
ATPETSI (Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia) resmi mengganti namanya menjadi PERTAPSI (Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia) di Gedung Makara Art Center, Universitas Indonesia, Depok (Senin, 12/12). Resminya perubahan nama tersebut ditandai dengan ditandatanganinya MoU (Memorandum of Understanding) atau Kesepakatan Bersama antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan PERTAPSI.
Selain peresmian perubahan nama, agenda lainnya meliputi pelantikan pengurus baru dan seminar nasional yang mengusung tema “Tax Outlook in 2023”. Seminar nasional dilakukan secara hybrid, di mana sebagian hadir di lokasi kegiatan dan sebagian lainnya melalui Zoom Cloud Meetings.
Pada kesempatan pertama, Kepala Kanwil DJP Jawa Timur I sekaligus Ketua Dewan Pembina PERTAPSI, Poltak Maruli John Liberty Hutagaol menyampaikan bahwa Reformasi perpajakan yang inisiasi oleh Direktorat Jenderal Pajak saat ini telah dimulai sejak dilaksanakannya tax amnesty di tahun 2017 dan akan diresmikan pada awal tahun 2024. Poltak juga mengatakan bahwa beberapa faktor pendorong suatu negara termasuk Indonesia perlu melakukan reformasi perpajakan yakni adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT); globalisasi; perkembangan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan; underground economy; dan turunnya BEPS (Base Erotion dan Profit Shifting) atau yang dikenal dengan istilah agresive tax planning.
“Reformasi perpajakan tentunya dimaksudkan untuk memberikan penguatan terhadap 5 fungsi instrumen pajak, yaitu budgetair, regulerend, redistribusi pendapatan, stabilisator, dan katalisator. Instrumen pajak digunakan sebagai katalisator yaitu untuk mempercepat atau mengeskalasi tujuan Pemerintah melakukan suatu kegiatan. Contohnya pemulihan ekonomi nasional sebagai akibat dari pandemi Covid-19 dengan memberikan berbagai macam insentif perpajakan maupun kemudahan fasilitas di bidang perpajakan lainnya,” ujar Poltak.
“Kemudian, reformasi perpajakan ini didukung oleh 5 pilar, yaitu organisasi, di mana DJP telah mendirikan sejumlah KPP Madya dan juga me-reform struktur organisasi di KPP Pratama dengan menciptakan adanya pemisahan dari Seksi Pengawasan menjadi 6 seksi dengan spesifikasi tugas dan fungsi yang berbeda; sumber daya manusia, peraturan perundang-undangan perpajakan, proses bisnis melalui PSIAP (Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan) dalam meng-combine, mengintegrasi, dan mengotomasi lebih dari 36 proses bisnis menjadi 21 proses bisnis; dan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dan basis data,” ujar Poltak.
Tentunya reformasi perpajakan ini dimaksudkan untuk memudahkan dan meningkatkan kualitas DJP dalam memberikan pelayanan perpajakan, edukasi organisasi, maupun dalam pengawasan dan penegakan hukum dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang adil dan Makmur sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
“Terkait dengan PERTAPSI, tentunya PERTAPSI lahir dari suatu kebutuhan untuk memberikan literasi perpajakan kepada civitas akademika perguruan tinggi di Indonesia. PERTAPSI lahir untuk menjadi mitra DJP dalam membina dan mengembangkan tax center yang ada di Indonesia,” tambah Poltak.
Pada kesempatan yang sama, Dirjen Pajak, Suryo Utomo menyampaikan bahwa reformasi perpajakan memiliki dimensi policy yang lebih kuat. Oleh karena itu, diharapkan PERTAPSI berada pada sisi policy sesuai yang diharapkan bersama.
“Saya sangat betul-betul berkeinginan untuk secara bertahap dan berkelanjutan mencoba mengkalibrasi apakah policy yang kita implementasikan saat ini sudah sesuai, tentunya dengan memperhatikan kondisi situasi ekonomi di mana tahun 2020 kita sedang kena Covid-19, tahun 2021 sudah mulai merangkak, tahun 2022 fase pemulihan, dan Insya Allah 2023 pemulihannya lebih kuat walaupun di beberapa negara terlihat dampak dari perang Rusia-Ukraina benar-benar luar biasanya yang meliputi rantai pasok terganggu, harga khususnya dari energi juga mengalami peningkatan yang luar biasa. Jadi, dari sisi dimensi inilah sebetulnya kita berada. Hal ini dapat menjadir ruang dan kesempatan bagi kita semua termasuk teman-teman anggota PERTAPSI, tax center, dan juga para akademisi untuk bisa mendudukkan melalui research yang conducted di masing-masing tax center yang ada,” ujar Suryo.
