Oleh: Gede Suarnaya, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Jakob Oetama dalam buku Yuk, Simak Pak Jakob Berujar mengingatkan kita akan sebuah frasa dari seorang wartawan Inggris CP. Scott dalam memperingati seabad harian Manchester Guardian tahun 1921, berbunyi: “Comment is free, but facts are sacred”

Ujaran ini bisa diartikan “Opini itu bebas, tetapi fakta itu suci”. Silakan beropini sesuka hati, tetapi jangan mengubah-ubah fakta.

Sejatinya, apa yang disampaikan Pak Jakob relevan dengan kondisi sekarang. Terutama mencermati informasi yang beredar terkait kasus pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di berbagai media massa.

Komentar negatif warganet terus bermunculan. Dengan kondisi itu, nyaris orang awam akan kesulitan membedakan mana fakta dan mana opini atau komentar. Bahkan, tanpa disadari publik ikut terhanyut dengan komentar-komentar bernada negatif.

Apa pun alasannya perilaku pejabat tersebut jelas tidak dapat dibenarkan. Menkeu Sri Mulyani mengatakan bahwa perilaku gaya hidup mewah pejabat telah menimbulkan persepsi negatif dan erosi kepercayaan dari masyarakat. Perilaku tersebut mengkhianati dan mencederai seluruh jajaran Kemenkeu yang sebagian besar telah dan terus bekerja secara jujur, bersih, dan profesional.

Namun, opini terus berkembang. Fakta pejabat pajak memiliki harta fantastis membuat warganet mengaitkannya dengan kenaikan tarif pajak. Di media sosial komentar berkembang seolah-olah kenaikan pajak dipakai untuk membiayai kehidupan mewah pegawai pajak.

Bahkan, lebih ekstrem lagi pajak yang terkumpul dicurigai dikorupsi oknum pegawai pajak. Sehingga sebagai bentuk kekecewaan, opini berkembang menjadi ajakan untuk tidak membayar pajak.

Hal ini bukan kali pertama ajakan untuk tidak membayar pajak terjadi. Tahun 2012, ajakan serupa pernah terjadi. Sejarah itu berulang. “Virus” generalisasi tahun 2022 masih mudah menyebar. “Imunitas” kita terkesan jalan di tempat.

Perlu disadari, isu pajak sangatlah sensitif. Sekecil apa pun perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan. Sesegara mungkin perlu tindaklanjut dan butuh kejelasan informasi. Apalagi, pajak sangat dekat dengan isu-isu sosial.

Maka, hal ini kian mempermudah penyebaran sebuah informasi menjadi disinformasi. Disinformasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti penyampaian informasi yang salah (dengan sengaja) untuk membingungkan orang lain. Lalu, mengapa hal ini masih saja terjadi?

Prinsip Bukti Sosial

Fenomena sosial ini sebenarnya oleh Robert B. Cialdini dalam bukunya Influence,The Psychology of Persuasion dikenal sebagai prinsip bukti sosial (the principal of social proof) yang merupakan salah satu senjata untuk memengaruhi orang lain.

Pertama, prinsip bukti sosial (social proof) menyatakan bahwa salah satu cara kita dalam menentukan sebuah sikap yang benar adalah mencari tahu apa yang dianggap benar oleh orang lain. Selain itu, ketika semakin banyak orang yang melakukan suatu perbuatan, semakin kita percaya bahwa perbuatan itu benar.

Kedua, prinsip bukti sosial akan semakin kuat jika berada dalam situasi dan kondisi yang tidak pasti (uncertainty). Ketika seseorang merasa tidak yakin, maka terdapat kecenderungan untuk meniru tindakan yang dilakukan orang lain.

Selain ketidakpastian (uncertainty), kesamaan (similarity) juga menjadi faktor yang makin memperkuat prinsip bukti sosial. Kita menggunakan sikap dan perilaku orang lain yang memiliki kesamaan (mirip seperti kita) untuk menentukan perilaku yang tepat untuk diri kita sendiri.

Sehingga dalam konteks kasus disinformasi pajak, fenomena sosial yang dihadirkan warganet di media sosial terkait transaksi Rp300 triliun disadari atau tidak telah menimbulkan polemik ketidakpastian (uncertainty). Jika tidak ada ketegasan dan kepastian dikhawatirkan akan berdampak terhadap menurunnya kepercayaan publik kepada pemerintah.

Ditambah lagi, permasalahan sosial masyarakat seperti kondisi sebagian masyarakat yang belum benar-benar pulih pascapandemi, “tontonan drama” penegak hukum yang tiada henti, telah melukai perasaan publik.

