­Oleh: Erhan Parasu, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Sebut saja namanya Pak Mukidi, tetangga penulis sekaligus kepala RT di kawasan perumahan kami di Tangerang dan bekerja  sebagai mandor di pabrik plastik Tangerang. Orangnya lucu dan sering bercanda.

Hari Minggu malam setelah selesai kumpul arisan warga, kami bapak-bapak mengobrol ngalor -ngidul. Dan tiba-tiba, Pak Mukidi bertanya agak serius kepada saya.

“Maaf, Mas. Ini gimana yah pemerintah maunya apa sih? Kok lagi zaman lagi sulit, pandemi Covid baru selesai, kok penghasilan sampai 5 juta mau kena pajak lagi 5% ? Waduh makin berat beban hidup nih!”   

Curhat pun bertaburan karena hal itu akan berdampak ke penghasilannya. Setelah selesai Pak Mukidi curhat,  saya bilang, “ Wah maaf Pak Mukidi. Hati-hati Bapak kena hoaks.

Hoaks merupakan adaptasi dari kata “hoax” dalam bahasa Inggris yang memiliki arti berita palsu. Menurut KBBI, hoaks adalah sebuah informasi bohong. Informasi tersebut berisi fakta atau kebenaran yang sudah diubah dengan informasi yang meyakinkan tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya.  

Menurut Prof M. Alwi Dahlan, ahli komunikasi dari Universitas Indonesia yang juga mantan Menteri Penerangan, hoaks adalah manipulasi berita yang sengaja dilakukan untuk memberikan pengakuan atau pemahaman yang salah.  Di dalam hoaks terdapat penyelewengan fakta yang membuatnya menjadi menarik perhatian. Sesuai dengan tujuannya, hoaks dicipta untuk mendapatkan perhatian.

 

Perilaku Warganet Indonesia

Berbicara mengenai hoaks tidak bisa dilepaskan dari kelakuan pelaku media sosial atau warganet. Pada Februari 2021, Microsoft mengeluarkan laporan terbaru yang antara lain mengukur tingkat kesopanan atau pengguna internet dengan tajuk 2020 Digital Civility Index (DCI).

Secara global, Belanda menjadi negara dengan warganet paling sopan alias peringkat pertama. Sementara di Asia Tenggara dan Asia secara umum, Singapura berada di posisi teratas dan ke empat secara global. Bagaimana Indonesia.? Dari 32 negara yang diteliti Microsoft, posisi Indonesia cukup menyedihkan karena menempati peringkat ke-29, terbawah di Asia Tenggara!

Hoaks banyak menyerang dengan beragam topik. Menurut survei Katadata Insight Center (KIC) yang berjudul “Status Literasi Digital Indonesia 2021”, sebanyak 69,3% responden menyatakan bahwa politik menjadi topik konten yang paling banyak mengandung isu hoaks atau berita bohong pada 2021.

Topik konten yang dinilai responden banyak mengandung isu hoaks berikutnya adalah kesehatan sebesar 39,7%. Disusul oleh topik agama dan lingkungan yang masing-masing sebesar 29,2% dan 21,4%. Survei tersebut tidak mencantumkan persentase topik tentang perpajakan. Apa berarti topik perpajakan itu tidak ada ?

 

Hoaks Topik Perpajakan

Tentu saja hoaks tentang topik perpajakan itu selalu ada, salah satunya tentang penghasilan Rp5 juta terkena pajak 5% yang dibahas di awal tulisan ini. Mungkin kita masih ingat hoaks bahwa sembako akan dikenakan pajak, kemudian hoaks bahwa dengan NPWP orang pribadi beralih menjadi NIK maka semua penduduk Indonesia akan dikenakan pajak. Bahkan beberapa tahun yang lalu, beredar hoaks pembelian tiket pesawat harus menyertakan NPWP, serta ada biaya dalam pembuatan NPWP dan pelayanan perpajakan.

