Oleh: Maya Adismara Lesmana, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Di era digital seperti sekarang manusia hampir tidak pernah luput dari kemudahan, mulai dari memesan makanan sampai bersedekah secara online sudah tersedia. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tentu tidak terkecuali, kemudahan dalam pelaporan SPT Tahunan telah diberikan kepada wajib pajak melalui e-Filing.

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-02/PJ/2019 tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan, dan Pengolahan Surat Pemberitahuan, e-Filing adalah cara penyampaian SPT melalui saluran tertentu yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak. Sedangkan SPT e-Filing adalah SPT dalam bentuk dokumen elektronik yang disampaikan wajib pajak melalui e-Filing. Adapun saluran yang dimaksud adalah laman Direktorat Jenderal Pajak di www.pajak.go.id.

Kini jutaan Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) karyawan dari satu atau lebih pemberi kerja di Indonesia telah memanfaatkan kemudahan pelaporan SPT Tahunan PPh Pasal 21 melalui e-Filing, namun tidak sedikit yang menemukan kendala sehingga WP OP berakhir dengan mendatangi kantor pajak terdekat untuk berkonsultasi. Menurut penulis, berikut adalah lima kesalahan terbanyak yang dilakukan WP OP karyawan saat mengisi SPT melalui e-Filing. Yuk, pastikan Anda tidak melakukannya!

  1. Bingung Membedakan Penghasilan Bruto dan Neto

Setiap tahun WP OP karyawan diberikan Formulir 1721 A1 atau yang sering disebut dengan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21, oleh tempat pemberi kerja (kantor/perusahaan/instansi tempat bekerja). Formulir tersebut menunjukkan angka penghasilan bruto dan neto anda yang harus diisi pada SPT Tahunan. Jangan sampai salah membedakannya ya! Besar penghasilan bruto akan menentukan apakah Anda perlu mengisi SPT 1770SS (sangat sederhana) untuk penghasilan bruto kurang dari enam puluh juta rupiah atau SPT 1770S (sederhana) untuk penghasilan bruto lebih dari enam puluh juta rupiah. Selanjutnya besar penghasilan neto harus Anda isi di SPT Tahunan PPh Pasal 21 sesuai dengan yang tertera di bukti pemotongan. Tapi jangan khawatir, apabila Anda membacanya dengan teliti, penghasilan bruto dan neto tertera dengan jelas.

  1. Tidak Mengisi Daftar Potongan / Pungutan Pajak

Daftar potongan/pungutan pajak berisi informasi yang harus Anda lengkapi berupa Jenis Pajak, NPWP Pemotong/Pemungut Pajak, Nama Pemotong/Pemungut Pajak (akan terisi otomatis setelah anda mengisi kolom sebelumnya), Nomor Bukti Pemotongan/Pemungutan, Tanggal Bukti Pemotongan/Pemungutan, dan Jumlah PPh yang Dipotong/Dipungut. Semua informasi di atas terdapat pada bukti potong PPh Pasal 21. Anda hanya harus mengisinya dengan benar dan sesuai. Apabila Anda luput atau salah mengisi daftar ini, berakibat pada status akhir laporan SPT PPh Pasal 21 Anda. Alih-alih nihil, justru akan kurang bayar atau lebih bayar. Kalau sudah seperti ini dicek dulu ya, sudah terisi dengan benar belum?

  1. Tidak Mengisi Daftar Harta dan Utang

Salah satu ketentuan yang memenuhi penelitian SPT berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-02/PJ/2019 tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan, dan Pengolahan Surat Pemberitahuan adalah SPT diisi dengan lengkap dan sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen yang dipersyaratkan. Hal ini berarti WP OP karyawan juga harus mengisi daftar harta dan utang sebagai bagian tidak terpisahkan dari SPT Tahunan PPh Pasal 21.

Kebanyakan WP OP melewatkan bagian ini atau mengisinya dengan asal-asalan karena satu dan lain hal, antara lain karena dianggap tidak penting, merasa takut jika harta yang dilaporkan menyertai jumlah pajak yang harus dibayar, atau alasan lainnya. Padahal daftar harta dan utang wajib dilaporkan sebagai instrumen dari penghasilan itu sendiri, bukan sebagai subjek pajak. Pada jangka panjang, daftar harta dan utang pada SPT Tahunan dapat dijadikan tolak ukur dalam menghitung kesejahteraan masyarakat Indonesia lho.

  1. Tidak Mengisi Daftar Tanggungan / Keluarga

Tidak jauh berbeda dengan poin 3, daftar tanggungan / keluarga pun berkaitan dengan syarat kelengkapan SPT itu sendiri. Daftar ini akan mendukung status kewajiban perpajakan WP OP karyawan yang tertera pada bukti pemotongan PPh Pasal 21.

Sebagai contoh: Wahyu seorang karyawan perusahaan otomotif dengan status K/2 (menikah dan memiliki dua anak) pada bukti pemotongan PPh Pasal 21, namun tidak mengisi daftar tanggungan / keluarga-nya pada SPT Tahunan PPh pasal 21, maka sesungguhnya Wahyu tidak memenuhi ketentuan pada SPT dan tidak mendukung status K/2 tersebut pada SPT nya. Lalu mengapa status kewajiban perpajakan menjadi penting untuk WP OP? Akan dijelaskan pada poin selanjutnya.

  1. Status Kewajiban Perpajakan Tidak Sesuai dengan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21

Status kewajiban perpajakan berkaitan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) WP OP. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016, PTKP WP OP adalah Rp54.000.000,- (lima puluh empat juta rupiah) dan tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat sebesar Rp4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah), maksimal 3 (tiga) orang setiap keluarga. Ini berarti setiap status kewajiban perpajakan yang berbeda akan memiliki PTKP yang berbeda pula. Sedangkan PTKP itu sendiri berkaitan dengan PPh Pasal 21 terutang dari masing-masing WP OP karyawan.

Kemudian banyak status kewajiban perpajakan pada bukti pemotongan PPh pasal 21 WP OP yang sudah tidak relevan dengan keadaan yang sebenarnya. Contoh: Bima seorang pegawai perusahaan jasa konstruksi memiliki status kewajiban perpajakan TK/0 (belum menikah dan tidak memiliki tanggungan) sedang mengisi SPT Tahunan PPh pasal 21 OP melalui e-Filing, namun memilih status K/0 (sudah menikah dan tidak memiliki tanggungan lain) sesuai dengan status baru nya sebagai suami dalam dua bulan terakhir. PTKP Bima pada bukti pemotongan PPh Pasal 21 adalah Rp54.000.000,- , sedangkan karena Bima memilih status K/0 PTKP nya menjadi Rp58.500.000,-. Kemudian setelah selesai mengisi SPT didapatkan status kurang bayar alih-alih nihil. Yang seharusnya Bima lakukan adalah tetap mengisi status kewajiban perpajakan sesuai dengan yang tertera pada bukti pemotongan PPh Pasal 21, lalu melaporkan status perkawinannya kepada pemberi kerja/perusahaan sehingga status Bima pada bukti pemotongan PPh Pasal 21 tahun depan berubah menjadi K/0.

Itulah 5 kesalahan yang paling sering dilakukan oleh WP OP karyawan saat melaporkan SPT Tahunan-nya, apakah Anda pernah mengalaminya? Tahun depan pasti sudah tidak bingung lagi. Lapor SPT? e-Filing aja!

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.