Hari Pajak, Asian Value dan Kontrak Sosial (Anandita Budi Suryana)

Oleh: Anandita Budi Suryana, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Ketika PM Mahathir Mohamad menyatakan Malaysia dalam krisis keuangan karena hutang luar negeri yang membengkak selama masa PM Najib Razak, sontak rakyat Malaysia berbondong menyumbangkan hartanya untuk membayar hutang negara. Hebatnya untuk sumbangan ini di luar pajak yang harus dibayar oleh masyarakat.

Hal serupa terjadi ketika ada musibah 13 orang tim sepakbola anak terperangkap gua di Thailand, seluruh elemen negara Thailand bersatu membantu tim penyelamatan. Bahkan ahli penyelaman kawakan dunia, mayoritas pernah bersentuhan dengan negara Thailand, bergabung dalam tim penyelamatan bersama Thailand Navy.

Arab Saudi, selama ini terkenal sebagai negara bebas pajak karena besarnya penerimaan minyak dan gas. Namun ketika ada gejolak melorotnya harga minyak, maka negara meminta masyarakat untuk mulai membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa dan barang yang dinikmati warga Saudi atau pendatang. Prinsip ini menjadi kebersamaan untuk membiayai negara.

Gotong royong dalam komunitas adalah hal umum di benua Asia. Identitas nilai Asia, khususnya negara anggota ASEAN, hampir mirip. Nilai-nilai Asia yang dianut bangsa di kawasan ASEAN antara lain adalah kolektivitas dengan nilai kekeluargaan yang kuat. Figur pemimpin komunitas menjadi sosok perekat nilai keluarga.

Di Indonesia, tanggal 14 Juli ini menjadi hal yang bersejarah, karena untuk pertama kalinya diperingati sebagai Hari Pajak. Mengapa penting? Hari Pajak menjadi pengingat bahwa elemen penerimaan negara merupakan titik tonggak suatu negara.

Hal ini unik jika dibandingkan otoritas pajak di negara lain, misalnya Internal Revenue Services (IRS) di Amerika Serikat. IRS dalam menjalankan aktivitasnya lebih mengedepankan penindakan hukum yang tegas. Seluruh transaksi harian keuangan bank dan non bank menjadi domain pengawasan IRS, sehingga tidak ada istilah kerahasiaan bank. Otomatis pembayar pajak yang melakukan penggelapan pajak langsung dilakukan penindakan oleh IRS dan dikenai hukuman serta denda.

Indonesia agar berbeda karena otoritas pajak masih mendengarkan aspirasi masyarakat dan stakeholder lainnya. Misalnya penurunan tarif pajak transaksi properti dari 5 persen menjadi 2,5 persen. Atau pajak UMKM dari 1 persen menjadi 0,5%. Khusus untuk UMKM, otoritas pajak membuat BDS (Business Development Services). Skema BDS dibentuk untuk menghubungkan pelaku UMKM dengan bank atau potential buyer. Mirip ke fungsi sosial, yang hal ini didukung oleh Asian Value yang populer di Indonesia. Model ini tidak akan ditemui di negara barat (western) yang mengedepankan nilai individualisme.

Hal berbeda lain terkait rahasia bank di Indonesia yang belum seluruhnya terbuka karena hanya wajib melaporkan saldo bank saja. Kewajiban perbankan seharusnya tidak rahasia lagi dengan pemberlakuan AEOI (Agreement of Exchange Information) mulai tahun 2018. Rahasia bank tidak ada di negara lain karena otoritas pajak negara tersebut diberi kewenangan melihat data keuangan harian bank. Akibatnya penghasilan pembayar pajak dapat diketahui secara pasti, dan jika ada kelebihan, akan dikembalikan secara cepat. Dalam hal ini administratur EODB (Ease of Doing Business) hanya melihat lamanya pengembalian kelebihan pajak tanpa melihat struktur kerahasiaan bank di Indonesia yang belum memungkinkan melihat data harian transaksi keuangan.

Kontrak Sosial

Demokrasi negara tidak akan terwujud tanpa ada pembiayaan dari warga negara kepada negara sebagai wujud kontrak sosial. Demokrasi akan berwujud dengan pembangunan dan pembiayaan dari negara untuk kepentingan masyarakat, dan itu hanya bisa dibiayai dengan pajak.

Ketika pajak UMKM diberlakukan melalui PP 23/2018, ada sebagian usulan agar UMKM dibebaskan dari pajak 0,5 persen manjadi 0 persen. Usulan ini sekilas seperti berpihak pada UMKM. Tapi secara luas membahayakan eksistensi negara karena setiap individu merasa tidak perlu membayar pajak. Padahal pada sisi lain negara harus membiayai pendidikan dasar (SD-SMP), membantu pembiayaan kesehatan (BPJS Kesehatan untuk rakyat tidak mampu), subsidi gas untuk rakyat miskin, revitaslisi industri tekstil, peremajaan kebun sawit, pembuatan waduk, dan pembiayaan dana desa.

JIka pajak dibebaskan, lalu siapa yang akan membayar pengeluaran tersebut? Apakah akan mengandalkan penerimaan komoditas minyak dan gas atau tambang emas? Tentu tidak akan mencukupi APBN. Peranan zakat juga belum memungkinkan karena hukum negara belum memungkinkan pemaksaan zakat dan jizyah.

Pajak memegang peranan sekitar 70 persen dari keuangan APBN. Rasio pajak pun masih antara 10-12 persen. Wajar saja, karena tarif UMKM hanya 0,5-1% dan PPN hanya 10%. Dengan demikian tantangan utama adalah memperluas basis pajak. Pertama, bisa dengan mendaftar wajib pajak yang belum tersentuh atau terdaftar di otoritas pajak. Yang kedua, tentu dengan mendorong kepatuhan wajib pajak agar membayar pajak secara benar, karena saldo keuangan di bank sudah bisa diakses otoritas pajak.

Yang hebat, jika kita bisa mengungkit nilai sosial masyarakat seperti kasus di Malaysia dan Thailand, sehingga tidak perlu pemaksaan kepada wajib pajak. Masyarakat Indonesia sudah bisa berkontribusi kolektif dalam hal ada bencana atau musibah, namun ketika diminta untuk membayar pajak, persoalannya menjadi tidak sederhana. Mengejawantahkan nilai kolektif masyarakat kepada kepatuhan membayar pajak menjadi tugas kita bersama.

Selamat hari pajak. Ayo bayar pajak.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.