Oleh: Dewi Damayanti, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

"Jadi intinya UKM itu jangan dipersulit untuk tumbuh. Jangan karena pemerintah ingin cari uang, UKM jadi dikenakan pajak."

Mengutip pernyataan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijana kepada Republika pada Rabu (7/3/2018) lalu. Sikap yang tegas menyatakan keberpihakan pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagaimana akhir-akhir ini mengemuka dari para tokoh masyarakat. Tak salah memang, karena  pemerintah sendiri sedang berupaya meningkatkan peran UMKM dalam pembangunan demi pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan.

Namun pernyataan tersebut masih dapat diperdebatkan, jika yang dia maksudkan adalah apakah wajar Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengenakan pajak atas UMKM? Jika kewajaran yang dipermasalahkan, maka ada beberapa hal yang perlu diluruskan.

Pertama terminologi UMKM sendiri perlu lebih diperjelas. Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mengatur kriteria usaha Mikro, Kecil, dan Menengah hanya berdasarkan kekayaan bersih dan penjualan yang dihasilkan dalam satu tahun pajak. Di mana batasan untuk usaha Mikro maksimal kekayaan bersih yang dimilki adalah sebesar Rp50 juta dan penjualan yang dihasilkan dalam satu tahun  maksimal Rp300 juta. Sedangkan untuk kriteria usaha Kecil maksimal kekayaan bersih dan penjualan setahun yang diatur adalah: Rp50 juta sampai dengan Rp500 juta dan Rp300 juta sampai dengan Rp2,5 miliar. Sementara untuk usaha Menengah batasan kekayaan bersih adalah sebesar Rp500 juta sampai dengan Rp10 miliar dan penjualan setahun sebesar Rp2,5 miliar sampai dengan Rp50 miliar.

UU ini menetapkan kriteria UMKM hanya berdasarkan kepemilikan aset dan omset saja, tidak melihat kondisi lapangan usaha yang ada. Sementara ada profesi yang memerlukan keahlian khusus untuk menjalankannya, meski dari segi kekayaan bersih dan penjualan termasuk dalam kriteria UMKM. Contohnya kantor advokat, pengacara atau konsultan hukum terkenal tentu didirikan oleh mereka yang mempunyai pendidikan tinggi dan keahlian khusus. Pertanyaannya pantaskah jika mereka dikategorikan sebagai UMKM?

Kedua UMKM versus informalitas. Persoalan klasik UMKM di negara-negara berkembang pada dasarnya hampir tak berbeda jauh, di mana sebagian besar wirausaha yang berada di tataran usaha kecil ini banyak yang masih berkutat di sektor informal yang tidak tersentuh hukum. Sebuah studi yang dilakukan oleh Bank Dunia di Amerika Latin dan Karibia pada tahun 2007 bisa dijadikan sebagai referensi dan perbandingan. Dalam laporan penelitian para ahli ekonomi Bank Dunia yang diberi judul: Informality Exit and Exclusion, mereka menangkap sebuah fenomena di negara-negara Amerika Latin dan Karibia pengusaha yang bergerak di sektor informal ini terbagi dalam dua kelompok yaitu: wirausaha di sektor informal yang jumlahnya mencapai 24 persen dari jumlah pekerja di perkotaan, dan para buruh yang bekerja di sektor informal di mana jumlahnya bahkan mencapai 30 persen dari jumlah pekerja di kota-kota tersebut.

Banyak dari mereka yang berusaha membatasi pertumbuhan potensial usahanya, karena tak ingin terdeteksi negara. Di sisi lain informalitas berarti membawa permasalahan sosial yang sulit untuk diuraikan, karena mereka berada di luar sistem. Tak adanya jaminan hukum dan kesehatan untuk pekerja, bahkan tak jarang mereka harus menderita kemiskinan di hari tua karena tak mendapat jaminan sosial yang seharusnya diterima menjadi permasalahan yang harus dicarikan solusinya.

Fenomena ini tak jauh berbeda dengan Indonesia. Berdasarkan data Ditjen Pajak pada tahun 2015  lalu jumlah penduduk usia produktif yang bekerja mencapai 93,72 juta orang tetapi yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) hanya sekitar 30 juta Wajib Pajak. Jumlah tersebut terdiri dari 2,4 juta Wajib Pajak Badan, 5,2 juta Wajib Pajak Orang Pribadi Non Karyawan, dan sisanya 22,4 juta merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan.  Berarti sekitar 63,72 juta orang masih berusaha ataupun bekerja di sektor informal.

Dalam laporan Bank Dunia tersebut menekankan perlunya kebijakan terintegrasi dari pemerintah untuk menarik minat pengusaha sektor informal untuk beralih ke sektor formal antara lain: pemberian fasilitas bagi pendaftaran bisnis baru, perluasan manfaat menjadi formalitas (pemberian kredit dan akses pasar, keamanan hukum, dan skema pengembangan bisnis), pemberian jaminan sosial dan perlindungan sosial, dan yang tak kalah pentingnya penyederhanaan UU perpajakan.

Kemudahan dan Fasilitas Pajak

Ditjen Pajak sendiri selama ini telah memberikan kemudahan dan insentif pajak kepada pengusaha yang termasuk dalam kriteria UMKM. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, mengatur bagi Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto (omset) tidak melebihi Rp4,8 miliar dapat menghitung pajak terhutang langsung sebesar satu persen dari omset. Bahkan dalam waktu dekat ini pemerintah berencana menurunkan Tarif Pajak untuk UMKM  hingga 0,5 persen. Pengenaan Tarif Final tersebut bertujuan untuk memudahkan wajib pajak dalam menghitung pajaknya, karena mereka tak perlu menyusun pembukuan.

Namun PP tersebut mengatur secara tegas penghitungan Tarif Final sebesar satu persen tersebut tidak berlaku bagi pengusaha yang bergerak di bidang jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. Maka para profesional seperti: advokat, pengacara, konsultan hukum, dokter, arsitek, dan profesi sejenis tidak diperkenankan menggunakan fasilitas ini.

Tak cuma itu, pengusaha UMKM juga diberikan fasilitas untuk mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, 22, dan 23 agar wajib pajak yang telah menghitung pajaknya secara final tersebut tak perlu direpotkan secara administrasi untuk mengurus kelebihan bayar pajak yang dipotong lawan transaksinya.

Ketika kita bicara pengenaan pajak untuk UMKM, kita harus mendudukkan permasalahan ini pada perspektif yang lebih luas. Intinya pemerintah tak sekadar mencari dana saja, namun sebagai upaya pemerintah untuk membenahi semrawutnya permasalahan tenaga kerja Indonesia. Peningkatan kesejahteraan pekerja bisa dilakukan salah satunya dengan menarik minat sektor informal untuk beralih ke sektor formal, sehingga mereka akhirnya berada dalam sistem yang mudah diawasi negara.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.