Forensik Digital Perpajakan: Menggali Informasi Tersembunyi Demi Penerimaan Negara

Oleh: Wibisono Mahendra, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pada tahun 2016 lalu, terjadi kasus pembunuhan berencana yang membetot atensi publik. Saat itu, Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi ahli forensik digital untuk membuktikan tindak pidana pembunuhan yang telah dilakukan oleh tersangka. Ahli forensik melakukan analisis terhadap perangkat penyimpanan data eksternal berupa flashdisk yang menyimpan video CCTV hasil ekstraksi dari Digital Video Recorder sistem pengawasan di tempat kejadian perkara pembunuhan. Belakangan, kisah tersebut diangkat menjadi film dokumenter di layanan streaming berbasis langganan.
Kita tidak sedang mengulas peristiwa tersebut lebih lanjut. Namun, tulisan ini membahas betapa pentingnya peran forensik digital dalam mengungkap tindak pidana. Dalam konteks artikel ini, di bidang perpajakan.
Pembuktian merupakan titik sentral di dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dalam buku berjudul Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Martiman Prodjohamidjojo (1983) menyebutkan bahwa dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian. Hal ini menjadi latar belakang penggunaan forensik digital sebagai salah satu sarana pengujian dokumen elektronik agar dapat menjadi alat bukti yang sah.
Kegiatan forensik digital dapat menjaga integritas bukti digital dan memroses serta menganalisis bukti digital (digital evidence) dengan sebuah standar dan dokumentasi tertentu untuk dapat diajukan sebagai bukti hukum yang sah. Pakar forensik digital, Richard Nolan dan Collin O’Sullivan, menyatakan bahwa forensik digital adalah “the process of using scientific knowledge in the collection, analysis, and presentation of evidence in the court”.
Lalu, menurut aturan yang berlaku saat ini, apa sih yang dimaksud forensik digital perpajakan? Forensik digital di bidang perpajakan adalah teknik atau cara menangani data elektronik mulai dari kegiatan perolehan, pengolahan, analisis, dan pelaporan serta penyimpanan data elektronik, sehingga informasi yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum untuk mendukung kegiatan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, dan kegiatan lain yang memerlukan dukungan kegiatan forensik digital.
Berkembangnya dunia teknologi informasi saat ini turut mengubah proses bisnis wajib pajak, salah satunya dalam hal mekanisme pembukuan. Adopsi era digital ini menyebabkan perusahaan meninggalkan catatan fisik dan beralih menggunakan pembukuan digital. Namun, tidak hanya sisi positif, teknologi informasi adalah pedang bermata dua. Pembukuan fisik yang dahulu memerlukan tempat penyimpanan yang luas, sekarang dapat digantikan oleh sebuah komputer server, yang juga berarti pembukuan tersebut dapat dengan mudah dipindahkan atau disembunyikan. Maka, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi tim forensik digital untuk melaksanakan tugas dengan cermat dalam rangka menemukan barang bukti yang diperlukan.
Empat Tahap
Forensik digital terdiri dari empat tahapan. Pertama assessment, pemeriksa forensik digital perlu menilai bukti-bukti digital yang ada secara netral. Maksudnya adalah nilai atau prasangka bahwa bukti belum masuk kepada pihak yang memberikan keringanan atau memberatkan kasus. Tahapan kedua adalah acquisition. Bukti digital sangat rentan, mudah rusak, dan hilang. Maka, pemeriksaan harus dilakukan dengan hati-hati. Adapun yang paling tepat adalah menggunakan bukti digital bukan yang asli, sebab bukti digital yang asli harus dilindungi agar tetap terjaga.
Proses berlanjut ke tahap examination. Tujuan dari proses ini adalah untuk mengekstraksi dan menganalisis bukti digital yang ada. Ekstraksi mengacu pada proses pemulihan (recovery) data digital yang diperoleh dari suatu media forensik. Analisisnya akan mengacu pada metode yang telah ditetapkan dan menjadi standar forensik. Langkah terakhir adalah tahapan documenting dan reporting. Analisis dan observasi pada forensik digital harus dibuat dokumentasi dan laporannya supaya benar-benar dapat menjadi acuan bagi forensik selanjutnya. Kemudian juga bisa menjadi bahan penelitian apakah metode yang dilakukan sudah efektif atau belum.
Pakar peretasan dan keamanan siber, Lawrence Williams, yang banyak menulis soal etika peretasan, jaringan, dan sistem operasi komputer, membagi forensik digital ke dalam delapan tipe. Pengelompokan ini didasarkan pada objek peranti yang dilakukan forensik.
