjut dari ‘Broken Windows’ terlihat dari adanya kebijakan tentang penggunaan ruang konseling. Kebijakan tersebut telah menyelesaikan masalah berkas yang berantakan. Dalam hal ini, berkas yang berantakan merupakan ‘Broken Windows’ yang dapat memicu ketidakaturan lebih lanjut.

Sementara itu, penerapan ‘The Power of Context terlihat dari adanya langkah kecil dalam memperbaiki fisik kantor dan langkah kecil dalam memberikan edukasi perpajakan.

Perubahan fisik kantor merupakan langkah kecil untuk menyediakan suasana yang nyaman bagi pegawai maupun wajib pajak. Dengan suasana kantor yang cerah ceria diharapkan dapat memberikan energi positif dan memunculkan perilaku positif lebih lanjut.

Sementara itu, yang dimaksud langkah kecil dalam memberikan edukasi perpajakan adalah adanya  penempelan sticker “Pajak Kuat, Indonesia Maju” dan kebijakan tayangan iklan layanan masyarakat dari DJP pada TV Kantor. Pemasangan sticker tersebut telah berkontribusi mengenalkan slogan baru DJP kepada wajib pajak sekaligus memberikan pemahaman bahwa pajak itu penting untuk kemajuan negara, sedangkan tayangan iklan layanan masyarakat pada TV Kantor turut berkontribusi dalam memberikan informasi terkini seputar perpajakan kepada wajib pajak.

Itulah beberapa perubahan kecil yang terjadi di KPP Pratama Sukoharjo. Semoga perubahan kecil ini akan menjadi awal dari perubahan besar bagi KPP Pratama Sukoharjo dan juga Direktorat Jenderal Pajak. Semoga!

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.