Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP Badora) memenuhi undangan PT Deloitte Konsultan Indonesia untuk memberikan edukasi tentang aspek perpajakan kebijakan golden visa di kantor pusat Deloitte Indonesia, The Plaza Office Tower lantai 32, Jl. MH. Thamrin Kav. 28-30 Jakarta, (26/10). Acara ini dihadiri 90-an peserta dari PT Deloitte Konsultan Indonesia dan rekanannya.

Sebagai informasi, golden visa merupakan penyempurnaan regulasi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2023 tentang Keimigrasian. Beleid ini mengatur pemberian golden visa bagi orang atau perusahaan asing yang ingin menanamkan modal di Indonesia. Tujuannya adalah menarik arus dan menciptakan iklim investasi yang dapat menarik talenta berkemampuan tinggi.

Wihadi Sutrisno, narasumber dari Ditjen Imigrasi menyatakan bahwa yang membedakan golden visa dengan visa biasa adalah surat pernyataan komitmen. “Orang asing yang ingin menanamkan modal ke Indonesia harus menyertakan surat pernyataan komitmen pada saat mengajukan visa. Dan semua komitmen harus sudah dipenuhi dalam jangka waktu 90 hari sejak yang bersangkutan tinggal di Indonesia,” kata Wihadi.

Salah satu komitmen yang harus dipenuhi dalam pengajuan golden visa adalah bagi orang pribadi asing bersedia menanamkan modal di Indonesia sebesar USD0,35–5 juta dan bagi perusahaan sebesar USD25–50 juta dalam jangka waktu lima hingga sepuluh tahun.

Sementara terkait aspek perpajakan kebijakan golden visa, Penyuluh Pajak Ahli Muda Kanwil DJP Jakarta Khusus Hargo Nugroho membuka paparan dengan peribahasa lawas “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”.

Hargo ingin menekankan bahwa semua warga asing yang tinggal di Indonesia harus mematuhi hukum di Indonesia. Karena perpajakan Indonesia mengenal konsep worldwide income, maka semua penghasilan wajib pajak akan dikenakan pajak, baik yang diperoleh dari Indonesia ataupun luar Indonesia.  

Hargo menjelaskan lebih lanjut, jika dikaitkan dengan kebijakan golden visa, ada  pengecualian yang diberikan bagi WNA sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN). Mereka hanya akan dikenai pajak atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia dengan syarat memiliki keahlian tertentu dan berlaku empat tahun sejak menjadi SPDN. Syarat keahlian tertentu tersebut diatur dalam PMK Nomor 18 Tahun 2021.

Arief Budi Nugroho sebagai Penyuluh Pajak Ahli Madya KPP Badora ketika menjawab pertanyaan peserta tentang strategi pengawasan yang dilakukan KPP Badora terhadap orang asing yang berada di Indonesia mengingatkan aturan tentang keharusan bagi instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DJP. Saat ini DJP cukup banyak menerima data-data dari luar yang dapat digunakan sebagai pengawasan.

Di penghujung acara, di depan pimpinan PT Deloitte Konsultan Indonesia dan peserta rekanan mereka seperti PT Indorama Petrochemical, PT Danone, FMC, PT Mitsubishi Chemical, PT Jhonson & Jhonson, PT Trakindo Utama, PT Hilti, dan PT Coca Cola, Kepala Bidang P2Humas Kanwil DJP Jakarta Khusus Ani Natalia menyatakan kalimat yang menggugah nasionalisme, “Reformasi sedang berjalan. NIK akan terintegrasi menjadi NPWP. Dengan Ditjen Imigrasi akan menyusul. Tak lama lagi akan ada satu data untuk Indonesia. Maka tak ada jalan bagi orang asing yang masuk Indonesia, kecuali mematuhi aturan yang ada di Indonesia.”

 

 

 

Pewarta:
Kontributor Foto:
Editor:

*)Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.