Pajak, Instrumen Penanggulangan Kekerasan Terhadap Anak dan Remaja

Oleh: Didik Yandiawan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pada 20 Juli 2017, Palos Verdes sontak menjadi saksi bisu nan beku. Dua pekan setelah menuntaskan penampilannya bersama Linkin Park di Barclaycard Arena - Birmingham, Chester Bennington memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Peristiwa tragis itu terjadi tepat di hari kelahiran mendiang sahabat terbaiknya bernama Chris Cornell (vokalis Soundgarden dan Audioslave).
Kekerasan yang dialaminya semasa kecil dan remaja ternyata menyisakan trauma mendalam yang dipikulnya selama bertahun-tahun. Beberapa media menuliskan pengakuan Chester yang diduga mengalami gejala depresi akibat perundungan, pelecehan, dan kekerasan yang menderanya pada masa lampau. Berjuang membasuh luka yang tak kunjung sembuh, ia menyihir dunia. Melalui kendaraan musik alternative-metal, ia menyanyikan lirik berisi curahan hatinya melalui sejumlah lagu Linkin Park sejak Hybrid Theory (2001) hingga One More Light (2017) yang mengantarkan dirinya menuju puncak popularitas.
Fenomena Kekerasan Terhadap Anak dan Remaja
United Nations Convention on the Rights of the Child (UN-CRC) atau lebih dikenal sebagai Konvensi Hak-hak Anak (KHA) disahkan pada tahun 1989 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). KHA adalah sebuah perjanjian hak asasi manusia yang menjamin hak anak pada bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, kesehatan, dan budaya.
KHA dilatarbelakangi oleh gagasan seorang aktivis sekaligus pendiri organisasi Save the Children bernama Egglantine Jebb. Pada tahun 1923, ia merumuskan sepuluh butir tentang hak anak atau rancangan deklarasi hak anak. Hal ini merupakan respons atas penderitaan yang timbul akibat dari bencana yang ditimbulkan oleh Perang Dunia I, khususnya derita perempuan dan anak-anak.
KHA terdiri dari 54 pasal. Sejumlah 42 pasal memuat mengenai hak anak, serta dua belas pasal berisi kerja sama yang dapat dilakukan orang dewasa dan pemerintah agar hak semua anak terpenuhi.
Indonesia kemudian meratifikasi KHA ini pada tahun 1990. Setelah Reformasi ‘98, Indonesia mengadaptasi konvensi tersebut ke dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian direvisi melalui UU Nomor 35 Tahun 2014.
Kendati telah memiliki payung hukum setingkat UU, fenomena kekerasan terhadap anak dan remaja kian memprihatinkan. Terbaru, publik dikejutkan oleh pemberitaan mengenai dugaan penganiayaan terhadap korban remaja berinisial D (17) oleh pelaku berinisial M (20). Hal ini seketika memantik reaksi, keresahan, dan keprihatinan dari berbagai kalangan.
Terdapat dua pasal esensial pada KHA yang akhirnya menjadi fokus keprihatinan masyarakat dalam menyikapi kejadian tersebut. Kedua pasal tersebut adalah Pasal 1 dan pasal 19. Pasal 1 KHA menyebutkan bahwa “Anak adalah semua orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali ditentukan lain oleh hukum suatu negara. Semua anak memiliki semua hak yang disebutkan di dalam Konvensi ini. Hak-hak anak berlaku atas semua anak tanpa terkecuali.” Selanjutnya, Pasal 19 KHA menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak mendapat pengasuhan yang layak, dilindungi dari kekerasan, penganiayaan, dan pengabaian.”
World Health Organization (WHO) memublikasikan Preventing Youth Violence: An Overview of The Evidence (2015). Publikasi tersebut menyebutkan bahwa kekerasan remaja adalah masalah kesehatan masyarakat global. Ini mencakup berbagai tindakan mulai dari intimidasi dan perkelahian fisik, hingga serangan seksual dan fisik yang lebih parah hingga pembunuhan.
Di seluruh dunia, sekitar 200.000 kasus pembunuhan terjadi di antara remaja berusia 10–29 tahun setiap tahunnya, yang merupakan 42% dari total jumlah pembunuhan secara global setiap tahunnya. Kejadian ini selain menimbulkan hilangnya nyawa, juga menyebabkan lebih banyak korban luka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Publikasi tersebut juga menebalkan fakta bahwa di luar kematian dan cedera, kekerasan remaja dapat menyebabkan masalah kesehatan mental dan peningkatan perilaku berisiko kesehatan, seperti merokok, penggunaan alkohol dan narkoba, serta seks yang tidak aman.
