Oleh: (Raden Sukma Wardana), pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Di era teknologi sekarang ini, kehidupan kita tidak bisa lepas dari internet. Berdasarkan hasil penelitian dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2024 yang menggunakan internet mencapai angka 79,49%. Artinya, dari sepuluh orang penduduk Indonesia, terdapat hampir delapan orang yang telah menggunakan internet.

Hal ini tentunya menandakan bahwa teknologi internet sangat memengaruhi seluruh aspek kehidupan, khususnya kehidupan Gen Z dengan rentang usia hingga 27 tahun. Pasalnya, Gen Z merupakan kelompok usia yang paling banyak menggunakan internet. Populasi penduduk Indonesia didominasi oleh Gen Z, yakni sekitar 31,31% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 281,6 juta pada tahun 2024 (BPS, 2025).

Besarnya populasi Gen Z di Indonesia menjadi pangsa pasar yang sangat menggiurkan bagi para pelaku usaha. Pasar konvensional yang dahulu sangat digandrungi secara perlahan mulai ditinggalkan. Contohnya, Pasar Tanah Abang yang dahulu merupakan pusat perdagangan tekstil terbesar di Asia Tenggara, kini kondisinya mulai sepi. Kondisi tersebut kemudian diperparah dengan pandemi Covid-19.

Lantas, ke mana para pembeli yang dahulu memadati pasar-pasar konvensional? Menurut Bank Indonesia (2024), transaksi di pasar konvensional telah pindah secara signifikan ke transaksi e-commerce. Transaksi e-commerce pada tahun 2019 yang semula sebesar Rp205,5 triliun meningkat menjadi Rp487,01 triliun pada tahun 2024. Angka tersebut tumbuh positif secara signifikan sebesar 136% dalam rentang waktu lima tahun.

Equal Treatment Pemajakan

Tingginya pertumbuhan transaksi ekonomi digital di Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus melakukan transformasi digital, baik dari sistem internal maupun dari sisi regulasi. Pada 1 Januari 2025, DJP telah menerapkan Core Tax Administration System (CTAS) atau yang kita kenal dengan Coretax DJP. Dengan sistem ini, diharapakan pelaksanaan hak dan kewajiban yang dilakukan oleh wajib pajak serta pengawasan yang dilakukan oleh DJP dapat dilakukan secara efektif, efisien, dan transparan.

Pada tatanan regulasi, belum lama ini pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMK 37/2025). Langkah ini ditujukan agar wajib pajak dapat melakukan pemenuhan hak dan perpajakannya secara efektif dan efisien. Di samping itu, kebijakan ini juga dimaksudkan untuk dapat mewujudkan perlakuan perpajakan yang setara bagi para pelaku usaha serta untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan.

Bukan Pajak Baru

PMK ini memberikan pelimpahan kewenangan kepada DJP untuk dapat menunjuk marketplace sebagai pemungut pajak penghasilan (PPh) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh merchant/penjual/toko dalam negeri dari transaksi secara elektronik yang dilakukan melalui marketplace. Pajak yang dipungut adalah PPh Pasal 22 dengan tarif sebesar 0,5% dari peredaran bruto yang dapat bersifat final dan juga tidak final, tergantung dari status perpajakan penjual.

PPh Pasal 22 ini bukanlah jenis pajak baru. Pasalnya, bagi wajib pajak pengusaha yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp4,8 miliar yang dikenakan PPh final, pemungutan PPh pasal 22 ini sekaligus dapat menjadi pelunasan atas kewajiban PPh Final 0,5% yang selama ini telah dikenakan. Begitu juga dengan wajib pajak yang dikenakan PPh Final atas persewaan tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, dan atas ketentuan PPh Pasal 15. Pemungutan PPh Pasal 22 ini juga dapat menjadi bagian dari pelunasan atas PPh Final tersebut. Sementara itu, dalam hal pengusaha menerima atau memperoleh penghasilan yang bersifat tidak final, pemungutan PPh Pasal 22 oleh marketplace dapat dijadikan sebagai kredit pajak yang akan diperhitungkan pada surat pemberitahuan (SPT) tahunan PPh pada akhir tahun.

