Oleh: Putu Dian Pusparini, pegawai Direktorat Jenderal Pajak 

 

Kita hidup di abad ke-21 ketika zaman sudah sangat berkembang dan tidak seperti zaman nenek moyang kita. Sektor industri yang semakin hari semakin pesat membuat kegiatan manusia sehari-hari menjadi semakin mudah. Penggunaan energi listrik, kendaraan bermotor, hingga penyemprotan pestisida bagi tanaman adalah beberapa contoh semakin praktisnya kehidupan manusia sekarang.

Sayangnya, semua kegiatan tersebut memiliki dampak negatif. Sama seperti koin, setiap hal selalu memiliki dua sisi. Kegiatan manusia tadi menimbulkan gas-gas seperti karbon diokasida (CO2), metana (CH4), dinitrida oksida (N2O), dan lainnya. Gas-gas ini merupakan penyumbang gas rumah kaca yang berperan besar dalam pemanasan global.

Di negara empat musim, penggunaan rumah kaca sudah menjadi lumrah. Hal ini dikarenakan suhu di malam hari yang cenderung rendah dan akibat dari penurunan suhu yang signifikan menyebabkan banyak tanaman menjadi mati. Alhasil, para penanam menggunakan rumah kaca sebagai perangkap suhu panas matahari di siang hari agar suhu di malam hari tetap hangat.

Dengan metafora ini, bumi juga mengalami hal serupa. Gas yang dihasilkan oleh kegiatan kita tadi akan terperangkap di atmosfer bumi dan menyebabkan pemanasan global. Hal tersebut dapat memberikan dampak seperti mencairnya es di kutub, perubahan iklim ekstrem, serta naiknya ketinggian permukaan air laut.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengamanatkan pemerintah untuk menjaga keselamatan rakyat termasuk memitigasi risiko yang diakibatkan oleh pemanasan global. Lalu apa hubungannya dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP)?

Peran DJP

Salah satu fungsi pajak adalah regulerend, yaitu menggunakan kebijakan untuk mengatur baik sosial maupun ekonomi masyarakat. Dengan penerapan pajak terhadap gas emisi rumah kaca, perusahaan dapat menekan produksinya dan membuka kesempatan investasi ramah lingkungan.

Pemerintah berencana memperluas basis perpajakan dengan menerapkan pajak karbon. Hal ini menjadi salah satu usulan materi dalam rancangan Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Sama seperti penjelasan di paragraf sebelumnya bahwa pajak karbon ini nantinya akan ditujukan untuk mengurangi pencemaran lingkungan.

Fungsi pajak yang lainnya adalah budgetair, yaitu mengumpulkan pundi-pundi uang untuk pendapatan negara. Hasil dari pajak karbon ini akan dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim. Basis pajak ini direncanakan akan dikenakan untuk orang pribadi dan/atau badan yang melakukan aktivitas yang menghasilkan  karbon dan/atau membeli barang yang mengandung karbon.

Pajak Karbon

Kalau begini apakah pajak karbon disamakan dengan skema Pajak Pertambahan Nilai (PPN)? Jika dipikir-pikir, gas seperti karbon dioksida tidak termasuk ke dalam negative list Barang Kena Pajak (BKP). Yang termasuk dalam BKP hanyalah barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya seperti gas bumi, sesuai dengan Pasal 4A UU No 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Jika kita telaah lagi dari subjek pajak karbon yaitu orang pribadi dan/atau badan yang melakukan aktivitas yang menghasilkan karbon, maka apakah ini diartikan jika seseorang sedang mengendarai motor harus membayar pajak? Bukankah aktivitas ini menghasilkan gas karbon dioksida? Bukankah sudah ada pajak kendaraan bermotor yang dipungut pemerintah daerah?

Hal ini bisa menjadikan pengenaan pajak ganda (double taxation). Karena pernyataan ini masih menjadi usulan, tentu saja pemerintah dan DPR akan mendiskusikan mengenai hal ini dengan lebih berhati-hati. Bagaimanapun pajak baru yang tidak sesuai, dalam hal menimbulkan regresivitas pajak, akan mendapat tentangan dari berbagai pihak terlebih lagi masyarakat yang sangat terdampak pandemi Covid-19.

Usulan tarif pajak karbon yang sedang dibahas saat ini adalah Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Hitungan ini harusnya ditelaah dengan seksama dan jangan sampai menimbulkan si “sapi” mati. Karena pada dasarnya pajak itu mengambil “susu” bukan membunuh “sapi”-nya. Selain itu, waktu pengenaan pajak karbon ini juga harus diperhitungkan karena jika waktunya tidak tepat, yang awalnya berniat baik malah disangka mau mencekik rakyat.

 

Tujuan Pajak Karbon

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa tujuan awal adanya usulan pajak karbon adalah karena Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26% tahun ini dan meningkat menjadi 29% tahun 2030. Selain itu untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan memperluas basis perpajakan yang nantinya pajak itu akan dialokasikan dalam pengendalian perubahan iklim.

Tak hanya sekadar mencari uang, pajak karbon akan membuka peluang investasi ramah lingkungan. Apa pun manfaat yang bisa dihasilkan nanti, diharapkan pajak karbon ini akan membawa dampak positif yang lebih banyak dibandingkan dengan dampak negatifnya.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.