Quo Vadis Angsuran Pajak Karyawan

Oleh: Sri Lestari Pujiastuti, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Beberapa bulan lalu saya berjumpa dengan seorang kawan lama di sebuah mall di Jakarta. Setelah bertukar kabar, dia bercerita saat ini bekerja di dua perusahaan yang tentu saja memperoleh penghasilan dari keduanya. Karena terburu-buru tanpa sempat berbincang lebih lanjut dia menitipkan sebuah pertanyaan dan saya menjanjikan akan menjawabnya di lain kesempatan, "Bagaimana kewajiban perpajakan saya? Apakah benar saya mempunyai kewajiban membayar angsuran PPh Pasal 25?”
Melalui tulisan ini saya mencoba mengurai kewajiban pajak bagi karyawan khususnya yang menerima atau memperoleh penghasilan dari dua pemberi kerja (selanjutnya disebut WP OP Karyawan). Saya sungguh berharap kawan lama saya itu membacanya, karena sayang sekali saat bertemu tempo hari kami lupa bertukar nomor handphone.
Kewajiban pada tiap Masa Pajak
Adakah kewajiban pajak (angsuran PPh Pasal 25) yang harus dipenuhi WP OP Karyawan pada tiap Masa Pajak? Di lapangan terdapat dua pendapat yang mengemuka.
Pasal 25 ayat (1) UU PPh, menyebutkan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Mereka yang berpendapat Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan (terlepas apakah menerima atau memperoleh penghasilan dari satu atau lebih dari satu pemberi kerja) tidak mempunyai kewajiban membayar angsuran PPh Pasal 25 mendasarkan pendapatnya pada Pasal 18 ayat (1) dan (2) huruf b PMK-9/PMK.03/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (SPT). Pasal tersebut berbunyi, Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT. Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu merupakan Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut: b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas.
Penulis sendiri lebih condong pada pendapat kedua yang menyatakan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan sepanjang menerima atau memperoleh penghasilan lebih dari satu pemberi kerja mempunyai kewajiban membayar angsuran PPh Pasal 25. Hal tersebut mengingat apabila WP OP Karyawan dapat dipastikan pada akhir tahun akan menimbulkan PPh yang harus dibayar sendiri (PPh Pasal 29). Maka besarnya angsuran PPh Pasal dihitung dengan membagi jumlah PPh yang harus dibayar pada akhir tahun dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Tentang PMK-9/PMK.03/2018
Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dijabarkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang terdiri dari:
a. Undang-undang Dasar Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 7 ayat (2) menyebut bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Apakah ada Peraturan Perundang-undangan selain dari yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 seperti pada tulisan ini yaitu PMK-9/PMK.03/2018 ? Pasal 8 ayat (1) UU UU Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang, Dewaan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyar Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepada Desa atau yang setingkat.
Lantas bagaimana kekuatan mengikat Peraturan Perundang-undangan di atas ? Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Dalam doktrin, dikenal dua macam peraturan perundang-undangan dilihat dasar kewenangan pembentukannya, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar atribusi pembentukan peraturan perundang-undangan dan delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan.
Terkait PMK-9/PMK.03/2018, bila menengok pada konsideran menimbang jelas menyebut bahwa PMK tersebut diterbitkan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (la), ayat (1b), ayat (2), ayat (3c), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (8), Pasal 4 ayat (5), Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 7 ayat (2) huruf h Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU KUP), serta Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (selanjutnya disebut PP 74 Tahun 2011).
Peraturan menteri yang dibentuk atas dasar perintah dari undang-undang seperti PMK-9/PMK.03/2018 dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan atas dasar delegasi (delegated legislation). Secara umum peraturan perundang-undangan delegasi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam perspektif hukum pajak, PMK-9/PMK.03/2018 dibentuk berdasarkan delegasi dari UU KUP dan PP 74 tahun 2011 dan dikategorikan sebagai hukum formil. Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak, yaitu (1) Hukum pajak materil yang memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan; (2) Hukum pajak formil yang memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materil). Hukum ini memuat antara lain tata cara penyelanggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak, hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak, dan kewajiban wajib pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding. Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Lalu adakah Peraturan Menteri Keuangan yang dibentuk berdasarkan hukum materil UU PPh? Pasal 25 ayat (7) UU PPh memberikan delegasi kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi:
a. Wajib Pajak baru;
b. bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto.
PMK yang diterbitkan berdasarkan delegasi dari Pasal 25 ayat (7) UU PPh adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 208/PMK.03/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 Tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa Dan Wajib Pajak Lainnya Yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.
Ibarat sedang berkendara, alih-alih berada dalam gerbong yang sama. PMK-9/PMK.03/2018 bahkan berada dalam kereta yang berbeda dengan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang cara menghitung dan kewajiban membayar angsuran PPh Pasal 25. Sebagai penutup, penulis berpendapat karenanya sangatlah tidak tepat jika PMK-9/PMK.03/2018 khususnya Pasal 18 ayat (1) dan (2) huruf b dijadikan dasar untuk menganulir adanya kewajiban WP OP Karyawan untuk membayar angsuran PPh Pasal 25 pada setiap Masa Pajak. (*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja
- 2442 views