
Oleh: Riyadlus Sholikhah, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Situasi pandemi COVID-19 yang menerpa seluruh dunia tidak menutup adanya kemungkinan bahwa tindak pidana di bidang perpajakan dan bentuk-bentuk kejahatan ekonomi lainnya akan semakin meningkat secara global daripada sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan pandemi COVID-19 menghantam ekonomi di hampir sebagian besar sektor usaha dan meningkatkan angka pengangguran. Menurut Steven Box, seorang sosiolog dari Inggris, dalam bukunya yang berjudul Recession, Crime, and Punishment (1987) disebutkan bahwa resesi ekonomi suatu negara dapat menyebabkan kejahatan meningkat serta kondisi sosial dan ekonomi yang buruk mampu berkontribusi pada peningkatan kejahatan sebab adanya batasan pilihan dalam hidup. Selain itu, perkembangan teknologi juga berisiko memunculkan kenaikan angka kejahatan lanjutan dari tindak pidana di bidang perpajakan yaitu tindak pidana pencucian uang karena munculnya media-media yang lebih canggih, contohnya adalah cryptocurrencies yang mampu memindahkan uang tanpa batas dan real time.
Ketika situasi pandemi sudah mulai kondusif, maka memberantas tindak pidana di bidang perpajakan adalah sebuah keharusan. Untuk mendukung hal tersebut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan dengan tema OECD Asia-Pasific Academy for Tax and Financial Crime Investigation pada tanggal 7 sampai dengan 18 Juni 2021. Pengajar dalam kegiatan tersebut sebagian besar adalah praktisi yang berkecimpung di bidang penegakan hukum pidana pajak dari Amerika Serikat, Jerman, Norwegia, Australia, Inggris dan Filipina. Salah satu materi menarik dalam pelatihan tersebut adalah memperkenalkan tentang 10 prinsip global sebagai panduan dalam memerangi kejahatan perpajakan atau tax crime yang direkomendasikan oleh OECD untuk perbaikan penegakan hukum pidana pajak lebih lanjut. 10 rekomendasi tersebut pertama kali dikeluarkan oleh OECD pada tahun 2017 yang terdiri dari 10 aturan penting, lembaga, administrasi, dan kebutuhan operasional untuk efektivitas pemberantasan kejahatan pidana pajak dan kejahatan ekonomi lainnya. Kemudian 10 rekomendasi tersebut diperbarui pada tahun 2021 yang mengikutsertakan data statistik dari 33 negara yang mengikuti survei OECD pada tahun 2019 sampai dengan awal tahun 2021.
Selanjutnya, apa saja 10 prinsip global yang direkomendasikan oleh OECD tersebut? Berikut adalah 10 prinsip global untuk memerangi kejahatan perpajakan dan penjelasan dari setiap prinsip global dimaksud.
- Memastikan bahwa Perbuatan Pelanggaran Perpajakan adalah Perbuatan Pidana
Setiap yurisdiksi atau negara mempunyai pengertian yang berbeda tentang definisi dan apa saja delik perbuatan pidana pajak. Yurisdiksi harus memiliki kerangka hukum yang memastikan bahwa pelanggaran terhadap undang-undang perpajakan dimasukkan sebagai tindak pidana dan disertai dengan sanksi yang efektif untuk diterapkan dalam praktik. Hal tersebut juga sesuai dengan prinsip asas legalitas yang dianut di Indonesia.
Pada umumnya, yurisdiksi memaknai perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan apabila perbuatan tersebut masuk dalam kategori ketidakpatuhan, disengaja, dan perbuatan spesifik yang melanggar undang-undang perpajakan. Kerangka hukum yang tepat dalam mengatur aturan tentang tindak pidana di bidang perpajakan akan lebih efektif jika memperhatikan beberapa hal berikut.
- Undang-undang secara jelas mendefinisikan pelanggaran-pelanggaran perpajakan yang masuk dalam kategori tindak pidana.
- Sanksi pidana berlaku jika perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan terbukti.
- Perbuatan tindak pidana yang lebih serius dapat dihukum dengan sanksi pidana yang lebih berat.
- Sanksi pidana diterapkan dalam praktik.
