Oleh: Dewi Setya Swaranurani, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Seperti waktu yang hilang, mencarimu dalam sunyi pohon-pohon, dalam musik daun-daun
Menyambut kerinduan panjang, mengakhiri musim yang membakar
Menyusuri kota-kota yang semakin asing, menyusuri sungai-sungai yang mulai tak  ramah,
Kata-kata tak bisa lagi dinyanyikan, musik tak bisa lagi kau dengarkan
Tak ada ruang lagi untuk kerinduan, tak ada lagi tempat untuk bercakap

 

Puisi yang dibuat Ayah dua belas tahun yang lalu seakan membawa langkahku ke rumah masa kecilku. Setelah bertahun-tahun aku merantau ke pulau seberang, akhirnya aku mempunyai kesempatan untuk mengunjungi rumah lamaku di Pajangan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.  Ketika aku sudah mulai penat, kadang mengunjungi rumah semasa kecil dapat mengobati kerinduanku.

Dua puluh tahun lebih yang lalu, aku besar dan tinggal di rumah sederhana di sebuah kompeks perumahan yang belum dihuni oleh banyak orang. Saat itu, jumlah empunya rumah tergolong sedikit. Kira-kira, dalam satu deret terdiri dari sepuluh rumah, enam di antaranya belum berpenghuni. Saat itu, di depan rumahku terdapat sebuah jalan bebatuan yang tak mulus. Aku sering mendapat luka di bagian lutut karena jatuh di jalan tersebut semasa kecil. Sayangnya, ketika usiaku beranjak enam tahun, keluargaku pindah rumah ke Kota Yogyakarta karena berbagai pertimbangan.

Di seberang jalan depan rumah lamaku, terlihat sebuah pohon buah talok atau biasa disebut dengan buah kersen. Pohon tersebut tumbuh di seberang setiap rumah meskipun rumah itu tak berpenghuni. Di seberang pohon tersebut, terbentang sawah yang luas,  diteruskan dengan sebuah lapangan hijau tempat anak-anak tetangga bermain bola atau manjer layangan --bermain layang-layang.

Karena jumlah penduduk di daerah tersebut belum banyak, penerangan jalanannya pun kurang. Dulu, meski beberapa deretan rumah tidak berpenghuni, ayah dan para tetangga memasang lampu di depan setiap rumah agar jalanan di kompleks perumahan tersebut lebih terang. Lampu tersebut disusun sedemikian rupa menggunakan bambu sehingga dapat berdiri tegak di depan halaman setiap rumah. Tiap sore, ayah mendorong sepeda roda tigaku --mengajakku jalan-jalan sambil menyalakan lampu di setiap rumah. Tak hanya ayah, beberapa tetanggaku juga melakukannya. Saat itu, hanya cara itulah yang bisa dilakukan untuk menambah penerangan di kompleks perumahan kami.

Saat ini, rumah lama kami dihuni oleh tetangga lama samping rumah kami --yang menggunakan rumah lama kami sebagai toko sembako. Tetangga kami pun juga mempersilakan kami untuk sering berkunjung ke rumahnya, karena keluarga kami memiliki hubungan yang  cukup baik.

Hampir dua puluh tahun berlalu, aku, adik, dan ibuku terpukau melihat perbedaan kompleks rumah kami semasa kecil dulu. Tentu saja, pemandangan dua puluh tahun yang lalu jauh berbeda dari hari ini. Jalanan batu di depan rumah dan lampu jalanan yang tersusun dari bambu kini sudah tak ada lagi, rumah-rumah kosong tak berpenghuni kini ramai terisi.

Wah udah beda ya Mbak suasana dan infrastukturnya dari waktu kamu masih kecil, banyak banget kemajuannya,” ungkap Ibu.

”Iya, ini semua sumbernya dari uang pajak, lho, Bu,” jawabku.

Dana Desa dari Pajak

Karena penasaran tentang pembangunan di daerah ini, aku mengintip situs web resmi kelurahan daerah tersebut. Ternyata pada tahun 2024 pembangunan daerah ini  berfokus pada pemberian penerangan jalan di beberapa titik dan juga pengerasan jalan (cor blok) di beberapa tempat. Dalam laman resminya, disebutkan bahwa sumber dana pembangunan tersebut berasal dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dana desa dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi dan juga Kabupaten/Kota.

Dana desa yang bersumber dari APBN ini, merupakan anggaran yang diperuntukan bagi desa dan ditransfer melalui APBD Kabupaten/Kota. Adanya dana desa ini diperuntukan untuk membangun dan memberdayakan desa menjadi makmur, maju, dan sejahtera.  Contohnya, penerangan yang cukup dan akses jalan yang halus tentunya akan meningkatkan kelancaran para penduduk untuk melakukan aktivitas sosial dan ekonomi.

Dana desa juga dipergunakan untuk meningkatkan sarana gedung Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di daerah ini. Tak hanya itu, dana desa yang dialokasikan dari APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota ini juga dipergunakan untuk pembangunan rumah khas Yogyakarta, pendopo, taman area parkir alun-alun, ikon ingkung kalakijo, jembatan banjaran, perbaikan dan pengembangan destinasi wisata. Salah satu contohnya adalah pembangunan pagar pengaman Dewi Gumi yang merupakan petilasan Pangeran Diponegoro.

Pada tahun 2024 ini, pendapatan negara dianggarkan sebesar Rp2.802,3 triliun. Sumber terbesar dari penerimaan negara tersebut berasal dari penerimaan perpajakan (pajak, bea, dan cukai) sebesar Rp2.309,9 triliun, sedangkan sisanya berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp492 triliun.

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker), pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pajak memiliki peranan  dan kontribusi besar dalam membangun negara dan menciptakan masyarakat yang makmur serta sejahtera. Meski dengan membayar pajak kita tidak mendapatkan imbalan secara langsung, fasilitas umum dan infrastruktur yang semakin memadai juga berdampak untuk kita, kan?

Setiap warga negara memiliki peranan masing-masing dalam membangun negara --tanpa disadari. Secara tidak langsung seluruh warga negara pastinya membayar pajak. Contoh kecilnya adalah membayar pajak pertambahan nilai (PPN) ketika membeli sesuatu. Berbeda dari PPN yang memiliki tarif yang objektif, ada pula pajak penghasilan (PPh) yang memiliki tarif subjektif sesuai dengan kemampuan masing-masing wajib pajak. Jadi, semua sudah pada porsinya.

“Jadi sebenarnya kita nggak perlu khawatir ya kalau kena pajak penghasilan besar karena pasti penghasilannya juga besar? Kalau gitu, aku mau deh dikenain pajak penghasilan besar, karena artinya penghasilanku pasti besar juga. Lagi pula, senang juga rasanya punya kontribusi dalam membangun negara kita tercinta ini,” ungkap adikku.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.