Pertama adalah forensik disk. Tipe ini berkaitan dengan ekstraksi data dari media penyimpanan dengan mencari file yang aktif, yang telah dimodifikasi, maupun yang telah dihapus. Kedua, forensik jaringan. Forensik ini berkaitan dengan pemantauan dan analisis lalu lintas jaringan komputer untuk mengumpulkan informasi penting dan bukti hukum. Ketiga adalah forensik nirkabel, yakni forensik yang bertujuan untuk menawarkan alat yang dibutuhkan untuk mengumpulkan dan menganalisis data dari lalu lintas jaringan nirkabel.
Tipe keempat adalah forensik basis data, tipe ini berkaitan dengan pemeriksaan dan evaluasi pangkalan data (database) dan metadata. Kelima adalah forensik malware, jenis forensik ini berkaitan dengan identifikasi kode berbahaya, untuk mempelajari muatannya, virus, worm, dan lain-lain. Keenam adalah forensik email. Tipe ini berurusan dengan pemulihan dan analisis surat elektronik yang dihapus.
Selanjutnya adalah forensik memori, yakni forensik yang berkaitan dengan pengumpulan data dari memori sistem dalam bentuk mentah dan kemudian memilah data dari data mentah tersebut. Terakhir adalah forensik ponsel, tipe ini berhubungan dengan pemeriksaan dan analisis perangkat seluler. Tujuannya membantu untuk mengambil data yang tersimpan dalam telepon genggam.
Nah, dengan demikian, forensik digital dapat menjadi sarana yang ampuh dalam memastikan kejahatan digital yang telah dilakukan. Forensik digital dapat mengidentifikasi, melacak, sekaligus mengesahkan kebenaran informasi dalam pengungkapan sebuah kasus.
Forensik Digital DJP: Dulu hingga Kini
Perkembangan teknologi informasi telah mengubah wajah dunia secara fundamental hingga era digital saat ini. Berbagai aspek kehidupan mulai dari cara kita hidup, bisnis, bekerja, dan berinteraksi telah berkembang begitu cepat dan dirasakan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk wajib pajak. Maka, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memandang perlu adanya ahli yang ditugaskan untuk memperoleh data elektronik dalam kegiatan penegakan hukum semakin tinggi.
Oleh karena itu, forensik digital di Direktorat Jenderal Pajak mulai berkembang sejak tahun 2008. Saat itu, kegiatan forensik dilakukan secara ad hoc. Tenaga ahli forensik digital mendapatkan tugas yang cukup krusial yaitu untuk memberikan data dan informasi untuk membuktikan adanya tindakan kecurangan (fraud), indikasi pidana, dan temuan lainnya dalam kegiatan penegakan hukum.
Lalu, mengapa DJP membutuhkan ahli forensik digital? Ada empat poin penting kenapa DJP membutuhkan ahli forensik digital. Pertama, forensik digital mampu mengakuisisi data dari berbagai sumber perangkat digital dalam rangka mengumpulkan barang bukti (evidence) dan data lain yang diperlukan.
Kedua, forensik digital mampu menjaga integritas data dengan menjamin bukti yang ada di perangkat tidak dimanipulasi, disalin, dan dipindahkan. Kegiatan forensik digital memiliki standar dan prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan bisa dijadikan barang bukti di meja hijau. Saat melakukan perolehan data elektronik, tenaga forensik digital tidak hanya sekadar “copy paste” tetapi juga melakukan pengolahan data tanpa mengubah metadata dari bukti aslinya. Keutuhan bukti digital tersebut harus terjamin dengan mempertahankan nilai hash dari bukti digital yang diperoleh. Dikutip dari berbagai sumber, nilai hash merupakan nilai numerik dengan panjang tetap yang secara unik mengidentifikasi data. Pada dasarnya, hash merupakan kode yang digunakan untuk membuat pesan, kata, maupun data.
Ketiga, forensik digital mampu melakukan pemulihan atas data yang tersembunyi dan/atau terhapus. Berdasarkan pengalaman di lapangan, banyak wajib pajak yang sedang diperiksa melakukan berbagai cara untuk menyembunyikan dan menghilangkan barang bukti. Namun, tidak ada manusia yang sempurna dan tidak ada pula kejahatan yang sempurna. Maka, pasti ada celah untuk menemukan barang bukti elektronik dari suatu tindak kejahatan perpajakan.
Keempat, forensik digital mampu merekonstruksi suatu tindak pidana dari data yang diperoleh dengan melakukan analisis terhadap metadata elektronik dan melakukan penyandingan dengan data konvensional. Dalam pengujian metadata ini, tenaga forensik digital dapat menganalisis catatan waktu yang biasa dikenal dengan istilah MAC (Modified, Accessed, Created).
