Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) bekerja sama dengan DDTC menyelenggarakan Seminar Nasional bertema cooperative compliance. Pada acara ini juga dilakukan peresmian Tax Clinic FEB UI di Kota Depok (Senin, 17/11), yang menghadirkan layanan konsultasi pajak gratis bagi masyarakat sekaligus menjadi sarana pembelajaran praktis bagi mahasiswa.

Acara ini menjadi momentum penting untuk memperkuat sinergi akademisi, praktisi, dan otoritas pajak dalam mendorong transformasi paradigma kepatuhan dari pendekatan berbasis enforcement menuju model kolaboratif.

Dekan FEB UI, Yulianti Abbas, dalam sambutan pembuka menyampaikan perlunya memahami variasi karakteristik wajib pajak dalam merancang kebijakan perpajakan. Menurutnya, keberagaman tersebut menuntut pendekatan yang adaptif agar kebijakan dan sistem yang dikembangkan mampu mengoptimalkan penerimaan negara. Ia menyebut cooperative compliance sebagai konsep yang terus berkembang dan menjadi solusi membangun hubungan yang lebih konstruktif antara wajib pajak dan otoritas pajak.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, dalam keynote speech menyampaikan, “Paradigma kepatuhan kini bergeser dari yang sebelumnya berlandaskan rasa takut menuju berbasis kolaborasi. Ia menekankan bahwa dunia usaha dan otoritas pajak akan selalu berhadapan dengan potensi konflik sehingga DJP perlu menghadirkan sistem yang tidak hanya meningkatkan kepatuhan tetapi juga memberikan kepastian hukum, kemudahan, dan layanan adil berbasis risiko.

Bimo menegaskan bahwa cooperative compliance mendorong pertukaran data sejak dini, pemetaan risiko secara transparan, penyelesaian isu sebelum sengketa, serta layanan cepat bagi wajib pajak patuh, sambil tetap menjalankan penegakan hukum bagi yang tidak patuh. Ia menambahkan, “Desain cooperative compliance yang sedang disiapkan DJP akan didukung dengan penguatan integrasi data dan peran fiskus sebagai mitra dialog sekaligus penegak hukum.

Direktur Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan, Erawati, menegaskan bahwa APBN 2026 dirancang fleksibel untuk merespons guncangan dan menjadi katalis bagi sektor swasta. Ia menilai bahwa paradigma cooperative compliance memperkuat kolaborasi, transparansi, dan kepastian hukum, sementara konsultan pajak kini memegang peran strategis sebagai trusted advisor dalam tata kelola perpajakan yang sehat dan berkelanjutan, terutama dalam era Tax Administration 3.0.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak, Iwan Djuniardi, menjelaskan bahwa Tax Control Framework (TCF) merupakan gerbang utama implementasi cooperative compliance dan menyampaikan bahwa TCF diperuntukkan bagi wajib pajak untuk membantu mereka membangun pengendalian internal perpajakan, mengelola risiko secara sistematis, dan mencegah terjadinya surprises berupa sanksi maupun fraud.

Iwan menjabarkan bahwa TCF dikembangkan dari enam building blocks OECD menjadi tujuh prinsip dan lima tingkat maturitas, yang kemudian menjadi fondasi menuju kerangka Total Quality Assurance untuk mewujudkan zero defect atau zero non-compliance. Ia menambahkan bahwa ke depan TCF akan diperkuat pemanfaatan teknologi AI sehingga semakin modern, adaptif, dan efektif meningkatkan kualitas kepatuhan wajib pajak.

Founder DDTC, Darussalam, menyampaikan bahwa cooperative compliance didasarkan pada hubungan timbal balik, di mana wajib pajak tertentu melalui TCF “menukar” transparansi informasi perpajakan dengan kepastian hukum yang lebih kuat. Menurutnya, keterbukaan menjadi fondasi utama dalam membangun hubungan otoritas–wajib pajak yang lebih setara, fokus pada pencegahan, dan minim sengketa.

Analis Keuangan Negara Ahli Madya, Lury Sofyan, menyoroti bahwa paradigma enforcement tidak lagi optimal menekan risiko pajak karena sifatnya yang reaktif sehingga risiko tidak terdeteksi sejak awal. Ia menjelaskan bahwa praktik seperti profit shifting, mahalnya biaya kepatuhan akibat litigasi, serta efek deterrence yang cepat memudar menuntut transformasi kepatuhan pajak. Lury menekankan bahwa era cooperative compliance mengharuskan profesi keuangan, terutama konsultan pajak, mengalihkan fokus dari penyusunan surat pemberitahuan (SPT) menuju pencegahan risiko, dengan penguasaan teknis perpajakan, teknologi, serta pemahaman laporan keuangan.

Acara ini menegaskan langkah strategis Indonesia dalam membangun tata kelola perpajakan modern yang kolaboratif, transparan, dan mampu meningkatkan kepastian bagi seluruh pemangku kepentingan. Dengan kolaborasi kuat antara akademisi, praktisi, dan otoritas, cooperative compliance diharapkan menjadi pilar utama sistem perpajakan masa depan.

Pewarta: Hana Kurniati
Kontributor Foto: Tim Dokumentasi FEB UI
Editor:

*)Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.