Makna Hari Pajak di Mata Pejuang Seroja

Oleh: Dedi Suartono, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Belum genap seminggu DJP memperingati Hari Pajak untuk pertama kalinya. Hari Pajak yang selanjutnya ditetapkan akan diperingati pada setiap 14 Juli ini memiliki cerita sendiri. Untuk memperingatinya, DJP memutuskan mengundang banyak tokoh dan beberapa kelompok maysrakat yang salah satunya adalah para pejuang dan veteran Seroja yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pejuang Korban Perang Operasi Seroja Timor-Timur.
Tak banyak yang tahu alasan DJP mengundang para tokoh dan pelaku integrasi Timor Timur yang masih tersisa tersebut untuk memperingati Hari Pajak. Namun jika menilik sejarah, integrasi Timor-Timur terjadi pada bulan Juli tahun 1976 atau tepatnya pada tanggal 17 Juli 1976. Penulis mengasumsikan bahwa operasi Seroja yang terjadi bulan Juli dianggap sebagai salah satu peristiwa penting yang layak diperingati.
Integrasi Timor-Timur menyisakan banyak cerita sedih dan pahit. DJP-pun memiliki cerita tersendiri yang cukup panjang mengenai keberadaan salah satu propinsi (dahulu) Indonesia tersebut. Bagaimana tidak, pada tahun 1994, berdiri Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Dili yang dibentuk melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 94/KMK.01/1994 tanggal 29 Maret 1994. Pada saat itu, KPP Dili berada dibawah naungan Kanwil XIV Direktorat Jenderal Pajak di Denpasar. 5 tahun KPP Dili beroperasi mengadministrasikan pajak di wilayah propinsi Timor-Timur. Namun kali ini penulis tidak akan membahas kiprah DJP melalui KPP Dili.
Saat penulis mendengar kabar bahwa Kantor Pusat DJP ingin mengundang para tokoh pejuang Operasi Seroja untuk ikut memeriahkan Hari Pajak, bergegaslah penulis ke daerah Bekasi Utara mengingat sebagian besar para pelaku integrasi Timor-Timur tinggal di kawasan yang dibangun oleh Yayasan Dharmais tersebut.
Di Google Maps, jalan yang akan dilalui sebagian besar berwarna coklat menandakan padatnya lalu lintas ke arah tersebut. Setelah berputar-putar dan sesekali harus menepi karena jalan yang ditempuh hanya cukup untuk 1 mobil, sampailah di bangunan yang tampak dari luar seperti sekretariat RW. Setelah cukup lama mengetuk pintu, dari arah luar pagar seseorang bertanya mengenai keperluan kami. Akhirnya, orang tersebut menunjuk arah untuk menemui salah satu pengurus Pejuang Seroja yang terletak 5 blok dari sekretariat Forum Komunikasi Pejuang Korban Perang Operasi Seroja Timor-Timur.
Tidak sulit untuk menemukan rumah yang ditunjukannya. Rumah sederhana tipe 36 yang telah dihabiskan seluruhnya. Di halaman depan tampak disiakan 1 m2 untuk pot-pot agar rumah tersebut tidak tampak gersang. Memasuki rumah, tampak sofa berwarna coklat dan di dinding ruang tamu terhias foto-foto yang sebagian besar telah usang dan berubah warna. Pada salah satu foto tergambar seorang pria muda dengan mengenakan seragam tentara zaman tahun 70-an.
Dengan terpincang saat menemui penulis, seorang pria tua yang memperkenalkan diri dengan nama Romidi menceritakan sedikit kisah mengenai korban Operasi Seroja. Awalnya di kompleks wisma seroja yang mereka tempati terdiri dari 240 orang korban Operasi Seroja yang terdiri dari pejuang penyandang cacat 84 orang dan 156 orang janda wara kawuri. Saat ini yang tersisa ada 80 orang pejuang penyandang cacat dan 130 wara kawuri.
