Oleh: Kadek Rama Maheswara Putra, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Saat ini banyak perusahaan di Indonesia yang bertransaksi dengan perusahaan asing. Salah satu jenis transaksi yang sering ditemukan adalah pemanfaatan jasa manajemen dengan imbalan yang dikenal sebagai management fee. Atas seluruh pembayaran yang dilakukan ke luar negeri, seharusnya dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% dari total pembayaran bruto. Oleh karena adanya tax treaty maka atas pembayaran management fee tersebut dapat dikenakan pajak yang lebih rendah bahkan hingga 0%.

Dalam penerapan tax treaty di Indonesia, saat ini diatur dalam PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penghindaran Pajak Berganda. Aturan tersebut merupakan pengganti dari aturan sebelumnya yaitu PER-10/PJ/2017. Beberapa perubahan yang ada pada intinya menyederhanakan administrasi dan memperkuat posisi negara dalam mengatasi penyalahgunaan tax treaty atau yang menggunakan benefit tax treaty bukanlah Beneficial Owner demi penerimaan negara yang maksimal.

Sebagian besar contoh kasus penghindaran pajak selalu melibatkan unsur asing di dalamnya, namun demikian masih saja terdapat celah untuk dapat menghindari pajak dengan memanfaatkan atau dengan maksud dan tujuan tertentu mendirikan entitas perusahaan dalam negeri dalam rangka menghindari pajak yang lebih besar di satu negara atau agar tidak dikenakan pajak di dua negara (double non taxation). Lebih mendalam dapat digambarkan melalui contoh kasus sebagai berikut:

Landasan Teori dan Dasar Hukum

1)      Gambaran Umum Correspondent Banking

Setiap Bank tidak akan selalu memiliki kemampuan untuk membuka cabang diberbagai negara dengan alasan biaya yang tinggi dan efektivitas operasional. Melakukan kerjasama dengan Bank-Bank domestik dalam suatu negara melalui perjanjian korespondensi, adalah solusi terbaik untuk meminimalisir biaya-biaya besar seperti layaknya membuka cabang sendiri di negara lain.

Defininsi Correspondent Banking menurut FATF[1] Glossary adalah

“Correspondent banking is the provision of banking services by one bank (the
“correspondent bank”) to another bank (the “respondent bank”). Large
international banks typically act as correspondents for thousands of other banks
around the world. Respondent banks may be provided with a wide range of
services, including cash management (e.g. interest-bearing accounts in a variety of
currencies), international wire transfers, cheque clearing, payable-through
accounts and foreign exchange services.”

Tujuan Correspondent Banking itu sendiri adalah

“as correspondent banking is an important means of facilitating cross-border movements of funds, and enabling financial institutions to access financial services in different currencies and foreign jurisdictions, thereby supporting international trade, charitable giving, commerce and remittances flows, all of which contributing to promoting financial inclusion.”

2)      Aturan yang mengatur mengenai Crossborder Correspondent Bank di Indonesia

Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012 Tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang Dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum mengatur mengenai beberapa hal terkait correspondent banking sebagai berikut

Pasal 1 poin 18

‘’Correspondent Banking adalah kegiatan suatu bank (correspondent) dalam menyediakan layanan jasa bagi bank lainnya (respondent) berdasarkan suatu kesepakatan tertulis dalam rangka memberikan jasa pembayaran dan jasa perbankan lainnya.’’

Pasal 1 poin 19

“Cross Border Corespondent Banking adalah Correspondent Banking di mana salah satu kedudukan bank corespondent atau bank respondent berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia.’’

Pasal 36

Bank Pengirim yang menyediakan jasa Cross Border Correspondent Banking wajib:

a)      mendokumentasikan seluruh transaksi Cross Border Correspondent Banking;

b)      menolak untuk berhubungan dan/atau meneruskan hubungan Cross Border Correspondent Banking dengan shell bank; dan

c)       memastikan bahwa Bank Penerima dan/atau Bank Penerus tidak mengijinkan rekeningnya digunakan oleh shell bank pada saat mengadakan hubungan usaha terkait dengan Cross Border Correspondent Banking.

 

Contoh Kasus

A.      Para Pihak yang bertransaksi

1)      PT. A merupakan sebuah Hotel, berdomisili di Uluwatu, Bali

2)      PT. W merupakan Perusahaan Jasa Konsultasi dan Manajemen, berdomisili di Denpasar, Bali. Dengan daftar pemegang saham sebagai berikut:

·         ABC Hotel Group Pte. Ltd. merupakan perusahaan operator hotel jaringan internasional sebagai pemegang saham 98% PT. W, Berdomisili di Singapore

·         Mr. X adalah pemegang saham 2% PT W, yang berdomisili di Amerika Serikat.

B.      Skema Transaksi

1)      PT. W mengeluarkan invoice atas jasa manajemen berupa management fee kepada PT. A sebesar 2 Milyar Rupiah

2)      PT. A melakukan pembayaran management fee ke PT. W atas invoice jasa manajemen sejumlah 2 Miliar Rupiah setiap bulan

3)      Atas pembayaran management fee tersebut dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 2% oleh PT. A dan diberikan bukti potong kepada PT. W

4)      Saat diteliti dalam invoice ditemukan ada klausul sebagai berikut:

Please remit payment to :

Beneficiary Name            : PT. W

Beneciary Bank               : PT. Bank ABC (Cabang Denpasar)

Beneficiary Account        :228783772XXX untuk mata uang USD

                                        987654321XXX untuk mata uang Rupiah

Beneficiary Address        : ……….. Denpasar

Telephone Number        : 0361-…………

Correspondent Bank     : The Bank of New York

Swift Code                     : AAAXXX            

5)      Selanjutnya dalam laporan SPT PPh Pasal 23/26 PT. W, terdapat transaksi dengan pemegang sahamnya mayoritasnya sendiri yaitu ABC Pte. Ltd yang berdomisili di Singapore atas pembayaran PPh Pasal 26 dengan tarif 0%. Pemotongan 0% itu terjadi karena memanfaatkan pasal mengenai Business Profit tax treaty Indonesia – Singapore atas dasar management fee yang pemberian jasanya tidak dilakukan di Indonesia dan tidak melalui BUT di Indonesia.

