Pajak Danai Perang, Pengorbanan yang Sepadan?

Oleh: Ika Hapsari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Belum pungkas dunia diriuhkan dengan konflik antara Rusia dan Ukraina, lagi-lagi dunia dikejutkan dengan agresi militer Israel yang membombardir wilayah Gaza, Palestina. Layar kaca dan linimasa tak henti memberitakan perang yang terjadi di era modern ini. Faktor geopolitik acapkali menjadi pemicu terjadinya perang antara dua kedaulatan. Siapa yang benar siapa yang salah, sudah tentu tergantung perspektif --bahasa kekiniannya POV-- masing-masing pihak. Namun, ada satu yang pasti. Apapun dalihnya, perang sama saja: mengorbankan sisi kemanusian demi mempertahankan klaim sepihak atas pendudukan kewilayahan.
Perang tak dapat dipisahkan dengan sumber pendanaannya. Dari mana pembiayaan perang berasal telah tercatat secara historis. Faktanya, sejarah mendokumentasikan bahwa mayoritas perang dibiayai dari pajak rakyat.
Rakyat Inggris harus menanggung tarif Pajak Penghasilan progresif dan pajak tambahan yang lebih tinggi sepanjang perang dunia kedua berlangsung. Hal ini guna memenuhi kebutuhan pengeluaran militer yang membengkak akibat perang.
Menteri Keuangan Inggris Sir Kingsley Wood (1881-1943) di tahun 1941 mulai memperkenalkan janji kredit pajak pascaperang. Kebijakan ini mewajibkan setiap individu membayar pajak tambahan secara penuh, yang akan diimbangi kredit selepas perang. Kredit ini merupakan dana tambahan berupa tabungan pascaperang untuk dirinya sendiri dan tanggungannya (Scheve dan Stasavage, 2010).
Setali tiga uang, Presiden Rusia, Vladimir Putin meneken keputusan pemungutan “windfall tax” untuk mendanai perang dari perusahaan-perusahaan besar Rusia yang justru meraih profit signifikan semasa perang. Windfall tax adalah pajak yang dipungut pemerintah atas laba tidak terduga yang diperoleh perusahaan atau industri sektor komoditas tertentu, terutama ketika perusahaan terbantu oleh kondisi ekonomi.
Konflik Rusia-Ukraina telah menyebabkan krisis energi dan terguncangnya rantai pasok pangan dunia setahun terakhir. Sebaliknya, sejumlah perusahaan minyak dan gas justru membukukan keuntungan berganda karena kenaikan harga komoditas. Tak ayal, perusahaan ini menjadi sasaran windfall tax oleh pemerintahan Putin.
Dilansir dari bloombergtax.com perusahaan-perusahaan tersebut dikenakan pajak sebesar 10 persen atas kenaikan profit yang dicetak pada tahun 2021-2022 dibandingkan tahun 2018-2019. Secara khusus, kebijakan ini akan menyasar perusahaan yang meraih profit rata-rata tahunan melampaui 10,5 juta dollar (lebih dari 167 miliar rupiah) pada periode tersebut.
Negara adidaya Amerika Serikat (AS) pun mengakui bahwa perang berkontribusi krusial pada perjalanan sejarah kebijakan pajak AS. Pasalnya, perang telah menjadi katalis terpenting bagi perubahan struktural jangka panjang dalam sistem fiskal negara, termasuk reformasi pajak. Bahkan istilah “distribusi pengorbanan secara adil di masa perang sebagai harga yang harus dibayar atas konflik” telah menjadi tradisi bagi warga negara AS (Mehrotra, 2010).
Departemen Pertahanan AS (2022) merilis laporan bertajuk biaya yang harus ditanggung oleh setiap wajib pajak AS semasa perang di Afghanistan, Irak dan Syria. Biaya yang dibebankan kepada lebih dari 224 juta wajib pajak ini terus merangkak naik sejak konflik dimulai pada 2001. Dalam rentang periode 2001 hingga 2021, setiap wajib pajak AS dibebankan “biaya perang” secara bervariasi antara 107 dollar hingga 771 dollar atau berkisar antara 1,7 juta rupiah hingga 12,2 juta rupiah.
Harga Mahal Perang
Selalu ada harga mahal yang dibayar atas perang, baik dari segi kemanusiaan, sosial, ekonomi, lingkungan, kesehatan, dan seterusnya. Ditilik dari segi ekonomi, perang berpengaruh signifikan pada penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) negara yang berkonflik. Hal ini disebabkan menurunnya tingkat produksi dan melemahnya konsumsi dalam negeri. Anjloknya PDB per kapita juga diakibatkan rendahnya produktivitas tenaga kerja, ketiadaan investasi pada modal fisik dan Sumber Daya Manusia (SDM), kerusakan infrastruktur, hingga boikot produk dalam skema perdagangan internasional. Secara eksplisit, kondisi tersebut jelas berdampak langsung pada penerimaan pajak di negara berkonflik.