Kewajiban Penyampaian Informasi oleh Merchant

Merchant atau pedagang dalam negeri harus menyampaikan sejumlah informasi kepada pihak marketplace. Yang pertama Informasi tersebut adalah nomor pokok wajib pajak (NPWP) atau nomor induk kependudukan (NIK) dan juga alamat korespondensi. Dalam hal merchant atau pedagang dalam negeri yang memiliki omzet pada tahun pajak berjalan sampai dengan Rp500 juta juga diwajibkan menyampaikan surat pernyataan memilki omzet sampai dengan Rp500 juta (bagi wajib pajak orang pribadi).

Kemudian, apabila kemudian merchant atau pedagang dalam negeri tersebut telah memiliki omzet pada tahun berjalan yang melebihi Rp500 juta, merchant atau pedagang dalam negeri tersebut diwajibkan untuk menyampaikan surat pernyataan memiliki omzet yang melebihi Rp500 juta (bagi wajib pajak orang pribadi).

Dalam hal pedagang dalam negeri memiliki surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan PPh juga harus menyampaikan surat keterangan tersebut kepada pihak marketplace. Penyampaian informasi tersebut harus dilakukan merchant atau pedagang dalam negeri sebelum penghasilan dari transaksi e-commerce diterima atau diperoleh.

Kewajiban Pemungutan PPh oleh Marketplace

Pihak marketplace sebagai penyedia sarana perdagangan secara elektronik diwajibkan untuk melakukan pemungutan PPh Pasal 22 dari omzet yang diterima atau diperoleh pedagang dalam negeri yang tercantum dalam dokumen tagihan, tidak termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Saat terutangnya PPh Pasal 22 adalah pada saat pembayaran diterima oleh marketplace.

Pemungutan PPh Pasal 22 ini juga dilakukan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh pedagang dalam negeri wajib pajak orang pribadi yang tidak menyampaikan surat pernyataan memilki omzet sampai dengan Rp500 juta atau surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan PPh.

Pihak marketplace tidak melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pedagang dalam negeri sehubungan dengan beberapa jenis transaksi. Jenis-jenis transaksi tersebut meliputi: 1) penjualan barang dan/atau jasa oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang memiliki omzet sampai dengan Rp500  juta rupiah dan telah menyampaikan surat pernyataan; 2) penjualan jasa pengiriman atau ekspedisi oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sebagai mitra perusahaan aplikasi berbasis teknologi yang memberikan jasa angkuta; 3), penjualan barang dan/atau jasa oleh Pedagang Dalam Negeri yang menyampaikan informasi surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan PPh; 4) penjualan pulsa dan kartu perdana; 5) penjualan emas perhiasan, emas batangan, perhiasan yang bahan seluruhnya bukan dari emas, batu permata, dan/atau batu lainnya yang sejenis, yang dilakukan oleh pabrikan emas perhiasan, pedagang emas perhiasan, dan/atau pengusaha emas batangan; dan/atau 6) pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya.

Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan       

Pedagang dalam negeri wajib membuat dokumen tagihan atas transaksi penjualan barang dan/atau jasa melalui marketplace berupa dokumen tagihan atas nama pedagang dalam negeri yang dihasilkan melalui sarana komunikasi elektronik yang disediakan oleh marketplace. Dokumen tagihan paling sedikit memuat nomor dan tanggal dokumen tagihan, nama marketplace, nama akun pedagang dalam negeri, identitas pembeli barang dan/atau jasa berupa nama dan alamat, jenis barang dan/atau jasa, jumlah harga jual, dan potongan harga, serta nilai PPh Pasal 22 bagi pedagang dalam negeri masing-masing.

Dokumen tagihan tersebut dipersamakan dengan bukti pemungutan PPh Pasal 22 bagi pedagang dalam negeri. Apabila terjadi perubahan atau pembatalan transaksi, maka dokumen tagihan dapat dilakukan pembetulan dan pembatalan.

Kemudian pihak marketplace menyetor PPh Pasal 22 yang telah dipungut dalam setiap masa pajak ke kas negara paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dan melaporkan bukti pemungutan tersebut dalam SPT Masa PPh Unifikasi paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.