“Nah, itulah yang mungkin perlu kita sinergize, kira-kira research apa yang dilakukan dan apa yang akan kami lakukan. Supaya kita dapat mengkolaborasikan walaupun untuk penyusunan policy tidak berada di DJP, tapi kewenangannya ada di Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan," imbuhnya.
Inisiasi adanya UU HPP bermula pada saat adanya program tax amnesty atau pengungkapan sukarela di tahun 2016-2017. Terjadi rekonsiliasi antara Wajib Pajak dengan negara. Setelah UU tax amnesty berjalan dan selesai lalu tahun 2017 UU akses informasi terbentuk. Pertukaran data dan informasi internal di dalam negeri maupun dengan pihak luar negeri terus berjalan.
UU HPP tidak hanya mengakomodir urusan program pengungkapan sukarela semata, tetapi juga mencakup mekanisme terkait kemudahan tata cara yang sederhana dalam perpajakan. Contohnya, penggunaan NIK sebagai NPWP.
Reformasi pepajakan yang kedua adalah reformasi sistem administrasi perpajakan. Headlinenya adalah bahwa sistem administrasi perpajakan yang dikelola DJP saat ini kita harus lalukan perbaikan. Mulai dari proses bisnis pelayanan, bagaimana kita berinteraksi dengan Wajib Pajak, pengawasan dan pemeriksaan yang internal kami juga lakukan erbaikan tata kelolanya. Ditambah dengan penggunaan NIK sebagai NPWP adalah sebagai basis dari administrasi sistem yang sekarang sedang diperbaiki.
Jadi, kedepannya, Insya Allah di 2024 DJP harapannya bagaimana menyampaikan kepada publik sebagai bagian dari literasi perpajakan kita kepada masyarakat. Bukan hanya sekedar belajar mengenai aturan, tetapi juga belajar bagaimana tata cara berinteraksi dengan institusi DJP melalui sistem administrasi yang baru,” ungkap Suryo
Suryo Utomo juga berharap kepada praktisi dan akademisi agar mengikuti perkembangan mengenai peraturan perpajakan yang ada. Sebagai informasi, DJP saat ini sedang menyusun Peraturan Pemerintah terkait pelaksaan dari UU HPP, dimana terdiri dari 4 PP, yakni 1 terkait dengan Pajak Penghasilan (PPh), 1 terkait dengan aturan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dan 2 terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sisi lain dari kebijakan perpajakan sebetulnya bukan hanya untuk sekedar menambah penerimaan, tetapi ada dimendi untuk tetap menjaga dan meningkatkan kondisi ekonomi menjadi lebih baik lagi. Terbukti terutama di saat masa pandemi Covid-19 banyak insentif dan kemudahan yang telah diberikan oleh DJP kepada Wajib Pajak. hal ini terbukti atau terindikasikan dalam penerimaan pajak di tahun 2022 ini yang positif.
“UU HPP merupakan UU yang waktu penyusunannya didesain sebagai UU fundamental atau sebagai pondasi bagi sistem perpajakan yang baru yang diharapkan dapat menopang sustainability dari pada APBN,” ujar Suryo
Suryo Utomo juga menghimbau agar mengusung semangat yang sama antara DJP dengan seluruh masyarakat di Indonesia bahwa pajak itu adalah fungsi dari gotong royong. Pajak bukan hanya sekedar antara Wajib Pajak dan petugas pajak atau negara semata, tetapi juga melibatkan pihak-pihak lainnya seperti yang tergabung dalam PERTAPSI yang didalamnya ada praktisi dan disisi lainnya sebagai akademisi.
“Relaunching PERTAPSI harapan besarnya, saya kepengen yuk kita jalan beriring dan bersinergi untuk pendewasaan pemahaman perpajakan bagi warga negara Indonesia dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya,” tambah Suryo.
Sesi selanjutnya, Kepala SubDirektorat Pelayanan Perpajakan, Yari Yuhariprasetia dalam kesempatannya menyampaikan topik mengenai “Overview Program Inklusi Kesadaran Pajak dalam Pendidikan”.
“Literasi itu penting. Literasi dalam pajak dalam hal ini maksudnya adalah sadar dan paham mengenai pajak,” ujar Yari.
Yari menyebutkan bahwa pada dasarnya Wajib Pajak dan masyarakat dijklasifikasikan menjadi beberapa tipe, yaitu (1) ada yang sudah paham dan sudah patuh; (2) ada yang sudah paham tapi tidak mau patuh; dan (3) ada yang belum paham tapi ingin patuh. Terkait yang belum paham tapi ingin patuh, maka literasi, edukasi, dan penyuluhan perpajakan adalah strategi utamanya. Sementara bagi yang sudah pahan tapi tidak mau patuh, maka selain penyuluhan pengawasan dan law enforcement harus dilakukan.
Pewarta: Megawati |
Kontributor Foto: Bintang F |
Editor: Arif Miftahur Rozaq |
- 143 kali dilihat