Oleh: Alif Radix Tegar Sejati, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Indonesia sebagai top emerging market ASEAN tampaknya hanya mendapatkan sebagian kecil “kue” dari perang dagang US-Tiongkok di tahun politik 2019. Hal ini terlihat dari hasil laporan BKPM atas FDI di kuartal I yang tidak cukup signifikan. Dibandingkan dengan emerging market lain ASEAN seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam yang mengalami peningkatan FDI kuartal I lebih dari 70% year-on-year (yoy).

Meskipun dampak peningkatan FDI akibat perang dagang US-Tiongkok bersifat sementara. namun hal ini membuktikan bahwa posisi Indonesia masih kurang kompetitif di mata investor asing terlepas dari banyaknya faktor lain yang memengaruhi keputusan investasi. Berakhirnya KTT G20 di Osaka, Jepang yang digelar pada 28-29 Juni 2019 memberi ruang bagi pelaku ekonomi global untuk bernafas sejenak di tengah panasnya perang dagang US-Tiongkok.

Kesepakatan kedua negara untuk melakukan “gencatan senjata” memberikan sedikit harapan akan berakhirnya dinamika perang dagang yang dimulai sejak akhir Maret 2018. Perekonomian secara global tentu terdampak atas isu ini, namun sebagian wilayah berpeluang mendapatkan berkah atas terjadinya perang dagang. Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan yang cukup diuntungkan dari perang dagang kedua negara. Kebijakan proteksionisme yang digaungkan akan berdampak pada bergesernya aliran global foreign direct investment (FDI) ke pasar yang lebih menguntungkan. Negara-negara ASEAN-5 (Indonesia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Malaysia) berpotensi mendapatkan “ceruk” investasi di tengah intensnya perang dagang khususnya FDI sektor manufaktur.

Vietnam menjadi negara yang paling diuntungkan apabila dilihat dari posisi geografis dan hubungan sosial-politik dengan Tiongkok. Tingginya tarif impor US-Tiongkok mendorong investor mencari negara pengganti sebagai basis manufaktur. Berdasarkan Vietnam’s Foreign Investment Agency (FIA), Vietnam tercatat mengalami peningkatan FDI Q1 mencapai 86% yoy bahkan mencetak rekor FDI inflow tertinggi dalam empat tahun terakhir untuk periode awal Januari-Mei 2019 dengan nilai investasi US$16.74 miliar. Kebijakan tarif pajak korporasi yang kompetitif menjadi salah satu keunggulan Vietnam menarik investasi asing, ditunjang dengan labor cost yang rendah khususnya di sektor manufaktur yang bersifat padat karya.

Kompetisi Pajak ASEAN

Laporan A.T. Kearney dalam The 2019 FDI Confidence Index menyatakan bahwa faktor utama yang menentukan investor dalam memilih tempat investasi adalah tarif dan kemudahan pembayaran pajak. Bahkan empat dari lima aspek teratas berkaitan dengan aspek pemerintahan dan regulasi. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah merupakan kunci dalam memacu FDI inflow ke Indonesia.

Tarif statutory corporate income tax Indonesia berada pada angka 25% dimana tarif ini termasuk tertinggi kedua di ASEAN setelah Filipina dengan tarif 30%. Apabila melihat persaingan tarif dan insentif pajak di ASEAN, Vietnam dapat dikatakan sebagai emerging country paling kompetitif dalam aspek tarif dan insentif perpajakan. Vietnam memiliki tarif statutory corporate income tax sebesar 20% yang termasuk terendah ketiga setelah Singapura dan Brunei. Kebijakan insentif pajak yang diberikan Vietnam juga yang tertinggi di regional apabila diukur dari jumlah tax deductions dan tax credits yang diberikan berdasarkan laporan OECD Investment Policy Review.

Tren penurunan tarif pajak korporasi 10 tahun terakhir dari emerging countries ASEAN secara tidak langsung mendorong terjadinya tax competition antar negara. Vietnam dan Thailand, bahkan telah dua kali menurunkan tarif pajak korporasi untuk mendorong investasi. Kompetisi tarif pajak korporasi antar negera dapat mengaburkan level playing field di regional ASEAN. Perang tarif pajak antar negara meningkatkan potensi munculnya isu ‘race to bottom’ yang akan menggerus sumber penerimaan negara. Meskipun kompetisi tidak dapat dihindari, namun dengan adanya koordinasi tarif pajak di kawasan ASEAN diharapkan dapat mencegah terjadinya hal ini.