Menemani Romidi duduk pula lelaki yang masih terlihat tegap dan memperkenalkan diri sebagai Rachmat yang juga merupakan salah satu pengurus forum komunikasi pejuang Seroja. Kepada mereka berdua, kami kembali menceritakan maksud kedatangan kami.
Terdiam cukup lama, akhirnya Rachmat angkat bicara. “Setelah sekian lama, baru ada lagi perhatian kepada kami para veteran, pejuang dan janda pejuang,” ujarnya sambil menerawang. Dari sorot matanya tergambar sedikit kekecewaan. Rachmat, purnawirawan berpangkat Kopral Kepala melanjutkan, ”Ini pertama kalinya Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Pajak menengok kami.”
Sambil memperlihatkan kedua kaki palsunya, Rachmat bercerita bahwa semenjak kemerdekaan Timor-timur menjadi Tomor Leste, para pejuang Seroja merasa pengorbanan mereka sia-sia. Nyawa ayah, kakak, dan anak yang tewas saat Operasi Seroja seolah tak ada bekasnya. Belum lagi yang berhasil selamat bertahan hidup dan menjadi cacat, juga tidak bisa berbangga sebab Timor-Timur lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi.
Lain cerita Romidi, pria yang juga purnawirawan TNI berpangkat Sersan Kepala ini lebih merasa beruntung. Tidak seperti Rachmat yang menyebut dirinya Pejuang Seroja, Romidi bergelar sebagai Veteran RI yang menerima tanda jasa. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 tentang Veteran Republik Indonesia, Romidi bisa dikategorikan veteran karena berjuang dalam pembebasan wilayah RI.
Baik Rachmat maupun Romidi, sama-sama memperoleh uang pensiun sebagai purnawirawan TNI. Yang membedakan keduanya hanya status veteran. Romidi termasuk dalam kategori sebagai veteran pejuang yang membebaskan Timor-Timur dari penjajah Portugis dalam Operasi Seroja sebelum menjadi propinsi termuda Indonesia saat itu atau sebelum tanggal 17 Juli 1976. Sedangkan Rachmat, meski sama-sama bertugas di Timor-Timur namun waktu tugasnya setelah tanggal 17 Juli 1976, sehingga statusnya bukan sebagai pejuang pembebasan wilayah RI, melainkan TNI yang bertugas menjaga wilayah RI.
Mereka sama-sama kompak meski ada perbedaan perlakuan dan penghasilan. Baik Rachmat maupun Romidi sangat berterimakasih kepada DJP karena sebagai purnawirawan TNI mereka memperoleh pensiun yang uangnya berasal dari Pajak. Mereka sangat bangga menjadi pembayar pajak yang ikut menyumbang bagi penerimaan negara.
Sebelum era eFiling, mereka dan banyak pejuang Seroja lainnya yang kesulitan dengan penyampaian SPT Tahunan sebab mereka harus antri ke KPP Bekasi Utara untuk melapor SPT. Saat ini, mereka bisa melapor dengan mudah sebab bisa menggunakan eFiling dan gak perlu repot ke PT Taspen untuk mengurus bukti potong karena telah tersedia secara otomatis. “Kami prajurit harus taat pajak,” ujar mereka kompak.
Rachmat dan Romidi juga melihat bahwa pajak merupakan elemen penting dalam menjaga keutuhan RI. Mereka juga melihat bahwa perkembangan TNI saat ini sudah sangat meningkat dibanding jaman mereka dulu. Mereka tahu bahwa persenjataan tersebut dibiayai sepenuhnya dari pajak.
Melalui Ketua Forum Komunikasi Pejuang Korban Perang Operasi Seroja Timor-Timur Kolonel Purn Ronny Muaya, SH. Mereka berharap agar ke depan, DJP bisa memegang amanah dengan baik dan berhasil menghimpun penerimaan pajak lebih profesional dan dipercaya seluruh masyarakat Indonesia dan Indonesia berhasil mencapai kemandirian APBN. Selamat Hari Pajak! (*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.
- 324 kali dilihat