Revisi: Pajak dan Pendidikan, dari Komensalisme ke Mutualisme

Oleh: Lutfiya Tussifah, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Amanat konstitusi untuk mengalokasikan 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) demi penyelenggaraan pendidikan nasional mengindikasikan besarnya peran pajak dalam menyokong sektor pendidikan.
Sayangnya, tanggung jawab tersebut hanya dimaknai satu arah. Hal ini menyebabkan hubungan antara pajak dan pendidikan lebih condong kepada simbiosis komensalisme, alih-alih mutualisme. Pajak diharapkan memberikan dukungan kepada sektor pendidikan, namun tidak berlaku sebaliknya.
Selain alokasi dana, dukungan sektor pajak terlihat jelas dalam berbagai fasilitas perpajakan terkait sektor pendidikan. Pertama, dari aspek pajak penghasilan (PPh). Pemerintah mengecualikan sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan apabila ditanamkan dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan.
Pengecualian yang sama berlaku pula bagi beasiswa yang diterima warga negara Indonesia. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan, serta sumbangan fasilitas pendidikan diatur sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto wajib pajak pemberinya. Pemerintah bahkan memberikan fasilitas pengurangan pajak hingga 200% (super deduction) dari jumlah biaya kepada wajib pajak badan dalam negeri yang menyelenggarakan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu.
Kedua, dari aspek pajak pertambahan nilai (PPN). Pemerintah tidak mengenakan PPN atas jasa pendidikan yang dimanfaatkan oleh masyarakat banyak. Fasilitas PPN dibebaskan diberlakukan terhadap impor dan penyerahan buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama. Ketiga, atas impor buku-buku tersebut dan pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diberikan fasilitas dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22.
Daftar di atas hanya sebagian dari fasilitas pajak untuk mendukung pendidikan di Indonesia. Namun, imbal hasil dari sektor pendidikan kepada sektor pajak masih minim. Padahal, kolaborasi kedua sektor tersebut sangat menentukan masa depan keduanya.
Dalam meningkatkan kualitas pendidikan, dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Pajak, yang dari tahun ke tahun selalu menjadi tulang punggung penerimaan negara, tentunya menjadi sumber pendanaan utama. Sementara, tercapainya target pengumpulan pajak sangat dipengaruhi oleh kesadaran dan kepatuhan perpajakan masyarakat selaku wajib pajak. Oleh sebab itu, secara tidak langsung sebenarnya sektor pendidikan juga mengemban tanggung jawab untuk memastikan keberlanjutan dirinya sendiri.
Dengan tanggung jawab tersebut, tidak tepat jika hubungan pajak dan pendidikan dipertahankan sebagai simbiosis komensalisme (satu pihak mendapatkan keuntungan dan pihak lain tidak menerima apa-apa). Pendidikan tidak boleh lagi hanya mengharapkan manfaat dari anggaran yang disediakan oleh pajak tanpa memberikan kontribusi bagi pencapaian target pajak. Kerangka hubungan pajak dan pendidikan harus berbentuk simbiosis mutualisme (kedua pihak memberikan keuntungan kepada satu sama lain). Pajak bekerja untuk mengumpulkan anggaran untuk sektor pendidikan dan pendidikan bekerja untuk menghasilkan generasi dengan kesadaran dan kepatuhan pajak yang tinggi.
Lebih lanjut, simbiosis mutualisme di antara kedua sektor tidak hanya menguntungkan keduanya. Sektor lain juga akan mendapatkan imbas positif. Apabila sektor pendidikan berhasil dalam mendorong kesadaran pajak, penerimaan pajak dapat tumbuh sehingga rasio pajak juga akan meningkat. Peningkatan penerimaan pajak selain berarti penguatan kemandirian finansial negara juga berarti semakin besar dana yang tersedia untuk belanja sektor-sektor vital lainnya yang turut memengaruhi kesejahteraan nasional. Adapun rasio pajak merepresentasikan kinerja pajak dan perekonomian suatu negara. Rasio pajak Indonesia sendiri masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara di kawasan ASEAN.
Langkah nyata yang dapat dilakukan sektor pendidikan adalah dengan memasukkan materi perpajakan ke kurikulum sekolah. Wacana ini sempat disebut dalam acara ‘Pajak Bertutur 2021’. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa ide tersebut akan diselenggarakan melalui kerja sama Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ide ini perlu disambut positif sebab pengintegrasian pajak dengan kurikulum pendidikan berpotensi menjangkau hampir seluruh wajib pajak masa depan (OECD, 2021). Studi di beberapa negara juga telah menunjukkan adanya perbaikan perilaku pajak melalui transfer pengetahuan perpajakan (Morgan, 2018). Oberholzer dan Nel (2006) menyatakan bahwa pendidikan pajak memiliki peluang keberhasilan yang paling tinggi apabila diimplementasikan di level sekolah.
Memberikan pendidikan pajak sejak dini juga akan menurunkan biaya kepatuhan dan penegakan hukum di masa depan. Wajib pajak dapat terhindar dari sanksi pajak karena mereka telah memahami hak dan kewajiban perpajakan mereka. Otoritas pajak juga dapat meminimalkan biaya penagihan pajak karena wajib pajak telah secara sukarela patuh terhadap ketentuan. Di samping itu, pemahaman akan pajak juga mengurangi potensi sengketa pajak (Thuronyi dan Espejo, 2013).
Masuknya pajak ke dalam kurikulum pendidikan pun sejalan dengan tujuan pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. “Menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” jelas termaktub dalam aturan tersebut. Mendidik generasi penerus untuk patuh akan kewajiban perpajakannya tentu saja selaras dengan tujuan tersebut.
Upaya inklusi pajak dalam kurikulum pendidikan tidak luput pula dari tantangan. Setidaknya ada tiga hal yang harus diantisipasi. Pertama, perubahan kebijakan pendidikan seiring pergantian periode pemerintahan. Kedua, kualitas tenaga pendidik yang akan mengajarkan pajak. Ketiga, strategi belajar yang membuat siswa tertarik, alih-alih antipati terhadap pajak.
Terakhir, terlepas dari aplikasinya, simbiosis mutualisme antara pajak dan pendidikan bukan berarti saling mendukung secara buta. Baik pajak maupun pendidikan bukanlah sistem yang sempurna dan memang harus selalu disempurnakan. Maka dari itu, kolaborasi keduanya tidak boleh berhenti dengan sekadar saling membantu mencapai target masing-masing, tetapi juga membantu melahirkan inovasi dan perbaikan bagi satu sama lain.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 494 kali dilihat