Implementasi Pajak Presumtif demi Dongkrak Kepatuhan UMKM
Oleh: Wisnu Saka Saputra, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pajak merupakan salah satu pilar penting dalam mendukung pendapatan negara. Namun, tantangan dalam pengumpulan pajak sering kali muncul ketika wajib pajak sulit diakses atau tatkala informasi penghasilan mereka terbatas. Untuk mengatasi tantangan tersebut, banyak negara menerapkan sistem pajak presumtif (presumptive tax), sebuah pendekatan yang memungkinkan pengenaan pajak berdasarkan estimasi atau asumsi tertentu.
Pajak presumtif adalah sistem perpajakan di mana jumlah pajak dihitung berdasarkan indikator yang diasumsikan mewakili pendapatan atau aktivitas ekonomi wajib pajak. Pendekatan ini biasanya diterapkan untuk mengatasi tantangan pengawasan atas sektor informal, usaha kecil, atau profesi tertentu yang sulit untuk diukur pendapatannya secara langsung.
Menurut International Monetary Fund (IMF), pajak presumtif merupakan alat untuk meningkatkan kepatuhan pajak, memperluas basis pajak, dan mengurangi biaya administrasi. Model pajak ini sering diperuntukkan bagi wajib pajak yang memiliki karakteristik pendapatan rendah atau menengah serta keterbatasan dalam menyediakan catatan pembukuan yang memadai.
Model ini umum digunakan di negara-negara yang sebagian besar pembayar pajaknya masuk dalam kategori sulit dipajaki (hard to tax) dan sumber daya administrasi perpajakannya terbatas. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperkirakan atau membuat asumsi terkait batasan pendapatan yang layak dikenakan pajak.
Model pajak presumtif lebih sering diterapkan di negara yang bukan anggota Organization of Economic Cooperation and Development (OECD). Model ini dirancang untuk meningkatkan kepatuhan pajak serta mendorong pencatatan keuangan oleh wajib pajak. Penerapannya biasanya menggunakan sistem berbasis omzet (turnover-based system), sistem berbasis indikator (indicator-based system), atau kombinasi keduanya. Namun, di negara-negara yang tengah dalam masa transisi, sistem berbasis omzet merupakan pendekatan yang paling umum digunakan.
Penerapan di Indonesia
Di Indonesia, pajak presumtif diterapkan melalui mekanisme Pajak Penghasilan (PPh) Final untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022). Dalam peraturan tersebut, wajib pajak yang memiliki omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun dikenakan tarif PPh Final sebesar 0,5% dari omzet. Kebijakan ini bertujuan untuk memudahkan pelaku usaha kecil dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Pada awalnya, pengenaan PPh Final di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 46/2013). Sebelum diberlakukannya PP 46/2013, Indonesia menggunakan model pemajakan standard regime dengan berbagai kemudahan dan fasilitas tertentu (standard regime with simplified/reduced rate).
Kemudahan yang diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) diatur dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam ketentuan tersebut, WP OP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tahunan di bawah Rp4,8 miliar diizinkan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) untuk menghitung penghasilan netonya.
Sementara itu, fasilitas yang diberikan kepada kepada Wajib Pajak Badan berupa pengurangan tarif (reduced rate) berdasarkan Pasal 31E UU PPh jo. UU HPP. Fasilitas ini memungkinkan WP Badan Dalam Negeri dengan peredaran bruto tahunan hingga Rp50 miliar memperoleh pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum PPh, yang berlaku atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto hingga Rp4,8 miliar.
Penerapan pajak presumtif pada sektor UMKM menjadi game changer dalam kebijakan perpajakan Indonesia. Pasalnya, UMKM menyumbang porsi besar dalam perekonomian, tetapi memiliki keterbatasan dalam hal pencatatan dan pelaporan keuangan. Dengan penerapan pajak presumtif, UMKM dapat memperoleh manfaat.
Bagi UMKM yang memiliki omzet di bawah 4,8 miliar rupiah per tahun, pengenaan tarif PPh Final sebesar 0,5% dari omzet memberikan solusi yang jauh lebih sederhana dibandingkan dengan penghitungan pajak berbasis laba bersih.
UMKM di Indonesia umumnya menghadapi tantangan dalam memahami pencatatan dan akuntansi serta kesulitan dalam menyusun laporan keuangan. Kondisi ini menghambat kemampuan mereka untuk mematuhi aturan perpajakan, yang pada akhirnya menurunkan tingkat kepatuhan dan meningkatkan beban biaya kepatuhan (cost of compliance) bagi wajib pajak.
Oleh karena itu, strategi yang efektif untuk mendongkrak kepatuhan pajak di sektor UMKM adalah dengan menyediakan asistensi serta memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan. Untuk mendukung kemudahan tersebut, penerapan model presumptive regime dianggap paling sesuai bagi UMKM.
Kebijakan pajak presumtif dapat menjadi alat untuk mendorong pelaku usaha informal beralih ke sektor formal. Dengan insentif berupa tarif pajak rendah dan prosedur yang sederhana, terdapat lebih banyak pengusaha kecil yang bersedia mendaftarkan usahanya dan berkontribusi untuk penerimaan pajak negara.
Pajak presumtif merupakan solusi inovatif yang selain dapat meningkatkan kepatuhan dan menyederhanakan administrasi perpajakan juga dapat memperluas basis pajak. Namun, implementasinya memerlukan keseimbangan antara kemudahan pelaksanaan dan keadilan bagi wajib pajak. Oleh karena itu, kebijakan ini tentunya diracik dengan memperhatikan kebutuhan sektor informal dan usaha kecil tanpa mengorbankan integritas sistem perpajakan. Dengan pendekatan yang tepat, pajak presumtif dapat menjadi alat yang efektif dalam mengoptimalkan penerimaan negara.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.