Oleh: Yacob Yahya, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Tampaknya Hari Pajak pekan lalu menjadi tonggak bersejarah terbitnya ketentuan penting yang menjadi terobosan. Pertama, Menteri Keuangan Sri Mulyani merilis Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMK 37/2025). Kedua, Direktur Jenderal Bimo Wijayanto meluncurkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2025 tentang Piagam Wajib Pajak (Taxpayers’ Charter).

Dalam konsiderans PER-13/PJ/2025 tersebut, piagam wajib pajak ini lahir guna memperkuat komitmen Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mendukung transparansi, akuntabilitas, dan keadilan, meningkatkan hubungan saling percaya, antara wajib pajak dan DJP dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, serta menyesuaikan dengan kelaziman dan praktik terbaik secara internasional.

Dalam ekosistem perpajakan, sudah selayaknya bahwa hubungan antara negara dan wajib pajak duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Para Bapak Bangsa telah sedemikian telaten dan teliti merumuskan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya batang tubuh Pasal 23. Tercetus dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada 14 Juli 1945, kata “pajak” pertama kali disebut lantaran peran pentingnya dalam pembiayaan negara Indonesia, jika ia merdeka kelak. Peristiwa inilah yang mengilhami penetapan Hari Pajak, yang diperingati setiap 14 Juli.

Oleh karena itu, dalam rangkaian rapat selanjutnya, istilah pajak dibahas lebih intens hingga lahirlah Pasal 23 ayat (2) yang berbunyi “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. Belakangan pasal tersebut mengalami amandemen ketiga pada 2001 sehingga menjadi Pasal 23A yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

Hal ini menunjukkan bahwa pemajakan oleh negara terhadap rakyat harus melalui persetujuan rakyatnya alias kontrak sosial, dengan mekanisme pembahasan undang-undang antara pemerintah dengan anggota parlemen selaku wakil rakyat.

Baca juga:
Luncurkan Piagam Wajib Pajak, Dirjen Pajak: Wujud Keterbukaan dan Kepastian Hukum
 
Simak! Baru Terbit PMK 37/2025, Pengelola Platform Lokapasar Kini Pungut PPh Pasal 22

Berabad silam, saat dunia Barat bergejolak lantaran revolusi jelang lahirnya demokrasi, timbul pepatah yang kesohor, “no taxation without representation” atau tiada pemajakan tanpa pembahasan oleh wakil rakyat. Ada juga istilah “taxation without representation is robbery” yang artinya pemajakan tanpa persetujuan wakil rakyat adalah pemalakan. Filosofi yang mendalam inilah yang meletakkan dasar kesetaraan kedudukan antara negara dan rakyatnya di bidang perpajakan. Hal ini juga menggambarkan secara gamblang bahwa pelaksanaan perpajakan harus berpijak pada keadilan.

Sebagai aturan turunan Konstitusi, terbitlah sejumlah peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri keuangan, hingga peraturan direktur jenderal pajak yang mengatur pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Dari sekian beleid tersebut, terinventarisasi sebanyak 272 hak dan 175 kewajiban wajib pajak.

Piagam wajib pajak ini menjadi kodifikasi yang merangkum sejumlah hak dan kewajiban tersebut, menjadi delapan hak dan delapan kewajiban utama, sebagai berikut:

Hak Wajib Pajak:
1. Hak untuk memperoleh informasi dan edukasi di bidang perpajakan.
2. Hak untuk mendapatkan pelayanan di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tanpa dipungut biaya.
3. Hak untuk mendapatkan perlakuan secara adil, setara, dihormati, dan dihargai dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
4. Hak untuk membayar tidak lebih dari jumlah pajak yang terutang.
5. Hak untuk mengajukan upaya hukum atas sengketa perpajakan serta hak untuk memilih penyelesaian secara administratif dalam rangka mencegah timbulnya sengketa perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
6. Hak atas kerahasiaan dan keamanan data wajib pajak.
7. Hak untuk diwakili oleh kuasa dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
8. Hak untuk menyampaikan pengaduan dan melaporkan pelanggaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Kewajiban Wajib Pajak:
1. Kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
2. Kewajiban untuk bersikap jujur dan transparan dalam pemenuhan kewajiban sebagai wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
3. Kewajiban untuk saling menghormati dan menghargai dengan menjunjung tinggi etika, sopan santun, dan moralitas dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan.
4. Kewajiban untuk bersikap kooperatif dalam menyampaikan data, informasi, dan hal lain sebagai dasar dalam kegiatan pelayanan, pengawasan, pemeriksaan, dan penegakan hukum di bidang perpajakan.
5. Kewajiban untuk menggunakan fasilitas atau kemudahan di bidang perpajakan secara jujur, tepat guna, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
6. Kewajiban untuk melakukan dan menyimpan pembukuan atau pencatatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
7. Kewajiban untuk menunjuk kuasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan bagi wajib pajak yang menunjuk kuasa.
8. Kewajiban untuk tidak memberikan gratifikasi atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam membidani piagam wajib pajak ini, tak lupa DJP melibatkan seluruh pemangku kepentingan (meaningful participation), antara lain Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak), sejumlah perwakilan pelaku industri, wajib pajak, tax center, akademisi, serta konsultan pajak. Hal ini menunjukkan itikad baik pemerintah dalam merajut kepercayaan dengan wajib pajak. Banyaknya pihak yang terlibat juga menunjukkan inklusivitas dalam merumuskan piagam ini.

Kita harus mengapresiasi inovasi DJP ini. Piagam wajib pajak merupakan bentuk pengakuan bahwa hak dan kewajiban perpajakan harus dijalankan secara adil, dengan kedudukan yang setara antara negara dan wajib pajak, serta terjalin dengan saling percaya.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.