Pengaturan delik perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan akan bervariasi di berbagai yurisdiksi yang mencerminkan budaya, kebijakan, dan lingkungan legislasi. Beberapa yurisdiksi mendefinisikan kejahatan pajak secara umum untuk memberantas berbagai kegiatan kejahatan yang bertujuan untuk menipu pemerintah. Sedangkan, beberapa negara mengatur hal lain dengan menetapkan perbuatan lebih terinci yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di bidang perpajakan, misalnya mengatur: jumlah pajak yang dihindarkan melebihi batas ambang tertentu (threshold), perbuatan dilakukan berulang-ulang, penghasilan pajak disembunyikan secara aktif, dan terdapat catatan-catatan atau bukti yang sengaja dipalsukan. Perbedaan pengaturan tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Hal yang penting adalah pengaturan pidana pajak harus mampu menjerat pelaku utama dan pelaku pembantu yang bersekongkol atau memfasilitasi perbuatan tersebut baik perseorangan atau korporasi.
- Merancang Strategi Efektif untuk Menangani Kejahatan Perpajakan
Untuk memastikan efektivitas undang-undang yang mengatur kejahatan pajak, yurisdiksi harus memiliki cakupan strategi penanganan kejahatan pajak untuk memastikan aturan berjalan efektif dalam praktik. Strategi tersebut harus ditinjau dan dipantau secara berkala atau teratur. Strategi dapat didiskripsikan sebagai dokumen yang menyatakan tujuan organisasi, manajemen risiko, dan mendapatkan dukungan dari pimpinan atau pejabat senior.
Secara umum, keseluruhan strategi kepatuhan pajak meliputi cakupan dari mendorong tax compliance, menangani tax avoidance, tax evasion, hingga tax fraud. Namun strategi secara khusus didasarkan kepada konteks kebijakan, struktur hukum, budaya dan lingkungan legislasi yang dianut oleh masing-masing negara. Penyusunan strategi memerlukan konsultasi, pendapat atau masukan dari seluruh pemangku kepentingan secara luas, penyidik, aparat penegak hukum serta lembaga domestik lainnya seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait dengan dengan penanganan tindak pidana pencucian uang.
- Memiliki Kekuatan atau Kewenangan Penyidikan yang Memadai
Yurisdiksi harus memiliki kekuatan penyidikan yang memadai untuk keberhasilan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Kekuatan penyidikan yang dimaksud dapat digambarkan melalui kewenangan yang dimiliki oleh penyidik tindak pidana di bidang perpajakan, dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Adanya kewenangan yang memadai akan memudahkan penyidik dalam melakukan pencarian bukti-bukti dan kebenaran suatu perkara.
Berdasarkan hasil survei dari berbagai negara dengan beragam variasi model institusi yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, disimpulkan bahwa terdapat beberapa kewenangan yang pada umumnya dimiliki oleh penyidik tindak pidana di bidang perpajakan, yaitu:
- kewenangan memperoleh informasi atau dokumen dari pihak ketiga;
- kewenangan mencari barang bukti atau aset;
- kewenangan mengintersepsi telekomunikasi;
- kewenangan melakukan pengeledahan dan penyitaan hardware, software, telepon seluler serta media digital;
- kewenangan melakukan wawancara;
- kewenangan melakukan pengamatan tertutup;
- kewenangan melakukan operasi penyamaran; dan
- kewenangan menangkap dan menahan seseorang.
- Memiliki Kewenangan yang Efektif dalam Melaksanakan Pemblokiran, Penyitaan dan Perampasan Aset
Yurisdiksi harus memiliki kemampuan untuk memblokir atau menyita harta kekayaan dalam rangka penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan serta kemampuan untuk merampas harta kekayaan hasil kejahatan. Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Against Transnational Organized Crime and The Protocols Thereto (2014) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan disahkan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi), dijelaskan definisi pemblokiran, penyitaan dan perampasan sebagai berikut:
- pemblokiran atau penyitaan aset meliputi kegiatan pelarangan sementara transfer, konversi, pelepasan atau pemindahan aset atau untuk sementara mengambil alih atau mengendalikan aset berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh pengadilan atau otoritas lainnya yang mempunyai kewenangan.
- perampasan aset dapat didefinisikan sebagai pengambilalihan aset secara permanen atas perintah pengadilan atau otoritas lain yang berwenang.