Memang selama ini hoaks-hoaks topik perpajakan belum sampai membuat gangguan secara signifikan ke penerimaan pajak. Namun, jangan pernah mengabaikan hoaks karena hoaks bisa bersifat destruktif. Beberapa kejadian kerusuhan dan perpecahan masyarakat timbul karena dipicu hoaks.  Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai pihak utama pengemban tugas negara untuk menghimpun pajak merupakan salah satu sasaran tembak para penerbit hoaks.

DJP telah sering melakukan serangkaian upaya untuk menangkal hoaks-hoaks perpajakan tersebut. Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat juga kerap merilis informasi untuk meluruskan informasi salah yang beredar di masyarakat. Kantor pelayanan pajak (KPP) dan kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan (KP2KP) sebagai garda terdepan DJP melalui media sosialnya juga turut berpartisipasi.

Dalam beberapa kasus, bahkan Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan turun tangan untuk meredakan hoaks. Menteri Keuangan Sri Mulyani membantah hoaks kabar mengenai pekerja dengan gaji Rp5 juta per bulan akan dikenakan pajak. 

“Gaji 5 juta dipajaki 5% ITU SALAH Banget..!!! JUDUL BERITA mengenai Peraturan Pemerintah 55/2022 mengenai pajak penghasilan MEMBUAT NETIZEN EMOSI..! Untuk gaji 5 juta TIDAK ADA PERUBAHAN aturan pajak," tulis Sri dalam akun Instagram resminya @smindrawati di Jakarta, Selasa (3/1/2023).

Hal yang perlu diwaspadai menjadi hoaks perpajakan yang baru adalah peraturan mengenai penerimaan natura bagi pegawai. Jangan sampai hal tersebut menjadi amunisi bagi penerbit hoaks untuk melancarkan “serangan” baru ke DJP. Hoaks Isu-isu perpajakan bisa digoreng  untuk buruh dan pekerja sehingga menimbulkan kesan bahwa seolah-olah pemerintah melakukan kezaliman kepada karyawan dan buruh. Dan seperti biasa ujung-ujungnya para penerbit hoaks selalu menyerukan gerakan memboikot membayar pajak. Lucunya, mereka ini tidak menyadari bahwa selama ini justru mereka juga turut menikmati hasil pajak seperti subsidi BBM, pembangunan infrastuktur, vaksinasi Covid-19, BLT, dan lain-lain.

 

Menangkal Hoaks adalah Pekerjaan Bersama

Untuk menangkal hoaks tentu bukan hanya merupakan pekerjaan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Keuangan, tetapi merupakan pekerjaan bersama khususnya bagi seluruh pegawai DJP. Cukup banyak pegawai DJP yang berasal dari kelompok milineal yang memiliki pengikut dan aktif di media sosial. Diharapkan pimpinan DJP bisa merangkul korsa kelompok milenial dan seluruh karyawan DJP untuk berperan aktif dalam menangkal hoak ini.

Jangan melupakan jalur informal seperti arisan, rapat warga, pertemuan komunitas, reuni angkatan sekolah atau kampus sebagai sarana informasi perpajakan. Tentu saja diperlukan kearifan tersendiri, bahasa yang ringkas dan sederhana serta durasi  penyampaian informasi jangan terlalu lama.

Durasi waktu tidak boleh lama karena akan membosankan, membuat pesan utama justru terlupakan dan tidak tersampaikan. Bisa Anda bayangkan misalnya acara reuni yang merupakan acara temu kangen teman-teman lama bisa bubar kalau disisipkan acara penyuluhan perpajakan dengan pendekatan konvensional.

Jalur informal tidak bisa dikesampingkan karena bisa menyentuh pihak-pihak yang tidak tersentuh media sosial, juga ada kepercayaan dari penerima informasi karena yang menyampaikannya adalah pihak yang memiliki kedekatan emosional, budaya maupun latar belakang.

Selain pihak internal DJP, melibatkan pihak-pihak eksternal yang memiliki kedekatan dengan DJP seperti mitra/sahabat pajak, konsultan pajak dan asosiasi-asosiasi profesi juga dapat dilakukan. Salam satu bahu DJP!

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.