Kekerasan pemuda menghasilkan biaya kesehatan, kesejahteraan dan peradilan pidana yang sangat meningkat, mengurangi produktivitas, menurunkan nilai properti di daerah tempat hal itu terjadi, dan umumnya merusak tatanan masyarakat. Oleh karena itu, program pencegahan kekerasan remaja yang efektif dapat meningkatkan berbagai hasil kesehatan, pendidikan dan sosial, yang mengarah pada penghematan ekonomi yang berpotensi besar.
Alokasi APBN
Dalam pranata keluarga, kita mengenal delapan fungsi keluarga meliputi agama, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi pendidikan, ekonomi, dan lingkungan. Dari kedelapan fungsi tersebut, salah satu yang relevan dengan peristiwa kekerasan anak dan remaja terkini adalah fungsi perlindungan. Fungsi tersebut menekankan keluarga sebagai pelindung yang pertama dan utama dalam memberikan kebenaran, serta tempat bernaung, kepada anak dan keturunan.
Kasus kekerasan terhadap anak dan remaja tersebut mendapat perhatian khusus dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Dilansir dari Siaran Pers Kementerian PPPA Nomor: B-83/SETMEN/HM.02.04/2/2023 (25/02), Menteri PPPA, Bintang Puspayoga mengecam segala tindak kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan dan anak, khususnya dalam hal ini kekerasan fisik dan penganiayaan berat yang dialami oleh D (17) di Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Menteri PPPA turut prihatin atas kondisi korban serta mendukung penanganan proses hukum dengan mempercayakan sepenuhnya kepada pihak kepolisian untuk menindaklanjuti kasus penganiayaan D sesuai peraturan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
Dilansir dari laman resminya, Kementerian PPPA memiliki lima program prioritas. Program prioritas yang menerjemahkan arahan Presiden tersebut antara lain mengamanatkan penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Arahan tersebut diterjemahkan melalui sejumlah langkah konkret, antara lain melaksanakan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR).
SNPHAR 2021 bertujuan untuk menentukan estimasi secara nasional besaran kekerasan terhadap anak usia 13-17 tahun pada periode 12 bulan terakhir dan pengalaman kekerasan pada masa anak-anak atau usia kurang dari 18 tahun pada usia 18-24 tahun. SNPHAR 2021 adalah survei rumah tangga nasional yang menggunakan desain survei kluster empat tahap yang terstratifikasi di lima wilayah yang mencakup Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya. SNPHAR 2021 mencakup 14.160 rumah tangga yang tersebar di 1.416 blok sensus di 236 kecamatan yang berada di 178 kabupaten/kota dari 33 provinsi.
Adapun secara garis besar kesimpulan dari SNPHAR 2021 sejalan dengan publikasi WHO yang mengindikasikan adanya prevalensi kekerasan terhadap anak pada usia 13-17 tahun dalam 12 bulan terakhir adalah 26,58 persen untuk perempuan dan laki-laki 20,51 persen. Sementara prevalensi kekerasan terhadap anak sebelum usia 18 tahun yang dilaporkan oleh kelompok usia 18-24 tahun adalah sebesar 38,56 persen untuk perempuan dan 37,44 persen untuk kelompok laki-laki.
Selanjutnya, mengutip pengantar Laporan Kinerja Kementerian PPPA 2021, untuk mewujudkan target kinerja yang tercantum dalam perjanjian kinerjanya, Kementerian PPPA mendapatkan alokasi anggaran (APBN Murni) senilai Rp205,5 miliar dan ditambah alokasi hibah dari luar negeri senilai Rp10,8 miliar (UNICEF, UNFPA, MoGEF Republic of Korea) dengan total alokasi anggaran senilai Rp216,4 miliar. Tentunya, alokasi APBN murni tersebut bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibayarkan oleh wajib pajak serta diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak.
Ketika Linkin Park merilis lagu teranyar mereka bertajuk “Lost” sepekan silam, kita terkenang kembali tentang perjuangan Chester melawan rasa takutnya. Lagu ini adalah bagian dari perilisan Meteora 20th Anniversary Edition—alias edisi istimewa dari album Meteora yang dirilis 20 tahun lalu. Betapa kekerasan bagi sang korban membawa ekses di masa mendatang.
Jika kita hendak bercermin, mungkin kita perlu mempertanyakan ke dalam diri kita. Tentang pajak, sudahkah ditunaikan penghitungan, pembayaran, pemungutan, dan pendistribusiannya untuk menanggulangi problematika masyarakat? Lalu, apakah seruan boikot pajak dari sang pelontarnya mampu memperbaiki atau justru memperburuk keadaan? Jawabannya ada di pikiran jernih kita masing-masing. Sebagaimana sabda Thales pada muridnya: (hal tersulit dalam hidup adalah) mengenal diri sendiri.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja
- 994 kali dilihat