Maka, kondisi tercederainya perasaan publik, menyebabkan faktor kesamaan (similarity) makin memperkuat sebuah bukti sosial mempengaruhi persepsi publik. Inilah yang disebut oleh Budiman Tanuredjo sebagai tahapan kejengkelan sosial (social resentment) (Kompas, 18 Maret 2023). Oleh Reza Indragiri Amriel disebut sebagai personal relative deprivation yaitu perasaan iri dengki menyaksikan orang-orang senasib bisa punya suratan tangan yang berbeda.

Adakalanya prinsip bukti sosial sangat penting untuk membangun kesadaran publik terhadap isu-isu tertentu yang memiliki dampak yang besar bagi kepentingan bangsa. Di sisi lain, apabila bukti sosial  disusupi oleh informasi yang salah maka menjadi sangat berbahaya.

Berkaca pada Indeks Literasi Digital Nasional 2022 tercatat baru sebesar 3.54 poin (skala 5) meningkat 0.05 poin saja dibandingkan tahun 2021. Terkait hoaks, hanya 45 persen responden mengaku antara yakin dan tidak yakin dapat mengindentifikasi informasi, 20 persen menyatakan tidak yakin, dan hanya 32 persen yang merasa yakin dan sangat yakin.

Indeks tersebut perlu menjadi perhatian kita semua. Kegagalan kita dalam memeriksa dan memahami bukti sosial yang ada dapat berakibat timbulnya disinformasi. Di samping rendahnya literasi digital tersebut, faktor lain seperti rendahnya literasi pajak membuat disinformasi pajak sangat mudah terjadi.

Robert B. Cialdini mengingatkan kita bahwa bukti sosial ibarat sebuah perangkat pilot otomatis. Bukti sosial tidak boleh dipercaya sepenuhnya. Bahkan, ketika perangkat pilot otomatis tidak mengalami kerusakan, kita perlu tetap memeriksanya.

Hal ini penting untuk memastikan bahwa pilot otomatis bekerja dengan informasi yang akurat. Begitu kita mengenali pilot otomatis telah disusupi informasi yang salah, maka segera pegang kendali dan putuskan pilot otomatis.

Kita perlu melihat keluar jendela, lalu menyinkronkannya dengan sumber bukti lain seperti fakta objektif, pengalaman kita sebelumnya, dan penilaian kita sendiri. Dengan demikian kita bisa terhindar dari disinformasi pajak. Pada akhirnya kita mampu mengambil sikap dan perilaku yang bijak serta memilah-memilah antara fakta dan komentar.

Siapa Juru Bicara Pajak?

Langkah terobosan perlu segera dipikirkan para pemangku kepentingan untuk mengatasi maraknya disinformasi pajak. Terlebih lagi, terobosan penting bagaimana membangun bukti sosial bahwa pajak adalah urat nadi dan jantung bangsa ini. Kesadaran kolektif bangsa bahwa 80 persen penerimaan negara kita bergantung dari pajak yang kita bayar.

Komitmen seluruh institusi publik baik pusat maupun daerah sangat berperan besar dalam membentuk bukti sosial yang baik. Komitmen dalam melayani masyarakat dan penggunaan APBN dengan tepat sasaran yang menyentuh kepentingan rakyat sangat berpengaruh kepada persepsi publik.

Gatot Subroto dalam buku “Pajak dan Pendanaan Peradaban Indonesia” menulis bahwa persepsi pembayar pajak terhadap pemerintah (negara) secara umum memengaruhi kepercayaan dan motivasi dalam membayar pajak. Kinerja institusi pemerintah yang buruk akan membuat publik apatis dan menyulitkan tugas pemerintah dalam menarik pajak. Hal ini semakin memperburuk bukti sosial pajak.

Sejatinya, membangun bukti sosial pajak adalah tanggung jawab kita bersama seluruh elemen bangsa. Persepsi tercapainya penerimaan pajak juga harus dimaknai positif menjadi terlaksananya semua program pemerintah yang bermuara pada meningkatnya kesejahteraan rakyat.

Sri Mulyani pernah menyampaikan bahwa tugas pegawai pajak sangat berat, tidak populer, dan tidak ada manusia yang sangat senang membayar pajak. Tidak populer, tetapi harus terus bekerja. Tidak populer, tetapi harus profesional. Tidak populer, tetapi harus disegani dan dihormati.

Pada bagian ini Jakob Oetama kembali mengingatkan sebuah frasa yaitu, “We are no angels.” Di sana tersembunyi sebuah pesan bahwa manusia memang bukan malaikat. Ada banyak kelemahan pada diri kita. Dengan kesadaran itu hendaknya membuat manusia makin tunduk, selalu menyadari, bahwa dirinya rentan berbuat kesalahan.

Kini, Kemenkeu menghadapi ujian maha berat. Ujian berat menjaga martabat dan memulihkan wibawa institusi sebagai penjaga kedaulatan keuangan negara.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.