Oleh: Farid Al-firdaus, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Istilah kekinian sudah terdengar awam saat ini, baik dari tren, pakaian, hingga masalah kuliner. Adapun kekinian memiliki arti terbaru, modern, dan mutakhir. Penyesuaian dengan situasi terbaru pun melanda peran intelijen perpajakan.

Intelijen perpajakan secara sederhana adalah pengumpulan, pengolahan, dan pendistribusian data dan/atau informasi perpajakan untuk mendukung pengambilan keputusan pihak pimpinan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Namun berkaitan dengan urusan informasi ini tidak semudah “membalikkan telapak tangan” dalam pelaksanaannya. Yang sering kali terjadi di lapangan adalah situasi ketidakseimbangan informasi atau informasi asimetris.

Dalam jurnal Jensen dan Mecking (1976) dijelaskan bahwa ketidakseimbangan informasi dapat terjadi di antara kedua pihak, yakni antara yang memberikan kewenangan (prinsipal) dan yang diberikan kewenangan (agen). Kadang kala agen menyembunyikan informasi dari prinsipal sehingga diperlukannya mekanisme pengawasan atas ketaatan atas peraturan yang berlaku.

Sebagai contoh dalam jurnal Al-Firdaus, F. (2019), identitas palsu pemegang rekening keuangan merupakan salah satu penyebab informasi keuangan asimetris. Intelijen perpajakan berperan memastikan validitas sebuah informasi keuangan dalam hal kecepatan dalam pemetaan ancaman informasi keuangan asimetris dan ketepatan dalam pemilahan informasi yang relevan terkait modus informasi keuangan asimetris. Jika semakin banyak terjadinya ketidakseimbangan informasi antara wajib pajak dan DJP maka terdapat kemungkinan semakin kecilnya realisasi penerimaan pajak dibandingkan dengan potensi pajak yang dapat dipungut. Hal tersebut awam disebut dengan Tax Gap.

Belum selesai berbicara mengenai Tax Gap, kini intelijen perpajakan berhadapan dengan situasi kekinian yang serba digital. Hal ini merupakan imbas dari revolusi industri keempat (4.0) yang tengah melanda dunia. Prof. Klaus Martin Schwab, seorang teknisi dan ekonom Jerman, pertama kali memperkenalkannya. Dalam bukunya yang berjudul The Fourth Industrial Revolution (2017), ia menyebutkan bahwa saat ini kita berada pada awal sebuah revolusi yang secara fundamental mengubah cara hidup, bekerja, dan berhubungan satu sama lain. Revolusi industri 4.0 tidak terlepas dari beberapa hal seperti kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), Internet of Things (IoT), pengolahan data raksasa (Big Data), komputasi awan (Cloud Tech), dan keamanan siber (Cybersecurity).

Untuk menghadapi era Revolusi Industri 4.0, pada bulan April 2018 pemerintah meluncurkan peta jalan (roadmap) industri bertajuk Making Indonesia 4.0 untuk mempercepat implementasi Revolusi Industri 4.0 di lima sektor manufaktur, yakni tekstil dan foodware, elektronik, otomotif, industri kimia, serta industri makanan dan minuman.  

Penerapan Revolusi Industri 4.0 ini dinilai membuat rantai nilai produksi yang dilakukan lebih efektif dan efisien. Dikutip dari siaran pers Menteri Perindustrian dalam laman kemenperin.go.id tanggal 12 Mei 2018, Revolusi Industri 4.0 ini akan memberikan keuntungan bagi industri dengan menaikkan efisiensi dan mengurangi biaya sekitar 12-15 persen. Tidak menutup kemungkinan bahwa perusahaan rintisan (start up) yang sedang menjamur di mana-mana kini akan menjadi perusahaan semacam itu.

Dalam menjalankan peran deteksi dini (early warning), sebaiknya intelijen perpajakan mulai melakukan pengumpulan data dan/atau informasi terhadap perusahaan yang sudah menerapkan teknologi Revolusi Industri 4.0 atau perusahaan yang berada di lokasi inkubasi seperti perusahaan start up pada kawasan teknologi terpadu (technopark) yang tersebar di beberapa kota, seperti di Bandung, Denpasar, Semarang, Makassar, dan Batam.