Untuk mendukung pemberantasan kejahatan pajak, yurisdiksi harus memastikan bahwa pemblokiran, penyitaan dan perampasan aset dapat dilakukan untuk aset yang berada di dalam dan di luar negeri. Kekuatan hukum untuk melakukan upaya paksa tersebut harus diatur dalam hukum domestik atau untuk kasus-kasus internasional dapat dilakukan menggunakan permintaan bantuan hukum timbal balik sesuai dengan perjanjian internasional seperti mutual legal assistance (MLA) treaty. Selain itu, untuk mendorong pemberantasan tindak pidana di bidang perpajakan dan asset recovery, beberapa negara melakukannya dengan mekanisme-mekanisme sebagai berikut.
- Pemblokiran aset yang cepat
Otoritas terkait umumnya harus dapat mengeksekusi permintaan pemblokiran dengan cepat dalam waktu 24 sampai dengan 48 jam.
- Perampasan aset yang diperluas
Perampasan tidak hanya dilakukan atas aset yang terkait dengan kejahatan tertentu, tetapi juga aset tambahan yang ditentukan oleh pengadilan sebagai hasil kejahatan lain.
- Perampasan aset berdasarkan nilai
Ini adalah metode perampasan aset yang memungkinkan pengadilan untuk membebankan kewajiban berupa uang yang setara dengan jumlah hasil pidana.
- Perampasan aset pihak ketiga
Hal ini berlaku apabila pihak ketiga tersebut terbukti memiliki harta benda yang dengan sengaja dialihkan kepadanya oleh pelaku kejahatan untuk menggagalkan penyitaan atau perampasan aset.
- Perampasan berbasis nonpemidanaan
Perampasan aset berdasarkan nonpemidanaan adalah kewenangan untuk merampas aset tanpa pengadilan dan hukuman pidana yang merupakan tindakan penegakan yang dilakukan terhadap aset itu sendiri dan bukan individu. Hal ini merupakan perbuatan yang terpisah dari suatu proses pidana dan tetap memerlukan pembuktian bahwa barang tersebut merupakan hasil atau sebagai alat kejahatan.
Selain hal tersebut di atas, untuk melakukan asset recovery secara efektif, yurisdiksi harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
- memiliki kerangka tata kelola yang diperlukan untuk memastikan lembaga penegakan hukum pidana beroperasi secara transparan dan secara memadai diawasi sehubungan dengan penanganan aset untuk memastikan integritas;
- memiliki keahlian penyidikan, dasar hukum, dan operasional yang diperlukan;
- menerapkan struktur organisasi yang jelas untuk pengelolaan aset, mengingat bahwa perkara-perkara ini memerlukan tenaga ahli khusus yang berlokasi di berbagai lembaga, sehingga menjadi hal yang lebih efisien untuk menempatkan unit multilembaga khusus dengan praktisi terlatih dan sumber daya memadai yang berfokus pada asset recovery;
- memastikan bahwa hak-hak tersangka dilindungi selama proses asset recovery;
- memiliki proses untuk mengelola aset secara aman; dan
- secara efisien menggunakan kerja sama internasional, mengingat aset hasil kejahatan mungkin juga terletak di yurisdiksi asing.
- Merancang Struktur Organisasi dengan Tanggung Jawab Tertentu
Yurisdiksi harus memiliki model organisasi yang ditetapkan untuk berwenang dan bertanggung jawab dalam memerangi kejahatan pajak dan kejahatan keuangan lainnya. Memiliki model organisasi yang jelas dalam penanganan tindak pidana di bidang perpajakan penting karena akan memungkinkan alokasi tanggung jawab yang efisien dan dapat mengurangi risiko kerja berulang serta kesenjangan dalam penegakan hukum. Secara garis besar, terdapat empat model organisasi yang bertanggung jawab dalam penindakan tindak pidana di bidang perpajakan yang dianut oleh berbagai negara, yaitu antara lain.
- Model satu: otoritas pajak memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan dan melakukan penyidikan, seringkali melalui unit penyidikan yang khusus. Dalam model ini, Kejaksaan tidak memiliki peran langsung dalam penyidikan, meskipun jaksa dapat memberikan nasihat kepada penyidik sehubungan dengan proses hukum dan hukum pembuktian.
- Model dua: otoritas pajak bertanggung jawab untuk melakukan penyidikan, di bawah arahan jaksa penuntut umum atau secara khusus dibawah hakim pemeriksa.
- Model tiga: sebuah otoritas pajak khusus, di bawah pengawasan Kementerian Keuangan tetapi di luar unit administrasi pajak, memiliki tanggung jawab untuk melakukan penyidikan, yang mungkin melibatkan jaksa penuntut umum.
