Oleh: Amardianto Arham, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Wacana pengenaan pajak karbon di Indonesia mengemuka di media massa usai dibahas dalam rapat kerja Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia bersama Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pajak karbon menjadi salah satu poin usulan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).  

Sebelum menimbang-nimbang patut atau tidaknya pengenaan pajak karbon ini, perlu kita ketahui apa yang dimaksud dengan pajak karbon. Apakah ini memang merupakan jenis pajak baru? Atau sudah ada negara lain yang menerapkan jenis pajak ini? Mari kita bahas satu per satu.

Berdasarkan IBFD International Tax Glossary (2015), pajak karbon didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan atas bahan bakar fosil untuk mengurangi emisi karbondioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya. Pajak dikenakan atas setiap penggunaan jenis bahan bakar seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam.

Di Indonesia, pajak karbon memang merupakan suatu hal yang baru. Sampai saat ini, belum ada peraturan khusus tentang pajak karbon. Yang ada hanyalah aturan terkait pengenaan pajak atas bahan bakar kendaraan bermotor dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Namun, di ranah internasional, pajak karbon sudah bukan “barang baru” lagi. Merujuk pada data World Bank (2021), sudah ada 27 negara di dunia yang telah menerapkan pajak karbon. Negara tetangga kita, Singapura, telah memulai pengenaan pajak karbon sejak 1 Januari 2019. 

Selanjutnya, mari kita ulas mengapa Indonesia juga patut mulai mengenakan pajak atas karbon.

 

Mengurangi Dampak Perubahan Iklim

Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim akibat tingginya emisi karbon dan gas rumah kaca lainnya. Berdasarkan data World Research Institute Indonesia (2020), Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara dengan tingkat emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Jumlahnya setara dengan 2% emisi yang dihasilkan dunia.

Peningkatan suhu udara, naiknya permukaan air laut, banjir rob di daerah pesisir, peningkatan curah hujan, hingga ancaman tenggelamnya sebuah pulau adalah beberapa dampak perubahan iklim yang tengah dirasakan di Indonesia saat ini. Imbasnya, pemerintah perlu mengalokasikan dana untuk mitigasi dan penanggulangan bencana-bencana tersebut.

Setidaknya, setiap tahun pemerintah membutuhkan dana rata-rata mencapai Rp266,2 triliun. Sebanyak 32,6% atau senilai Rp86,7 triliun berasal dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per tahun. Di samping itu, sebagai bagian dari The United Nations Framework Convention on Climate Change, Indonesia turut berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29% pada tahun 2030.

Dengan demikian, untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan sekaligus mewujudkan komitmen Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim, pemerintah memerlukan sebuah instrumen baru untuk mengendalikan emisi karbon. Salah satunya bisa melalui penyusunan regulasi terkait pengenaan pajak karbon. Sesuai dengan fungsinya sebagai pengatur (regulerend), hadirnya ketentuan pajak atas karbon diharapkan dapat mengatur pola konsumsi masyarakat atas bahan bakar fosil yang menghasilkan karbon.

Karena dikenakan pajak, masyarakat akan berpikir dua kali saat menggunakan bahan bakar fosil. Semakin banyak digunakan berarti semakin besar pajak yang harus dibayar. Agar dapat terus bertahan, penghematan penggunaan bahan bakar fosil dapat menjadi solusi dalam jangka pendek.

Dengan menurunnya konsumsi bahan bakar fosil berarti jumlah emisi karbon di udara juga berkurang. Bencana-bencana yang dapat timbul akibat perubahan iklim dapat terhindarkan. Uang negara yang harus dikeluarkan untuk membiayai penanggulangan perubahan iklim dapat dikurangi dan dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan, dan pendidikan.

 

Mendorong Pemanfaatan Energi Terbarukan

Sejalan dengan teori Evolusi – Charles Darwin, siapa yang mampu beradaptasi, dialah yang akan bertahan. Apabila ingin tetap bertahan, masyarakat atau perusahaan pengguna bahan bakar fosil mesti bersiap-siap untuk beralih dan mencari sumber energi alternatif yang baru. Tak mungkin selamanya menggantungkan pada bahan bakar fosil yang sejatinya tidak dapat diperbarui (akan habis jika dipakai terus-menerus). Jika hanya terus mengandalkan penghematan, keberlangsungan perusahaan dalam jangka panjang akan menjadi taruhannya.

Oleh karena itu, selain mengurangi dampak perubahan iklim, dalam jangka panjang, pengenaan pajak atas karbon juga diharapkan dapat mendorong masyarakat atau perusahaan untuk berinovasi, mencari, dan memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan. Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari alam yang dapat dibuat kembali secara bebas serta diperbarui terus-menerus dan tidak terbatas. Bentuk energi terbarukan antara lain, tenaga surya, energi angin, energi pasang surut, energi ombak, dan energi panas laut.

Di samping itu, penerapan pajak karbon juga sebagai bentuk “apresiasi” sekaligus “insentif” yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat atau perusahaan yang telah lebih dulu memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan dalam kegiatan usaha atau kegiatan sehari-harinya. 

 

Tambahan Penerimaan Negara untuk Pemulihan Ekonomi

Sesuai dengan salah satu fungsi utamanya yaitu fungsi budgetair, pajak merupakan suatu alat atau suatu sumber untuk memasukkan uang ke dalam kas negara untuk membiayai pengeluaran dalam rangka penyelenggaraan kehidupan bernegara. Terlebih lagi di tengah kondisi pandemi saat ini, negara membutuhkan dana yang sangat besar untuk memberikan layanan kesehatan, vaksin gratis, hingga bantuan sosial dalam rangka pemulihan ekonomi nasional. Tentu, sebagai penopang lebih dari 70% APBN, kehadiran pajak sangat krusial.

Dengan adanya pajak karbon, berarti ada tambahan sumber penerimaan negara yang baru. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon akan dikenakan pajak. Meskipun besaran tarif dan teknis pengenaannya masih akan dibahas lebih lanjut di DPR, tetapi sudah ada yang melakukan perhitungan potensi penerimaan dari pajak karbon.

Salah seorang Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro memperkirakan potensi penerimaan pajak karbon pada tahun pertama penerapannya dapat mencapai sekitar Rp29 triliun hingga Rp57 triliun atau 0,2% hingga 0,3% dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut dihitung dengan asumsi tarif pajak yang dikenakan sekitar US$5 sampai dengan US$10 per ton CO2.

Kita tunggu saja akan seperti apa kebijakan pajak karbon nantinya dan kapan akan mulai diterapkan. Yang pasti, jika mengacu pada definsi pajak dalam undang-undang, pajak akan selalu digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pajak tidak melulu soal bertambahnya penerimaan negara. Pajak juga akan selalu ada untuk menjaga agar alam Indonesia masih akan dapat terus dinikmati oleh anak cucu kita di masa mendatang. Pajak karbon demi keberlanjutan Indonesia.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.