Reformasi Perpajakan melalui Sederet Aksi

Oleh: Erin Fadilah Sari, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Hari itu seluruh pengguna moda kereta api listrik atau Commuter Line (CL) dibuat repot dan berdesak-desakan sejak pagi di stasiun kereta. PT Commuter Line Indonesia (CLI) sedang melakukan pembaharuan dan pemeliharaan sistem tiket elektronik. Para pelanggan setia yang memiliki kartu elektronik KRL, kartu multi trip maupun kartu uang elektronik dari bank tetap harus melakukan transaksi tiket di loket sebelum menggunakan jasa CL. 

PT CLI berdalih keadaan ini tidak dapat dielakkan demi menjaga keandalan sistem di masa yang akan datang. Alhasil penumpang menumpuk padat di tiap stasiun keberangkatan, walaupun kejadian ini telah dimitigasi oleh PT CLI dengan memulai pembaruan sistem sejak dua hari yang lalu, namun ternyata proses ini masih membutuhkan waktu lebih. Para pengguna jasa diimbau untuk menyiapkan uang tunai sesuai tarif tiket kertas agar mempercepat proses pembelian. Minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh PT CLI banyak dikeluhkan oleh para pengguna jasa. Petugas yang tidak siap dengan membludaknya pengguna jasa juga menambah panjang daftar protes yang diterima PT CLI.

Berkaca dari kejadian tersebut, saya coba menghubungkannya dengan kondisi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sebagai institusi yang mengemban amanah untuk menghimpun penerimaan negara, DJP dituntut untuk selalu bekerja keras dan berkomitmen. Saat ini DJP pun tengah berbenah diri agar menjadi organisasi yang lebih mumpuni. Harus diakui, pajak masih merupakan hal yang sebisa mungkin untuk dihindari namun juga terlalu seksi untuk dilewatkan. Tidak ada yang ikhlas membayar pajak, walaupun tahu arti pentingnya pajak.

Porsi APBN yang bersumber dari pajak semakin naik setiap tahunnya. Berbagai upaya dilakukan untuk menggenjot penerimaan pajak. Namun tidak sedikit pula regulasi yang memberikan penurunan tarif pajak karena tuntutan dunia bisnis.

Seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani, “DJP memiliki tiga fungsi, yang tiga-tiganya itu bertolak belakang. Fungsi pertama, DJP harus mampu mengumpulkan penerimaan pajak dengan peraturan perundang-undangan yang dimiliki, dan itu berarti DJP memiliki power. Fungsi kedua, 180 derajat berbeda dengan fungsi pertama, pajak harus mampu melayani masyarakat. Itu artinya DJP harus bisa memberikan pelayanan yang baik, seadil-adilnya, sesopan-sopannya dan itu merupakan perjuangan yang tidak mudah. Fungsi ketiga, yang menurut beliau masih belum cukup sulit yaitu DJP harus mampu menjadi instrumen yang mendukung perekonomian dan masyarakat Indonesia."

Upaya DJP dalam meningkatkan penerimaan pajak cukup menggembirakan dilihat di semester pertama tahun 2018. Di semester ini penerimaan pajak tumbuh 14,4%. Lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017 sebesar 8,6%. Kenaikan ini pun lebih baik jika disandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 5,1% dan inflasi 3,2%. Peningkatan capaian tersebut antara lain didukung oleh peningkatan jumlah Wajib Pajak dari tahun ke tahun dan yang tak kalah pentingnya adalah didorong oleh upaya reformasi perpajakan.

Sejak 2017 sampai tahun 2020 reformasi perpajakan telah memasuki jilid III. Tujuan yang diharapkan dari reformasi ini yaitu:

a.    Institusi perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel. Ditopang oleh lima pilar utama: stuktur organisasi yang ideal; Sumber Daya Manusia yang professional, kompeten, kredibel, berintegritas; IT dan basis data yang reliable dan handal; proses bisnis yang sederhana, efektif, efisien, akuntabel, berbasis IT dan komprehensif; dan terakhir, peraturan yang menjamin kepastian hukum.  

b.      Sinergi antar lembaga optimal

c.      Kepatuhan Wajib Pajak tinggi

d.      Tax ratio 15%

Hal krusial dalam keberhasilan reformasi Sistem Administrasi Perpajakan adalah komitmen yang kuat untuk mendukung keberhasilan reformasi dan kesiapan para pegawai untuk menyongsong perubahan. Berdasarkan penelitian McKinsey tahun 2008, penyebab utama kegagalan program perubahan justru berasal dari pihak internal sendiri, yaitu resistensi pegawai.Perubahan adalah sebuah keniscayaan, namun perubahan harus didukung mulai dari pimpinan tertinggi sampai dengan pegawai level terbawah. Skala prioritas terbesar saat ini adalah melakukan komunikasi secara efektif dan bertahap sehingga menciptakan kesadaran, membangkitkan semangat, membangun dukungan, dan membentuk komitmen pegawai untuk keberhasilan program. Saat ini belum banyak pegawai DJP yang menyadari bahwa proses reformasi masih dan terus bergulir. Berita mengenai reformasi DJP nampaknya hanya beredar di kalangan tertentu saja. Masih cukup banyak pegawai DJP, yang berada di luar Pulau Jawa khususnya, yang belum mengerti proses penting ini. Syukurlah para pemimpin DJP menangkap hal ini. Dalam setiap kesempatan, seperti rapat pimpinan nasional, rapat koordinasi, forum komunikasi dan sejenisnya, reformasi perpajakan kembali giat didengungkan. 

