Oleh: (Bambang Jatmiko Kurniawan), pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pada saat ini, semakin banyak individu dan entitas bisnis yang beraktivitas lintas negara dan ini menimbulkan tantangan tersendiri dalam penentuan status residen pajak. Di Indonesia, seperti di banyak negara lain, status sebagai residen pajak atau nonresiden pajak sangat memengaruhi hak dan kewajiban perpajakan. Namun, dalam kasus tertentu, seseorang atau badan usaha mungkin memenuhi kriteria sebagai subjek pajak dalam negeri di dua negara atau lebih, yang dikenal sebagai situasi dual residence atau residen ganda.

Residen ganda adalah kondisi pada saat subjek pajak yang bekerja di luar negeri merasa atau ternyata telah dianggap menjadi residen suatu negara lain. Ini biasanya karena presensinya (time test) di negara lain tersebut telah memenuhi syarat untuk dianggap sebagai residen menurut UU pajak domestik negara itu. Satu subjek pajak dianggap menjadi residen di kedua negara berdasarkan UU pajak domestik masing-masing negara. Tax treaty memberikan solusinya supaya residen tersebut tidak dikenakan pajak berganda.

Tax treaty atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar dua negara yang mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penduduk salah satu negara atau penduduk kedua negara dalam persetujuan tersebut. Negara mana yang berhak memajaki residen ganda itu?

Tie-breaker rule adalah solusi yang diterapkan dalam P3B atau Tax Treaty antara Indonesia dan negara lain untuk mengatasi masalah ini. Aturan ini berfungsi menentukan negara mana yang memiliki hak pemajakan utama sehingga menghindari pengenaan pajak berganda (double taxation) atas penghasilan yang sama.

Tie-breaker rule di Indonesia didasarkan pada ketentuan dalam P3B yang disepakati dengan negara mitra. Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 60 perjanjian pajak dengan negara lain yang bertujuan untuk menghindari pajak ganda dan mendorong kepastian perpajakan bagi wajib pajak internasional. Selain itu, peraturan terkait residensi dan P3B ini dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yang juga menjadi otoritas dalam melakukan negosiasi dan pelaksanaan P3B.

 

Tahapan Pengujian Tie-breaker Rule

Penggunaan tie-breaker rule dilakukan dengan beberapa tahapan pengujian. Pengujian tersebut harus dilakukan secara hierarkis, dengan menentukan secara berurutan tempat tinggal tetap, pusat kepentingan utama, tempat kebiasaan menetap, nasional (kewarganegaraan/kebangsaan), dan jika belum dapat ditentukan, maka penentuan status Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN)-nya dilakukan melalui prosedur persetujuan bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) antara pejabat yang berwenang.

Melalui pengujian pertama, status SPDN individu diberikan kepada negara tempat individu tersebut mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia untuknya. Bentuk tempat tinggal tetap tersebut dapat berupa rumah, apartemen, dan bentuk tempat tinggal lainnya, baik yang dimiliki atau disewa sepanjang bersifat permanen atau tidak bersifat sementara. Pengertian permanen dapat diartikan bahwa tempat tinggal tersebut tersedia untuk yang bersangkutan secara terus-menerus.

Jika status SPDN individu tidak dapat ditentukan karena Individu tersebut memiliki tempat tinggal tetap di kedua Negara Pihak dalam Persetujuan dilakukanlah pengujian berikutnya, yakni dengan melihat di mana pusat kepentingan utama. Keterkaitan pribadi dan ekonomis dapat ditentukan dengan memperhatikan faktor keluarga, hubungan sosial, pekerjaan dan aktivitas politik, sosial dan aktivitas lainnya secara keseluruhan.

Apabila masih tidak dapat ditentukan dengan melihat pusat kepentingan utama, untuk dapat menentukan indvidu menjadi residen, maka penentuan negara mana yang menjadi tempat residen individu tersebut adalah dengan melihat tempat kebiasaan individu menetap secara umum. Penetapan residen individu ini dilakukan dengan melihat di mana individu ini lebih banyak menetap.

Jika individu tersebut memiliki tempat kebiasaan menetap di kedua negara yang sama atau sama sekali tidak memiliki tempat kebiasaan menetap di kedua negara tersebut, maka untuk menentukan individu tersebut dianggap sebagai residen suatu negara, yakni dengan melihat di mana individu tersebut tercatat sebagai warga negara.

Apabila individu tersebut memiliki kewarganegaran ganda atau tidak memiliki kewarganegaraan di kedua negara, maka jalan terakhir untuk menentukan residen individu tersebut adalah dengan membuat keputusan melalui kesepakatan antara otoritas pajak negara-negara bersangkutan. Kedua negara akan berunding untuk menentukan status residen pajak yang sesuai. Melalui mekanisme MAP, otoritas pajak kedua negara akan bernegosiasi untuk menentukan negara mana yang menjadi residen pajak individu tersebut.

 

Tantangan Penerapan Tie-breaker Rule

Dalam praktiknya, penerapan tie-breaker rule di Indonesia sangat penting, terutama untuk mengatasi permasalahan yang sering muncul pada wajib pajak internasional, seperti ekspatriat, tenaga kerja asing, serta perusahaan multinasional.

Namun, ada beberapa tantangan yang dihadapi seperti kompleksitas penentuan pusat kehidupan ekonomi dan sosial. Untuk menilai pusat kehidupan ekonomi dan sosial dapat menjadi proses yang kompleks dan subjektif, terutama ketika individu memiliki hubungan ekonomi yang kuat di beberapa negara.

Tantangan lainnya berupa proses MAP yang memakan waktu. Ketika penentuan status residen melalui MAP diperlukan, prosesnya bisa memakan waktu lama karena harus melalui negosiasi antarnegara. Ini karena masing-masing negara memiliki kepentingan dalam hal penentuan residen individu, sehingga untuk mencapai kesepakatan bersama memerlukan negosiasi yang menguntungkan kedua belah pihak.

Selain itu terkait dinamika perubahan peraturan perpajakan global. Adanya perubahan yang cepat dalam kebijakan perpajakan internasional, termasuk upaya global untuk mencegah praktik base erosion and profit shifting (BEPS), membuat aturan-aturan P3B terus disesuaikan. Indonesia juga telah menandatangani Multilateral Instrument (MLI) sebagai bagian dari inisiatif BEPS yang membawa perubahan signifikan dalam P3B.

Peningkatan kepatuhan pajak wajib pajak internasional menjadi tantangan berikutnya dalam penerapan tie-breaker rule. Ini yang dialami oleh DJP dalam memastikan wajib pajak internasional mematuhi peraturan perpajakan, termasuk tie-breaker rule. Edukasi dan sosialisasi tentang tie-breaker rule perlu terus dilakukan agar wajib pajak memahami hak dan kewajiban mereka.

Pada akhirnya tie-breaker rule dalam perpajakan internasional di Indonesia berperan krusial dalam menghindari pajak ganda serta memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak. Melalui ketentuan dalam P3B, individu dan entitas bisnis yang dianggap residen di lebih dari satu negara memiliki panduan untuk menentukan status residen pajak mereka. Meskipun penerapannya dihadapkan pada beberapa tantangan, aturan ini tetap menjadi elemen penting dalam menjaga kepatuhan pajak dan mengurangi sengketa perpajakan internasional.

Ke depannya, koordinasi dan komunikasi yang baik antara DJP dan otoritas pajak internasional akan menjadi kunci utama dalam implementasi tie-breaker rule, terutama di tengah perkembangan pesat kebijakan perpajakan global yang terus berubah.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.