Palang Merah Internasional menyebut, saat ini lebih dari dua miliar korban konflik secara global hidup dalam kesengsaraan. Sebanyak 68,5 juta orang mengungsi karena terusir dari negaranya dan 120 juta orang bergantung pada bantuan kemanusiaan. Pada 2030, diprediksikan lebih dari satu miliar korban konflik hidup dalam kemiskinan ekstrem dan kelaparan.
Ketika ekonomi hijau dan kampanye melawan perubahan iklim senantiasa digaungkan, faktanya mesin dan peralatan militer yang digunakan untuk perang menyumbang lebih dari 5,5 persen emisi gas rumah kaca global. Penggunaan senjata peledak menghasilkan puing-puing yang mencemari udara serta material berbahaya yang mengkontaminasi air dan tanah.
Penyakit yang muncul akibat migrasi masif, minimnya pemenuhan kebutuhan dasar, kerentanan pangan, hingga ketiadaan sarana dan prasarana kesehatan untuk pengobatan menjadi efek konkret peperangan dari segi kesehatan dan humaniter.
Studi Universitas Brown AS berjudul “Cost of War Project” menjelaskan setidaknya lebih dari 900 ribu orang meninggal akibat perang di Afghanistan, Irak, Pakistan, Syria, Yaman, Libya, dan Somalia pascaperistiwa penyerangan teroris 9/11. Terbaru, serangan udara dan artileri Israel kepada penduduk sipil Gaza Palestina telah menewaskan lebih dari 8.400 korban jiwa dalam waktu 24 hari. Pertikaian antara Israel dan Palestina yang telah berlangsung lebih dari 75 tahun ini, tentu menuai lebih banyak kerugian dari nominal yang tercatat.
Dari titik ini, peran pajak seolah inkongruen dengan pengalokasiannya untuk anggaran perang. Terlebih, disparitas antara dampak keuntungan dan kerugian atas konflik begitu substansial bagi kedua belah pihak bahkan pada lingkup kawasan dan internasional.
Perspektif Indonesia
Pada fase awal kemerdekaan, Indonesia menetapkan ihwal pajak perang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1948 tentang Penetapan Tarif Pajak Pendapatan Tahun 1948/1949 dan Pemungutan Pajak Tambahan atas Pajak Perseroan, Kekayaan, serta Pajak Untung Perang.
Oorlogwinwinstbelasting atau pajak keuntungan perang diatur pada Pasal 4 yang berbunyi “Dipungut sebesar dari ketetapan pajak untung perang ... dipungut delapan puluh persen tambahan pokok pajak untuk negeri.”
Pajak keuntungan perang dalam konteks republik yang baru saja merdeka bertujuan untuk menyokong pembiayaan negara dalam mempertahankan kemerdekaan. Pajak ini disebut sebagai kontribusi wajar dari rakyat serta simbol keberpihakan rakyat kepada republik untuk mendukung perjuangan. Pengalokasiannya ditujukan bagi penyelenggaraan pemerintahan, bantuan pengungsi perang, dan keperluan angkatan perang.
Maklumat penarikan pajak untung perang dikenakan atas objek yang beragam, diantaranya atas kekayaan, hasil pertanian, peternakan, laba perdagangan, pedagang makanan, dan pengusaha penginapan.
Di masa kini, beleid pajak perang tak lagi eksis dalam konstitusi Indonesia. Secara tegas, dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Indonesia menjunjung tinggi perdamaian dunia, “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Pajak ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sebagai kontributor utama penerimaan negara di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pajak dialokasikan untuk mengisi dan mempertahankan makna kemerdekaan itu sendiri. Pada Rancangan APBN 2024, anggaran pertahanan dialokasikan sebesar 135,3 triliun rupiah sedangkan anggaran ketertiban dan keamanan dialokasikan sebesar 188,8 Triliun rupiah dari total belanja pemerintah pusat menurut fungsi sebesar 2.446,5 triliun rupiah.
Penguatan stabilitas politik, hukum, pertahanan, dan keamanan (polhukhankam) dan transformasi pelayanan publik menjadi prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Nasional (RPN) tahun 2024. Terlebih, tahun 2024 merupakan tahun politik dimana pesta demokrasi berupa penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil menjadi tantangan untuk terhindar dari potensi konflik.
Kementerian Pertahanan RI (2020) merilis salah satu ancaman yang berpotensi mengoyak pertahanan negara saat ini adalah proxy war. Seiring dengan globalisasi dan kemajuan teknologi, proxy war tidak lagi menggunakan kekuatan militer melainkan menyerang berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, diantaranya politik, sosio-ekonomi, cyber (IT), budaya, dst.
Indonesia tentu tidak menghendaki terjadinya penjajahan era modern, yang disadari atau tidak akan mengancam perdamaian bangsa. Untuk itu, pemahaman bela negara menjadi krusial untuk kembali mengokohkan semangat persatuan, kesatuan, kesetaraan, dan inklusivitas di dalam kehidupan bernegara.
Salah satu perwujudan bela negara di masa kini adalah membayar pajak secara patuh. Salah satu perwujudan nyatanya adalah melaksanakan kewajiban perpajakan secara tertib demi mewujudkan APBN yang kuat. APBN yang tangguh menjadi alat untuk menjembatani tujuan kemerdekaan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 123 kali dilihat