- Model empat: Polisi atau penuntut umum memiliki tanggung jawab untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Kombinasi model-model tersebut di atas juga dapat dilakukan tergantung pada kasus yang ditangani.
- Menyediakan Sumber Daya yang Memadai untuk Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
Unit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan harus memiliki sumber daya yang memadai, yaitu didukung dengan:
- sumber daya keuangan;
- sumber daya manusia;
- pelatihan;
- sumber daya infrastruktur;
- sumber daya organisasi; dan
- sumber daya data dan teknologi.
- Menjadikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sebagai Tindak Pidana Asal Pencucian Uang
Menerapkan tindak pidana di bidang perpajakan sebagai kejahatan asal tindak pidana pencucian uang adalah sesuai dengan rekomendasi ketiga dari Financial Action Task Force (FATF) yang menyatakan bahwa: “…Negara-negara harus menetapkan kejahatan pencucian uang untuk semua pelanggaran serius dengan tujuan untuk memasukkan berbagai tindak pidana asal”. Bahkan pada revisi terbaru dari Rekomendasi FATF dinyatakan bahwa: “kejahatan pajak (terkait dengan pajak langsung dan tidak langsung) secara terpisah teridendifikasi dalam daftar kategori pelanggaran tertentu yang seharusnya merupakan tindak pidana asal untuk pencucian uang”.
- Memiliki Kerangka Kerja yang Efektif untuk Kerja Sama Antarlembaga di Dalam Negeri
Yurisdiksi harus memiliki kerangka hukum dan administratif yang efektif untuk memfasilitasi kolaborasi antara otoritas pajak dan lembaga penegakan hukum dan intelijen domestik lainnya. Kerja sama antar lembaga tersebut dapat dilakukan misalnya dalam hal-hal berikut:
- berbagi informasi sesuai dengan acuan hukum yang mendasari;
- membentuk joint investigation teams;
- kegiatan intelijen antar lembaga;
- penempatan dan pemindahan antar personel.
- Memastikan Ketersediaan Mekanisme Kerja Sama Internasional
Unit penegakan hukum tindak pidana di bidang perpajakan harus memiliki akses ke instrumen hukum pidana dan kerangka kerja operasional yang memadai untuk kerja sama internasional yang efektif dalam penyidikan dan penuntutan tindak pidana tersebut. Penting bagi yurisdiksi memiliki jaringan kerja sama internasional yang luas dan berfungsi. Sebagai contoh dari mekanisme kerja sama internasional adalah kerja sama penghindaran pajak berganda dan kerja sama pertukaran informasi serta kerja sama bantuan timbal balik (MLA treaties).
- Melindungi Hak Tersangka
Wajib pajak yang diduga atau didakwa melakukan tindak pidana di bidang perpajakan harus mendapatkan keterangan terkait prosedur dan hak-hak dasar selama proses penyidikan. Hak-hak dasar yang dimaksud tersebut berlaku universal antara lain:
- hak atas praduga tak bersalah;
- hak untuk diberitahu tentang hak-hak mereka;
- hak untuk diberitahu tentang hal-hal yang dituduhkan;
- hak untuk tetap diam;
- hak untuk mengakses dan berkonsultasi dengan pengacara dan hak atas nasihat hukum secara gratis;
- hak untuk menafsirkan dan menerjemahkan;
- hak untuk mengakses dokumen dan materi kasus, atau dikenal sebagai hak untuk pengungkapan penuh;
- hak atas pengadilan yang cepat; dan
- hak atas perlindungan dari ne bis in idem.
Demikian 10 prinsip global yang direkomendasikan oleh OECD yang disebarluaskan kepada negara-negara untuk dapat digunakan sebagai benchmark terhadap kerangka hukum dan prosedur dalam mengidentifikasi praktik yang sesuai serta berhasil dalam meningkatkan proses dan sistem pemberantasan tindak pidana di bidang perpajakan. OECD telah mempublikasikan buku mengenai rekomendasi tersebut secara terbuka pada laman https://www.oecd-ilibrary.org/sites/. 10 prinsip global tersebut diharapkan mampu mengilhami pengambil keputusan untuk menghasilkan kebijakan yang tepat dan terbaik dalam penegakan hukum pidana di bidang perpajakan untuk kehidupan yang lebih baik, mendorong kesejahteraan negara dan masyarakat, serta perdamaian dunia.
- 278 kali dilihat