Bila kita menilik kembali alasan pentingnya reformasi, maka bisa dijelaskan latar belakang perlunya reformasi, yaitu:

a.   Kapabilitas organisasi dalam memungut pajak semakin turun, indikator:

     - Rasio pajak turun selama 10 tahun terakhir
     - Target penerimaan tidak tercapai sejak tahun 2018

b.   Kebutuhan akan organisasi yang adaptif terhadap perubahan lingkungan eksternal.

c.   Peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM

d.   Pembenahan sistem informasi dan basis data yang kredibel

e.   Penyederhanaan proses bisnis sesuai dengan International Leading Practice

f.    Penyempurnaan regulasi untuk memberikan aspek kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan

g.   Mengantisipasi tantangan Digital Economic Disruption

h.   Mengantisipasi pengelolaan jumlah WP yang semakin meningkat (Demografic Devidend).

Menjadikan DJP sebagai institusi yang kuat dan bersih salah satunya dapat dicapai dengan memperhatikan best practices dari negara lain, Jepang misalnya. Toshiyuki dari Japan International Cooperation Agency (JICA) expert periode 1998-2001 mengungkapkan bahwa isu meningkatkan kepatuhan membayar pajak bukan tugas yang mudah dan instan. Jepang membutuhkan lebih dari 17 tahun untuk fokus pada masalah tersebut.

Untuk meningkatkan kepatuhan, kualitas organisasi harus ditingkatkan terlebih dahulu sehingga mampu mendapat kepercayaan dari pembayar pajak. Mendapat kepercayaan dari pembayar pajak merupakan tugas utama dari sebuah institusi pajak. Bahkan, Jepang saja membutuhkan waktu hingga lebih dari 60 tahun untuk mendapatkan kepercayaan dengan reformasi sistem pajak dan mempertahankannya hingga kini.

Langkah berikutnya, perbaikan sistem informasi dan basis data yang saat ini tengah dilakukan oleh DJP wajib mendapat dukungan penuh dari semua pihak, terutama lembaga keuangan. Karena sejatinya, pemungutan pajak yang optimal sangat mengandalkan ketersediaan data yang akurat dan sistem informasi yang baik. Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Secara substansi, regulasi kerahasiaan di lembaga jasa keuangan yang menjadi penghalang DJP menjadi tidak berlaku selama terkait dengan perpajakan. Langkah ini menjadi cara yang efektif meningkatkan penerimaan pajak dengan menegakkan prinsip ability to pay (yang mampu membayar lebih besar). Di sisi lain, kewenangan yang besar dan tuntutan transparansi ini harus diimbangi dengan akuntabilitas, seperti perlindungan data wajib pajak (WP) dari penyalahgunaan di luar kepentingan perpajakan. 

Profesionalisme dan integritas aparatur negara harus dijaga dan diatur secara tegas dengan regulasi yang jelas dan sanksi yang berat bagi pihak yang melakukan penyalahgunaan wewenang. Sosialisasi dan edukasi terhadap WP juga hendaknya dilakukan secara terus menerus sehingga kebijakan ini tidak menimbulkan keresahan karena DJP justru ingin memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi WP yang sudah patuh melakukan kewajibannya.

Terakhir, DJP juga tengah mengembangkan manajemen penanganan WP berbasis risiko (Compliance Risk Management) sebagai bagian dari reformasi perpajakan. Wajib pajak dipetakan berdasarkan profil risiko, yaitu tinggi, sedang dan rendah, sehingga penanganannya pun berdasarkan prioritas dari risiko tersebut. DJP menjadi lebih fokus dalam menangani WP berdasarkan histori perilaku kepatuhan dan pembayaran pajaknya.

CRM menggunakan risk engine dari data internal dan eksternal yang dimiliki oleh DJP. Rangkaian proses reformasi ini ibarat gerbong kereta api yang saling bertaut satu sama lain bergerak bersama menuju stasiun yang dituju. Pemimpin adalah penggerak, bagaikan lokomotif yang menggerakkan gerbong-gerbongnya menuju jalan yang lurus mencapai kemakmuran bangsa.(*)

*) Tulisan adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan instansi dimana penulis bekerja