Antara Lari Amal, Efek Kesyahidan, dan Pajak

Oleh: Yacob Yahya, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Olahraga lari beberapa tahun ini menjadi salah satu olahraga favorit yang makin digandrungi oleh masyarakat. Salah satu jenis aktivitas lari yang sangat menonjol saat ini adalah lari amal (charity run), dalam motif dan tujuan (cause) yang sangat beragam.
Mulai dari untuk kesehatan mental, memerangi kanker, akses pendidikan, akses air bersih, pemberdayaan ekonomi keluarga, kesetaraan gender, kepedulian terhadap buruh, pelestarian lingkungan, penanggulangan kelaparan, perlindungan satwa langka, peduli korban bencana alam, dan lain-lain.
Para akademisi dari kampus Australia, yakni Mortimer, Grimmer, dan Grimmer (2021) mencatat bahwa hingga akhir 2021, Australia akan menggelar 65.000 kegiatan amal yang telah didaftarkan. Angka ini menunjukkan kenaikan 4% setiap tahun, atau jauh lebih tinggi dari pertumbuhan jumlah penduduk Benua Kanguru.
Setali tiga uang, para peneliti dari perguruan tinggi Eropa juga menemukan data yang serupa (Poczta et al, 2021). Di Polandia, pada tahun 2003, baru terdapat 518 ajang lari, dan satu dekade kemudian, sudah terselenggara 2.700 ajang lari. Di antaranya pada dua belas acara lari akbar, jumlah peserta meningkat enam kali lipat dalam kurun tiga tahun saja (2011-2013). Hampir sepertiga dari lomba lari tersebut merupakan perhelatan lari amal.
Yang menarik dari lari amal, para partisipan tak hanya tertantang untuk menuntaskan larinya namun juga harus finish strong dalam menggalang dana. Mengapa menyalurkan donasi harus berlari? Apakah tidak lebih mudah jika kita langsung menyumbang saja dan mengajak teman dan kerabat lainnya untuk turut berdonasi?
Rupanya tak sesederhana itu. Menurut Mortimer dkk (ibid), ternyata penggalangan dana melalui lari amal tiga kali lebih banyak berhasil mengumpulkan kontribusi ketimbang kegiatan donasi biasa.
Peneliti sebelumnya, Olivola dan Shafir (2013), juga menjumpai hasil yang serupa. Para akademisi tersebut melakukan eksperimen dua jenis acara amal yang berbeda untuk menggalang dana bagi para korban tsunami di Asia Tenggara pada 2004, yakni piknik amal yang mewakili acara yang mudah dan menyenangkan, serta lari amal sejauh lima mil yang merupakan acara yang butuh usaha keras dan pengorbanan.
Percobaan tersebut dilakukan terhadap 136 responden mahasiswa tingkat sarjana di Amerika Serikat. Sebanyak 86% responden bersedia untuk ikut piknik amal, sedangkan sejumlah 76% responden menyatakan turut lari amal.
Namun demikian, dari segi jumlah donasi yang mereka rela berikan, responden yang bergabung dalam lari amal rata-rata akan merogoh kocek USD23,87, sedangkan responden yang berpartisipasi dalam piknik amal rata-rata hanya akan menyumbang sebesar USD13.88.
Efek Kesyahidan
Inilah yang disebut oleh Olivola dan Shafir (ibid) sebagai “martyrdom effect”, atau sebutlah jika diterjemahkan secara harfiah sebagai “efek kesyahidan”. Olivola dan Shafir menjelaskan bahwa pada dasarnya, secara naluriah, manusia (dan binatang lainnya) cenderung memilih pengalaman positif, seperti kesenangan (pleasure) dan cenderung menghindari pengalaman negatif, seperti rasa sakit dan usaha keras (pain and effort), atau prinsip hedono-sentris.
Namun demikian, adakalanya justru kita menemukan kondisi sebaliknya yang masih menjadi bahan perdebatan, yaitu “hedonic puzzles”. Bahwa, dalam situasi tertentu, manusia malah menempuh jalan yang lebih sulit dan menghindari cara yang lebih mudah serta menyenangkan. Sejumlah ritual di berbagai budaya di seluruh penjuru dunia juga melibatkan rasa sakit dan/atau upaya keras.
Salah satu bentuk “teka-teki hedonik” tersebut adalah olahraga amal, yang mana menuntut aktivitas dan latihan yang keras, seperti lari maraton, atau bahkan ultramaraton (lebih dari 42 km). Aktivitas yang sempat menjadi tren, yakni ice bucket challenge, juga menerapkan konsep menjalani pain and effort karena pelakunya harus menahan guyuran atau berendam air es di dalam tong besar.
Hal ini sejalan dengan pepatah “no pain no gain” alias bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Sesuatu yang kita raih dengan pengorbanan dan perjuangan dinilai lebih bermakna daripada sesuatu yang kita peroleh dengan gampang.
Meminjam konteks keyakinan atau agama, pengorbanan dan kerja keras tersebut diibaratkan sebagai syahid atau martir. Melihat kerja keras dan semangat martir para pelari amal, para donatur akan terketuk hati mereka untuk bersedia dan ikhlas menyumbang lebih banyak.
Kaitan dengan Pajak
Bagaimana dengan konteks p(em)ajak(an)? Mungkin analogi antara lari amal dan pajak tidak apple to apple atau tidak sebanding. Namun demikian, setidaknya perlu kita gali semangat kesyahidan untuk rela memberikan kontribusi lebih kepada orang lain.
Kita ibaratkan wajib pajak adalah para donatur yang telah bekerja keras mencari penghasilan. Lalu mereka dengan ikhlas menyisihkan pendapatan tersebut dengan membayar pajak. Sedangkan para fiskus merupakan para pelari amal yang gigih bekerja, menjaga amanah, disiplin, serta berintegritas.
Adapun negara bagaikan panitia acara yang bertugas menghimpun donasi yang dikumpulkan oleh masing-masing pelari melalui tangan para donator, memastikan bahwa donasi tersalurkan sebagaimana mestinya melalui program pembangunan fasilitas publik, serta transparan melaporkan donasi tersebut melalui laporan keuangan pemerintah maupun laporan pertanggungjawaban APBN.
Jika dalam benak kita tertanam bahwa membayar pajak merupakan donasi jalan menuju syahid dan sesuatu yang sangat berharga karena kita lakukan dengan kerja keras, tentu kita akan menemukan kebahagiaan tersendiri dengan turut andil dalam mengumpulkan penerimaan negara ini, apapun peran kita. Baik sebagai wajib pajak, maupun sebagai petugas pajak.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 312 kali dilihat