Sebagai pembaruan dari peluncuran peta jalan (roadmap) industri yang bertajuk Making Indonesia 4.0, dikutip dalam bisnis.com tanggal 20 Maret 2019, Kementerian Perindustrian telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mendukung hal tersebut. Adapun beberapa kebijakan tersebut berupa perumusan insentif fiskal untuk perusahaan yang berinvestasi dalam kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) serta inovasi. Atau kebijakan penunjukan Lighthouse of Industry 4.0 sebagai upaya pemilihan perusahaan prioritas dan percontohan penerapan teknologi industri 4.0 serta pemanfaatan e-commerce dan marketplace untuk mendukung industri kecil dan menengah. Lalu bagaimana dengan peran intelijen perpajakan dalam hal tersebut?

Sebelum menjawab pertanyaan sebelumnya, terdapat kebijakan pemerintah yang dikeluarkan pada penghujung tahun 2019 ini. Dalam Pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMSE) tertanggal 20 November 2019 disebutkan bahwa setiap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar.

Adapun data dan/atau informasi tersebut mencakup identitas, persyaratan teknis barang/jasa, harga dan cara pembayaran, serta cara penyerahan barang. Secara eksplisit disebutkan bahwa data dan/atau informasi berperan penting dalam hal tersebut. Selang tujuh tahun yang lalu pemerintah sudah memberikan perhatian terkait data dan informasi terkait pajak dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan. Dalam aturan tersebut, DJP bekerja sama dengan pihak ketiga seperti intansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) terkait data dan/atau informasi perpajakan.

Melihat keterkaitan dua kebijakan pemerintah tersebut, DJP akan sangat mendukung arah pemerintah dalam mendorong peta jalan (roadmap) industri yang bertajuk Making Indonesia 4.0, khususnya konsentrasi terkait PMSE. Melalui Intelijen Perpajakan, DJP berperan dalam hal penyediaan informasi yang cepat dan akurat terkait pelaku usaha jenis tersebut. Selanjutnya, data tersebut akan digunakan untuk penerimaan pajak dan mendukung kebijakan pemerintah lainnya.

Intelijen perpajakan perlu mampu menghadapi situasi terkini (current situation) khususnya dengan memberikan dukungan informasi. Seperti kata pepatah, baiknya kita dapat belajar dengan yang sudah berpengalaman. Brazil merupakan contoh yang baik dalam hal intelijen perpajakan. Laman idg.receita.fazenda.gov.br tanggal 13 April 2017 menjelaskan hal ini.

Brazil memiliki unit intelijen fiskal yang bernama Coordenação-Geral de Pesquisa e Investigação (COPEI) yang didirikan sejak tahun 1990. Berdasarkan sejarahnya, COPEI terus melakukan pengembangan unit seperti unit penelitian (The General Coordination of Research) pada tahun 1996 dan lab think tank penanganan praktik pencucian uang (RFB Lab LD) pada tahun 2014.

Dalam pelaksanaan tugas intelijen fiskal, COPEI memiliki beberapa sistem dan berkaitan satu dengan yang lainnya, seperti the Brazilian Anti-Money Laundering Strategy (ENCCLA) , The Brazilian Intelligence System (Sisbin), dan The Fiscal Intelligence System (SIF). Sepanjang tahun 2014, terdapat 32 operasi penegakan hukum yang berkerjasama dengan polisi federal dan kementerian terkait. Adapun contoh operasi tersebut adalah sebagai berikut:

  • Operation Lava Jato: investigasi atas skema pencucian uang kontraktor besar dan pihak politik;
  • Operation Cretan Labyrinth: investigasi penghindaran pajak dalam sektor refrigeration;
  • Operation Delivery: investigasi terkait dengan penyelundupan usaha rokok yang berpusat di Paraguay.

Keberhasilan operasi tersebut tidak terlepas dari kerjasama dengan Badan Intelijen Brazil yang merupakan bagian dari The Brazilian Intelligence System (Sisbin). Selain itu kekuatan COPEI terletak pada RFB Lab LD yang menggunakan teknologi pengolahan data berupa Data Mining. Adapun teknologi yang digunakan mencakup computational algorithms of artificial intelligence, statistical models, dan linkage analysis. Dalam rentang waktu maksimal 30 hari, sistem teknologi tersebut menelusuri bukti dan mengeluarkan output berupa catatan khusus dan nama pemilik usaha yang sebenarnya (beneficiary owner) yang terlibat dalam kasus tersebut.

Pertanyaan besarnya sekarang, siapkah intelijen perpajakan Indonesia menghadapi era revolusi industri 4.0?

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.