Oleh: Mura Novia Nur Annisaq, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Seorang pria dengan tergopoh-gopoh datang ke sebuah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di bilangan Jakarta Utara untuk berkonsultasi, sepekan yang lalu. Konsultasi tersebut berlangsung di ruang helpdesk lantai 2 gedung KPP tersebut pada pukul 15.00 WIB. Di luar gedung, kendati sudah sore, sengatan terik mentari masih tersisa.

Pria tersebut adalah --sebut saja-- Jimin, tentu saja bukan nama sebenarnya, dan jika ada kemiripan hanyalah kebetulan semata, orang pribadi yang terdaftar sebagai wajib pajak di KPP tersebut pada tahun 2013. Ia mengemukakan maksudnya untuk datang ke KPP adalah untuk menanyakan tentang pemblokiran rekeningnya. Pak Jimin menceritakan ke petugas helpdesk tentang kejadian yang baru saja ia alami. Baru kali ini, setelah menjadi WP selama satu dekade, dia kesandung masalah kayak begini. Ketika makan siang di sebuah warung bakso, Jimin hendak membayar dengan menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Ia sangat terkejut ketika melihat transaksinya tertolak dengan notifikasi pembayaran tidak bisa dilanjutkan karena rekening terblokir.

Jimin lalu bergegas ke bank terdekat untuk menanyakan alasan pemblokiran tersebut, tetapi petugas bank menyarankan Jimin untuk menanyakan pemblokiran tersebut ke bank tempat ia membuka rekening. Dengan kesal, ia pun mengayunkan langkah ke salah satu bank swasta nasional ternama di Indonesia, tempat ia membuka rekening tabungan. Ia meminta bank untuk membuka blokirnya. Pihak bank justru menjelaskan, bahwa rekening tabungannya diblokir atas permohonan resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan pihak bank tidak bisa membuka blokir tersebut jika tidak ada permintaan resmi untuk membuka blokir dari DJP. Long stroy short, petugas bank menyarankan Jimin untuk menghubungi KPP tempatnya terdaftar untuk menuntaskan masalah pemblokiran tersebut.

Oppie, bukan Andaresta dan tentu saja bukan nama asli, petugas helpdesk yang piket pada hari itu menyimak dengan saksama dan penuh rasa empati permasalahan yang disampaikan wajib pajak yang masih masygul itu. Oppie meminta waktu untuk melihat dan meneliti data pada sistem administrasi terlebih dahulu. Setelah mengecek profil Jimin, Oppie mendapati adanya data tunggakan pajak. Usut punya usut, memang benar telah dilakukan blokir oleh Juru Sita Pajak Negara (JSPN) hampir sebulan yang lalu. Blokir terpaksa dilakukan karena ada tunggakan pajak sebesar puluhan juta rupiah yang belum terbayar.

Oppie menginformasikan kepada Jimin bahwa tindakan blokir diambil karena Jimin memiliki tunggakan pajak dan tidak merespons beberapa tindakan penagihan terdahulu seperti Surat Teguran yang dikirimkan ke wajib pajak setelah 7 hari dari jatuh tempo Surat Tagihan Pajak (STP) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB); Surat Paksa yang dikirimkan ke wajib pajak 21 hari setelah Surat Teguran; dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) yang terbit setelah 2x24 jam jika wajib pajak tidak merespons Surat Paksa. Hal ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61/PMK.03/2023 Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar.

Menurut beleid tersebut, pemblokiran adalah tindakan pengamanan Barang milik Penanggung Pajak yang dikelola oleh Lembaga Jasa Keuangan, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain, yang meliputi rekening bagi bank, subrekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi Lembaga Jasa Keuangan Lainnya dan/atau Entitas Lain, dengan tujuan agar terhadap Barang dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.

Oppie pun berkoordinasi dengan Dhea, yah tentu saja nama samaran, JSPN yang menangani permasalahan ini, dan melakukan tindakan persuasif kepada Jimin. “Pemblokiran dapat dicabut dengan beberapa alasan. Utamanya, apabila penanggung pajak melunasi utang dan biaya penagihan pajak yang menjadi dasar dilakukan pemblokiran. Penanggung pajak dapat membayar utang dan biaya penagihan pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir,” ungkap Oppie.

“Pelunasan tunggakan pajak dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan pemindahbukuan dari rekening penanggung pajak,” sambung Dhea.

Setelah diberi pemahaman tentang pemblokiran serta kewajiban untuk melunasi seluruh tunggakan pajak, Jimin pun beritikad untuk melunasi seluruh tunggakan pajaknya dan segera membuat permohonan pemindahbukuan rekening ke pihak bank dan kepada Kepala KPP. Tindakan tersebut juga diikuti dengan permohonan pencabutan blokir oleh JSPN ke pihak bank.

Beberapa hari kemudian, proses pelunasan seluruh tunggakan pajak Jimin selesai. Utang pajak lunas, Jimin pun bisa kembali bertransaksi menggunakan rekeningnya tanpa khawatir tertolak pembayarannya, seperti kejadian mengejutkan yang ia alami beberapa waktu lalu di warung bakso.

Peristiwa ini tentunya bisa menjadi pe(mbe)lajaran berharga. Jangan sepelekan upaya penagihan pajak. Jika merasa punya utang pajak, sebaiknya segera selesaikan sesuai ketentuan. Pengennya menikmati bakso, eh, malah kudu lunasi dulu puluhan juta rupiah tunggakan pajak.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.