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan forensik digital untuk keperluan perpajakan, pada tahun 2015 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, berdirilah subdirektorat yang menangani forensik digital. Subdirektorat ini bertugas untuk penyiapan bahan penyusunan rumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, serta pelaksanaan dan evaluasi forensik perpajakan.
Sejak berdirinya unit ini, sumber daya forensik digital terus dikembangkan sampai saat ini. Ada tiga komponen penting dalam pengembangan sumber daya forensik digital di DJP, antara lain personel (sumber daya manusia atau SDM), prosedur dan teknik, serta fasilitas dan peralatan.
Pertama, komponen SDM. DJP senantiasa meningkatkan kapasitas SDM di bidang forensik digital dengan bekerja sama dengan berbagai pihak. Kedua, komponen penting tentang fasilitas dan peralatan. DJP menjadi salah satu dari lima instansi yang telah memiliki laboratorium forensik digital terakreditasi standar Internasional ISO 17025:2017. Instansi lain yang juga memiliki laboratorium forensik terakreditasi antara lain Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan sebuah bank pelat merah. Laboratorium forensik digital DJP berisi peralatan dan aplikasi yang menunjang kinerja serta tugas fungsinya. Ketiga, komponen mengenai regulasi, prosedur, dan teknik. Peran forensik digital sangat penting untuk kemajuan penegakan hukum di DJP. Ketentuan yang telah ada dapat dievaluasi dan diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman guna menyokong tugas dan fungsi DJP di bidang penegakan hukum.
Kisah Sukses
Kombinasi antara sumber daya manusia dan perangkat mumpuni menjadikan forensik digital DJP dipercaya oleh instansi lain untuk membantu melakukan pembuktian tindak pidana. Sebagai contoh selama tahun 2022, DJP telah bersinergi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebanyak 46 kali, salah satunya yaitu dengan sebuah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai di Jawa Timur. Kerja sama ini dalam rangka melakukan identifikasi forensik digital untuk membuktikan pelanggaran di bidang cukai rokok ilegal dengan potensi kerugian negara ratusan juta rupiah.
Kisah keberhasilan lainnya adalah pada tahun 2017. Pada saat itu, tim forensik digital bersama dengan tim pemeriksa bukti permulaan dari Kantor Pusat DJP melakukan pemeriksaan terhadap salah satu perusahaan yang diduga menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya (TBTS).
Saat pemeriksaan lapangan, tim forensik digital melakukan perolehan data elektronik pada ruangan administrator information technology (IT). Dalam ruangan tersebut terdapat sejumlah data transaksi keuangan serta server email. Administrator IT juga memiliki satu komputer yang digunakan untuk mengakses secara jarak jauh (remote) suatu server. Saat itu, tim forensik digital berhasil mengambil database dari komputer server tersebut.
Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis terhadap database yang diperoleh, tim berhasil menemukan pola skema transaksi wajib pajak dengan perusahaan pengguna faktur pajak TBTS yang sudah terkonfirmasi tersebut. Dan ternyata benar bahwa skema transaksi dalam database tersebut sengaja dibuat untuk tujuan penerbitan faktur pajak TBTS. Dari semua proses yang dilakukan, akhirnya wajib pajak melakukan amnesti pajak, pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana beberapa kali telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), dan menggugurkan pemeriksaan lebih bayarnya, sehingga jika dijumlah wajib pajak tersebut membayar ke kas negara sebesar kurang lebih ratusan miliar rupiah termasuk denda.
Tantangan
Di era digital saat ini kegiatan forensik akuisisi perangkat digital (smartphone) menjadi semakin penting. Perangkat smartphone dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mendapatkan berbagai data. Dalam menggali data, tenaga forensik digital DJP tak kehabisan akal. Dengan mengolah data dan informasi yang didapat, informasi tersebut disampaikan kepada tim penyidik, sehingga kasus dilanjutkan ke proses penyidikan. Tersangka mendapatkan hukuman penjara maksimal enam tahun dan denda paling banyak empat kali dari jumlah kerugian negara.
Kegiatan forensik digital merupakan salah satu keunggulan yang dimiliki oleh DJP yang bertujuan memberi dukungan dalam pelaksanaan penegakan hukum di bidang perpajakan, baik untuk kegiatan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan. Dengan dukungan pimpinan sampai saat ini, forensik digital DJP terus berkembang mulai dari sumber daya manusia, fasilitas, dan peralatan yang mumpuni. Harapannya, DJP tidak hanya membantu penyelesaian penegakan hukum di DJP saja, tetapi juga dapat bersinergi dan membantu unit kerja yang lain.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 321 kali dilihat