Oleh: Krisandi Nofianus, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pada ei 2021, Uni Eropa menetapkan paket stimulus kebijakan di bidang perpajakan untuk mendukung pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Salah satu kebijakan yang diterbitkan adalah loss carry-back bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). 

Kebijakan ini memperbolehkan UMKM di Eropa untuk mengompensasikan kerugian yang terjadi pada tahun 2020 dan tahun 2021 dengan keuntungan/laba yang diperoleh pada tahun-tahun pajak sebelumnya. 

Uni Eropa memberikan kebebasan bagi negara yang menjadi anggotanya untuk menentukan jangka waktu loss carry-back dengan ketentuan minimal satu tahun pajak sebelumnya. Loss carry-back hanya dapat dilakukan atas kerugian yang disebabkan oleh transaksi domestik. 

Uni Eropa juga membatasi nilai loss carry-back yang diizinkan yaitu maksimal sebesar 3 juta euro per tahun pajak yang mengalami kerugian. Kebijakan ini diyakini cukup tepat karena UMKM dapat segera memperoleh dana segar (likuiditas) untuk kembali mengoperasikan usahanya melalui restitusi pajak.

Back vs Forward

Dalam literatur perpajakan, dikenal dua mekanisme kompensasi kerugian yaitu kompensasi kerugian ke depan (loss carry-forward) dan kompensasi kerugian ke belakang (loss carry-back). Indonesia sendiri sesuai Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menganut mekanisme loss carry-forward.

Loss carry-forward di Indonesia mengizinkan perusahaan yang mengalami kerugian pada suatu tahun pajak untuk mengkompensasikan kerugian tersebut selama lima tahun ke depan. Misalnya kerugian tahun 2020 dapat dikompensasi ke tahun 2021 sampai dengan tahun 2025, dengan syarat pada tahun-tahun tersebut wajib pajak memperoleh laba. 

Di sisi lain, loss carry-back adalah kompensasi kerugian yang dilakukan ke tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, kerugian di tahun 2020 dapat dikompensasikan dengan laba di tahun 2019, 2018, dan seterusnya tergantung kebijakan negara masing-masing dalam menentukan jumlah tahun/periode loss carry-back tersebut. 

Publikasi pemerintah Inggris menyatakan bahwa loss carry-back di Inggris yang awalnya hanya diperbolehkan selama satu tahun kini diperpanjang menjadi tiga tahun karena pandemi. Adapun nilai maksimum kerugian yang dapat dikompensasikan sebesar 2 juta poundsterling. 

Di sisi lain, pemerintah Amerika telah menghentikan kebijakan loss carry-back mulai tahun pajak 2018. Sampai dengan akhir tahun pajak 2017, wajib pajak di Amerika masih diperbolehkan melakukan loss carry-back selama dua tahun ke belakang.

Walaupun demikian, Amerika menerbitkan The Coronavirus Aid, Relief, and Economic Security Act sebagai respon terhadap pandemi dan memberikan stimulus berupa izin melakukan loss carry-back atas tahun pajak 2018 sampai dengan tahun pajak 2020.

Mengutip laman KPMG, Korea Selatan juga memberikan stimulus loss carry-back atas kerugian yang dialami UMKM pada tahun pajak 2020 untuk dikompensasikan ke tahun pajak sebelumnya (2019). Dengan demikian, UMKM di Korea Selatan yang mengalami kerugian pada tahun pajak 2020 dapat mengajukan restitusi kepada otoritas perpajakan Korea Selatan.

Dikutip dari laman IRAS, Singapura menerapkan loss carry-back selama tiga tahun bagi UMKM sehingga kerugian pada tahun 2020 misalnya dapat dikompensasikan dengan laba pada tahun 2017 sampai tahun 2019. Adapun nilai maksimum kerugian yang dapat dikompensasikan sebesar 100 ribu dolar singapura.

Berbeda dengan Uni Eropa dan empat negara sebelumnya, negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Cina tidak memberikan stimulus berupa loss carry-back. Dikutip dari laman PWC, keempat negara Asia tersebut tetap mempertahankan kebijakan loss carry-forward di tengah pandemi. 

Meskipun tidak memberikan stimulus loss carry-back, Cina tetap memberikan stimulus terkait kompensasi kerugian. Cina memperpanjang kebijakan loss carry-forward dari yang semula hanya 5 tahun menjadi 8 tahun.

Peluang di Indonesia

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa UU KUP mengatur penerapan loss carry-forward yang diadopsi oleh Indonesia. Berbeda dengan negara-negara lain yang mungkin lebih fleksibel, Indonesia kesulitan menerapkan ketentuan ini karena penerapan loss carry-back akan bertentangan dengan UU KUP. Tanpa mengubah UU KUP maka kebijakan ini mustahil diterapkan di Indonesia.

Mengingat dampak langsung kebijakan loss carry-back bagi peningkatan likuiditas perusahaan, maka sebaiknya kebijakan ini dapat diadopsi dalam revisi UU KUP dan diterapkan saat kondisi tertentu seperti saat pandemi ataupun resesi ekonomi dengan penuh kehati-hatian.

Klausul loss carry-back sebaiknya diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah untuk meningkatkan fleksibilitas dalam perumusan kebijakan. Kelak diharapkan Direktorat Jenderal Pajak dapat mengimplementasikan kebijakan loss carry-back saat terjadi resesi ekonomi untuk memberikan bantuan bagi UMKM yang kesulitan likuiditas.

Di sisi lain, loss carry-back mensyaratkan adanya aliran uang yang keluar dari kas negara melalui restitusi pajak. Hal ini cukup memberatkan keuangan negara di tengah kondisi pandemi yang telah berlangsung lebih dari 1 tahun. 

Dikutip dari APBN Kita, rasio utang pemerintah dari hanya sekitar 30% di tahun 2019 telah melonjak menjadi 41,35% di bulan Juni 2021. Lonjakan sebesar 38% ini jika ditambah dengan kebijakan loss carry-back tentunya berpotensi membuat keuangan negara terpukul. 

Seperti telah diuraikan sebelumnya, di Asia sendiri tidak banyak negara berkembang yang menerapkan kebijakan loss cary-back sebagai stimulus fiskal. Oleh sebab itu, dengan mempertimbangkan berbagai kondisi Indonesia saat ini, kebijakan pemerintah melalui berbagai skema insentif pengurangan atau pembebasan pajak dirasa sudah cukup tepat. 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.