Tidak hanya tarif pajak, namun adu kebijakan insentif fiskal juga terjadi di antara negara-negara ASEAN. Kompetisi insentif pajak yang terjadi diharapkan tidak menimbulkan harmful tax competition yang secara tidak langsung membuka celah bagi tax avoidance dan tax evasion. Pemerintah Indonesia secara periodik perlu mengevaluasi kebijakan insentif pajak yang diberikan apakah efektif dalam menarik investasi. Iklim investasi yang kuat dan kondusif serta administrasi perpajakan yang efektif dapat berperan penting dalam keberhasilan insentif yang diberikan. Berkaca dari peforma FDI inflow semester awal 2019 yang kurang optimal dibandingkan emerging countries ASEAN lainnya, pemerintah perlu mengevaluasi kembali daya saing kebijakan insentif pajak Indonesia di kawasan regional.

Persaingan yang kompetitif dalam menarik investasi asing di Asia Tenggara khususnya sesama emerging countries perlu mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah, termasuk setiap langkah kebijakan perpajakan akan menentukan deras atau tidaknya FDI inflow Indonesia. Keunggulan Indonesia sebagai negara pasar terbesar di Asia Tenggara terlihat belum meyakinkan investor untuk menjadikan Indonesia sebagai negara produksi. Ketergantungan Indonesia pada sektor primer dan manufaktur dalam menarik investasi kurang sejalan dengan tren investasi global saat ini yang didorong sektor jasa yang semakin produktif akibat perkembangan teknologi. Persaingan pada sektor manufaktur yang bersifat padat karya meskipun sangat cocok dengan keadaan Indonesia, akan cukup berat dengan tarif pajak korporasi yang termasuk tinggi di kawasan ASEAN dan negara lain yang memiliki labor cost lebih rendah di tengah perjanjian perdagangan bebas.

Posisi Strategis Indonesia

Peforma perekonomian yang stabil dan populasi kelas menengah yang besar menjadi salah satu daya tarik Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara. Keuntungan demographic dividend tidak dapat dipungkiri berpengaruh terhadap peluang penetrasi pasar yang masih sangat besar. Terlebih Indonesia tinggal menunggu waktu untuk menjadi upper middle income country yang makin menstimulasi daya beli domestik. Peningkatan signifikan atas peringkat global di berbagai aspek juga menunjukkan keseriusan pemerintah Indonesia dalam mengakselerasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi inklusif. Meskipun begitu, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih pada aspek perpajakan karena berdasarkan laporan World Bank kemudahan pembayaran pajak di Indonesia hanya berada di urutan 112 dari 190 negara.

Rencana pemerintah Indonesia untuk menurunkan tarif pajak korporasi untuk memacu investasi patut diapresiasi. Penurunan tarif statutory corporate income tax dapat berperan besar dalam meningkatkan produktivitas perekonomian yang akan berdampak pada kontribusi pertumbuhan PDB. Meskipun begitu, masih banyak alternatif lain kebijakan fiskal untuk menarik investasi. Perbaikan kebijakan terkait cost recovery di sistem perpajakan Indonesia berpeluang meningkatkan kemampuan likuiditas dunia usaha. Penambahan metode depresiasi khusus untuk aset tertentu di sistem perpajakan juga dapat memacu investasi modal yang berkontribusi pada peningkatan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut tentunya juga harus disinkronkan dengan penguatan basis pajak atau bahkan perluasan basis perpajakan pada sektor baru seperti jasa dan produk digital yang belum terjamah.

Berjalannya reformasi perpajakan khususnya digitalisasi administrasi pajak akan meningkatkan kapabilitas dan efektivitas otoritas pajak secara komperehensif. Hal ini sangatlah fundamental dalam implementasi kebijakan penurunan tarif pajak korporasi. Kesiapan sistem administrasi perpajakan dalam menjaga basis pajak dan mencegah upaya base erosion and profit shifting (BEPS) berperan besar menjaga ruang fiskal pasca penurunan tarif. Selain itu, pemerintah perlu lebih berorientasi pada pengembangan sektor jasa dan teknologi karena berkembangnya sektor teknologi dapat mengkatalis sektor lainnya termasuk manufaktur. OECD menyatakan bahwa kemajuan teknologi komunikasi-informasi dan transportasi akan memfasilitasi peluang investasi asing dan perdagangan menuju pengembangan jaringan produksi internasional. Hal ini tentunya dapat memperkuat jaringan ekspor dan membuat sektor manufaktur Indonesia lebih produktif di masa mendatang.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.