Wakil Presiden RI ke-11 Boediono, Menkeu RI Sri Mulyani Indrawati, Menkeu RI masa 2013-2014 Moh. Chatib Basri, Menkeu RI masa 2010-2013 Agus Martowardojo, Wakil Menkeu RI Mardiasmo, dan enam mantan Dirjen Pajak hadiri puncak peringatan Hari Pajak kedua di Aula Cakti Buddhi Bhakti Gedung Marie Muhammad Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta  (Senin, 15/7).

"Selamat Hari Pajak kepada rekan-rekan pajak," ucap Wapres RI ke-11 Boediono dengan gembira saat memberikan sambutan. Boediono mengungkapkan hadir dalam puncak Peringatan Hari Pajak 2019 karena permintaan langsung dari Dirjen Pajak Robert Pakpahan saat mengunjungi rumahnya.

Selanjutnya Boediono memberi sambutan dengan memaparkan kilas balik perjalanan reformasi perpajakan. "Modernisasi pada tahun 1983 adalah respon terhadap krisis, yaitu harga minyak bumi yang anjlok. Kemudian pada tahun 97-98, Indonesia kembali mengalami krisis hingga terjadi hiperinflasi. Oleh karena itu, syarat utama untuk bertahan dalam krisis adalah tangani sebaik mungkin dan lakukan action. Reformasi ini adalah kunci, namun reformasi ini tidak bisa dilakukan semua aspek dalam satu masa," papar Boediono.

Terkait dengan isu tax avoidance, Boediono menambahkan bahwa salah satu kemampuan terpenting untuk menanggulangi tax avoidance adalah kemampuan berdiplomasi. "Kita jangan hanya memberi informasi dengan negara lain, namun juga harus mampu menggali informasi dari negara lain," ujar Boediono.

Menkeu RI Sri Mulyani Indrawati memberikan sambutan pamungkas. "Kata pajak mulai muncul pada tanggal 14 Juli 1945, dan kemudian ini dipilih sebagai Hari Pajak," buka Sri Mulyani.

"Master plan yang dilakukan untuk menanggulangi krisis 1997-1998 adalah dengan meresmikan Large Tax Office. Tujuannya adalah para pembayar wajib pajak besar memperoleh kepastian. Selain itu, konsistensi beneficial owner juga harus sama. Dalam desain blue print reformasi perpajakan, didesainlah LTO, MTO, dan STO," terang Sri Mulyani saat menjelaskan modernisasi Direktorat Jenderal Pajak.

Sri Mulyani juga mengurai bahwa saat itu perlu adanya loncatan katak yang luar biasa untuk mendongkrak jumlah wajib pajak. "Kantor pajak juga sering mendapat restriksi informasi yang paling banyak, berbeda dengan negara lain yang pertukaran informasi sudah otomatis. Ketakutan pemberian informasi kepada insan pajak adalah karena ketidakpercayaan kepada DJP. Inilah yang menjadi penghalang modernisasi perpajakan," urainya.

"Desain reformasi perpajakan saat ini tidak terpisah dari benang merah sejarah yang disampaikan, yaitu meng-address isu terkait penerimaan perpajakan secara keseluruhan bersama PNBP-nya. Desain reformasi dikembangkan secara logis dan berkelanjutan, yaitu organisasi yang merefleksikan perbedaan jenis tantangan, jumlah karakter bisnis di suatu wilayah. Tentu ini berbeda dengan karakter LTO, MTO, STO agar tidak one size fit all. Dari sisi organisasi, juga diperlukan modernisasi era digital yang menentukan arah kegiatan ekonomi. Maka saat ini dimunculkan dua direktorat baru yaitu direktorat yang menangani data dan informasi. Ini akan mengurangi interaksi serta menaungi big data. Dulu ini semua adalah impian dari Hadi Purnomo dan saat ini sudah terealisasi," ungkap Sri Mulyani.

"Pilar kedua reformasi adalah Sumber Daya Manusia. Ini sangat kritikal. Saat reformasi, DJP dibedakan gajinya dengan Kemenkeu karena adanya elemen resiko. SDM dan remunerasi adalah satu mata uang dalam dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Saat ini dibutuhkan orang-orang dengan background yang sangat bervariasi mulai dari IT, psikologi, analis big data, hukum, dan sebagainya. Selain itu, diperkuat pula kode etik, internal control, dan whistleblowing system yang merupakan mekanisme untuk menjaga profesionalitas," papar Sri Mulyani.

"Pilar ketiga adalah proses bisnis untuk mewujudkan sistem teknologi informasi dan database berdasarkan sistem inti atau core tax system yang terintegrasi. Maka, DJP harus mampu men-deliver sistem ini sesuai dengan timelinenya, jangan takut membuat keputusan. Semua proses ke depan akan melalui sistem sehingga meningkatkan konsistensi dan kredibilitas. Kita juga telah melakukan benchmarking dengan berbagai negara. Yang paling penting adalah adanya core team yang tidak berubah-ubah," tegas Sri Mulyani.

"Saat itu, untuk mencari informasi data dari negara lain, apalagi dengan negara tax haven sangat tidak memungkinkan. Sesudah terjadinya krisis 2008, negara berubah dengan sangat signifikan. Mereka melakukan bail out sistem keuangan. Di Indonesia, legacy untuk mem-backup krisis 97-98 masih ada, ada sisa utang saat itu yang masih belum lunas. Keberadaan ekonomi digital, membuat tax avoidance makin rumit dan menimbulkan tax erotion di berbagai negara. Prinsip dalam BEPS perlu untuk mengatasi hal tersebut. Dengan adanya BEPS dan keinginan untuk menciptakan AEoI, tanpa request, maka hal ini disetujui dalam G20," terang Sri Mulyani

"Saat ini ada perpu untuk menjalankan AEoI. Jadi, saat ini Pak Robert meskipun terlihat adem, namun menyimpan banyak sekali data," gurau Sri Mulyani.

"Kami berterima kasih atas dukungan dan involvement seluruh stakeholder yang telah dengan sangat dedikatif memberi masukan kepada kami serta secara reguler memberi update reformasi pajak sebagai bagian dari akuntabilitas," ucap Sri Mulyani.

"Saat ini wajib pajak tidak perlu menghadapi inkonsistensi karena data berasal dari sumber yang sama sehingga bisa berkonsentrasi sepenuhnya pada bisnis," jamin Sri Mulyani.

Sri  Mulyani juga memberi penganugerahan kepada sepuluh mantan dirjen pajak yaitu Salamun A.T. (periode 1981-1988), Fuad Bawazier (periode 1993-1998), Abdullah Anshari Ritonga (periode 1999-2000), Machfud Sidik (periode 2000-2001), Hadi Poernomo (periode 2001-2006), Darmin Nasution (periode 2006-2009), Mochammad Tjiptardjo (periode 2009-2011), Ahmad Fuad Rahmany (periode 2011-2015), Sigit Priadi Pramudito (periode Januari 2015-Desember 2015), dan Ken Dwijugiasteadi (periode 2015-2017).

Sri Mulyani mengajak insan pajak dan masyarakat umumnya untuk belajar dari sejarah. "Negara yang tidak tahu sejarah, tidak akan bisa memahami tujuan DJP," tutup Sri Mulyani.