Tiga Hal Mengerek Rasio Pajak

Oleh: Freddy Halasan Butarbutar, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Teori-teori ekonomi secara umum dapat dibagi menjadi dua pendapat besar. Pendapat yang pertama menyatakan bahwa intervensi pemerintah diperlukan dalam perekonomian, untuk mengurangi dampak eksternalitas dalam keputusan-keputusan pelaku ekonomi.
Pendapat besar kedua mengatakan bahwa campur tangan pemerintah harus ditekan dan diminimalisasi, sehingga ekonomi dapat menemukan titik keseimbangannya secara alami melalui mekanisme pasar. Ada juga paradoks masyarakat yang tanpa ragu meminta pemerintah menyelesaikan permasalahan ekonomi, namun enggan saat mendiskusikan sumber pembiayaan negara. Seakan-akan negara akan selalu memiliki sumber pendanaan yang tidak terbatas.
Terlepas dari kedua pendapat utama dalam ekonomi tadi, sebuah negara secara mutlak membutuhkan sumber pembiayaan yang utamanya diperoleh dari penerimaan perpajakan. Dengan demikian, perpajakan merupakan bagian penting dan tidak dapat dilepaskan dari peradaban manusia. Pertanyaannya, apakah dalam peradaban kita sekarang, administrasi perpajakan Indonesia sudah optimal dalam melakukan tugasnya?
Seperti pepatah kuno Heraklitus katakan, “Dalam kehidupan, tidak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri.” Sebaik-baiknya administrasi perpajakan saat ini, tetap mutlak harus berubah memperbaiki diri untuk mengikuti peradaban. Perkembangan teknologi informasi dalam peradaban sekarang telah mengubah berbagai aspek kehidupan, termasuk cara masyarakat berinteraksi dengan pemerintah.
Digitalisasi administrasi perpajakan di Indonesia sebenarnya sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu, saat teknologi informasi sudah digunakan dalam pengolahan data perpajakan, pelaporan SPT, dan pembayaran pajak. Namun ternyata, teknologi informasi yang berkembang pesat menciptakan banyak peluang yang dapat digunakan oleh pemerintah dalam perbaikan administrasi perpajakan di Indonesia.
Pemerintah Indonesia telah menginisiasi pembaruan sistem inti administrasi perpajakan dengan mengadopsi teknologi modern dan sistem terintegrasi melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2018. Pembaruan ini merupakan proyek desain ulang dan reengineering proses bisnis administrasi perpajakan melalui pembangunan sistem informasi sehingga diharapkan sistem perpajakan menjadi mudah, andal, terintegrasi, akurat, dan pasti. Dengan itu wajib pajak akan dapat lebih mudah mengakses informasi hak dan kewajiban perpajakannya dan pemerintah dapat lebih efektif dalam pengawasan kepatuhan perpajakan. Sistem inti ini diharapkan dapat diluncurkan dan dimanfaatkan pada tahun 2024.
Pada masa setelah pandemi, Indonesia dipandang berhasil dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang sangat baik di saat banyak negara harus berhadapan dengan kontraksi dan krisis ekonomi. Aktivitas dan pergerakan ekonomi Indonesia yang cemerlang ini seharusnya diikuti dengan kewajaran penerimaan perpajakan yang diukur dengan tax ratio. Artinya, mayoritas masyarakat harus menyadari, bahwa saat memperoleh hasil dari kegiatan ekonomi yang dilakukan, ada pajak yang harus dibayar. Pembaruan sistem inti administrasi perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan yang tergambar melalui tax ratio, yaitu perbandingan antara penerimaan pajak suatu negara dan besaran ekonominya.
Jika berkaca pada kinerja penerimaan negara dua tahun terakhir, capaian Direktorat Jenderal Pajak telah berhasil dalam memenuhi target penerimaan perpajakan tahun 2021 dan 2022. Hal ini dikonfirmasi dengan adanya kenaikan tax ratio di tahun 2021 menjadi sebesar 9,11%, sebelumnya di tahun 2020 hanya sebesar 8,33%. Demikian juga terjadi peningkatan tax ratio di tahun 2022 menjadi 10,38%. Walaupun tax ratio Indonesia meningkat pada tiga tahun terakhir, angka ini masih dipandang rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara dengan tarif pajak yang tidak jauh berbeda.
Pembaruan sistem inti administrasi perpajakan diharapkan dapat mengerek tax ratio melalui beberapa hal sebagai berikut. Pertama, perluasan basis pemajakan melalui pemadanan NIK-NPWP. Pemadanan NIK-NPWP ini merupakan langkah besar dalam administrasi perpajakan, untuk menjadi penghubung dalam administrasi perpajakan atas kegiatan ekonomi yang terjadi. Dengan padannya NIK-NPWP, administrasi perpajakan akan dapat menelusuri setiap kegiatan ekonomi dan memastikan kewajiban perpajakannya telah terpenuhi pula.
Kedua, peningkatan kepatuhan perpajakan melalui transparansi pada akun wajib pajak dengan penggunaan data yang terintegrasi dan sistem yang mumpuni dalam pengawasan perpajakan. Adanya kanal informasi langsung kepada wajib pajak merupakan cara mudah dalam mengingatkan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Peningkatan kepatuhan perpajakan secara linear juga akan meningkatkan tax ratio.
Ketiga, proses administrasi perpajakan yang lebih efisien akan mengurangi beban administratif bagi wajib pajak dan mengurangi cost of collection. Digitalisasi administrasi perpajakan, seperti penggunaan teknologi informasi dan sistem terintegrasi, dapat mempercepat proses pelaporan, pengolahan data, dan penerimaan pajak secara keseluruhan.
Pembaruan sistem inti administrasi perpajakan di Indonesia merupakan tonggak penting dalam digitalisasi layanan perpajakan. Penerimaan perpajakan dengan tax ratio yang membaik akan membawa Indonesia menjadi negara berdaulat, adil, dan makmur pada masa depan.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 289 kali dilihat