6)      ABC Pte. Ltd telah melengkapi syarat administratif kepada PT W berupa form DGT 1 dilengkapi Certificate of Residence negara Singapura yang telah ditandasahkan oleh KPP tempat dimana PT W. terdaftar.

7)      Ditemukan fakta bahwa PT. A dikelola oleh manajemen operator hotel internasional ABC Pte. Ltd sebuah perusahaan dimana PT. W adalah pemegang saham mayoritas sebesar 98%.

8)      Dari skema transaksi ini sebenarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa antara PT. A, PT. W, dan ABC Ltd adalah perusahaan dengan hubungan istimewa atau Associated Enterprise.

Analisis

1.       Sehubungan dengan jasa cross border correspondent bank

Berdasarkan skema transaksi di atas, sekilas memang tidak ada masalah sama sekali, namun perhatikan klausul remit to dan correspondent Bank atas nama Bank of New York. Yang perlu menjadi pertanyaan adalah mengapa terdapat keterangan Correspondent Bank. Dari pernyataan tersebut maka dimungkinkan adanya pembayaran langsung ke Bank of New York dari Bank ABC sesuai dengan jasa yang ditawarkan dari konsep correspondent bank itu sendiri yaitu “Correspondent banking plays a key role in global trade and economic activity, enabling domestic and cross-border payments, including remittances, and supports international trade and cross-border financial activity,” according to the 2017 International Chamber of Commerce (ICC) report Rethinking Trade and Finance.

2.       Sehubungan dengan penggunaan tax treaty Indonesia-Amerika

Kemungkinan besar Beneficial Owner dari PT. W adalah individu atau perusahaan yang berdomisili di Amerika Serikat. Mengingat juga bahwa kedua pemegang saham PT W adalah seluruhnya berdomisili di luar Indonesia. Sehingga seharusnya treaty Indonesia – Singapura tidak dapat diterapkan dalam hal ini dan tarif 20% atas dasar transaksi bukan dengan Beneficial Owner harus ditegakan sesuai dengan Pasal 26 UU PPh. Jika ingin menerapkan tax treaty maka pastikan dokumen kelengkapan untuk menerapkan tarif tax treaty disesuaikan dengan Beneficial Owner dari wajib pajak luar negeri penerima penghasilan di Amerika Serikat.

3.       Sehubungan dengan penggunaan tax treaty Indonesia – Singapura

Karena Singapura memiliki aturan domestik yang menyatakan bahwa setiap penghasilan yang diperoleh dari luar negeri (foreign source income) atas jasa tidak akan dikenakan pajak di Singapura. Di Indonesia, setiap transaksi atas jasa tidak akan dipajaki di Indonesia sepanjang tidak melampaui time test. Hal ini yang menyebabkan banyak perusahaan multinasional yang berlomba-lomba ingin memanfaatkan kondisi yang kemudian akan menguntungkan namun melalaikan kewajiban perpajakan yang ada. Tidak dipajaki di Indonesia, tidak dipajaki juga di Singapura (Double non taxation).

Kesimpulan

1.       Setiap invoice yang terbit dan dibayarkan harus sepenuhnya langsung ke Beneficial Owner yang bersangkutan. Ketika PT. A melakukan pembayaran ke PT. W seharusnya dapat dilacak melalui keterangan data yang dimiliki bank yang memiliki jasa korespondensi apakah kemudian diteruskan ke Bank of New York atau tidak. Jika diteruskan maka seharusnya pajak yang dikenakan bukan PPh Pasal 23 sebesar 2 % melainkan PPh Pasal 26 sebesar 20%. Jadi jika selama ini transaksi dari PT A langsung dinikmati wajib pajak luar negeri dari Bank ABC melalui correspondent bank Bank of New York, maka negara telah kehilangan potensi penerimaan pajak yang seharusnya pemotongan 20% menjadi hanya 2% saja. Hitungan kasarnya jika setiap bulan PT A melakukan pembayaran management fee sebesar 2 Miliar ke PT W, hanya dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2% jadi 40 Juta disetor ke Negara sisanya adalah penghasilan ABC Pte. Ltd. Dalam setahun negara hanya mendapatkan 480 Juta. Jika dipotong 20% maka setiap bulan seharusnya dipotong 400 Juta setiap bulan dan jika disetahunkan negara akan memperoleh 4,8 Miliar. Atau negara telah rugi 4,32 Miliar

2.       Tetap mengacu pada substansi kegiatan management fee juga penting unutk dilakukan karena terkadang bentuk jasa manajemen memiliki karakteristik sama dengan royalti, sehingga pasal business profit tax treaty Indonesia – Singapura tidak bisa diterapkan melainkan transaksi berupa royalti. Jika dikategorikan sebagai royalti, maka negara sumber (Indonesia) berhak memajaki melalui proses pemotongan/pemungutan sesuai dengan tariff maksimum yang telah ditetapkan.

3.       Sesuai dengan pasal 36 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012, maka Fiskus seharusnya dapat mendeteksi setiap transaksi melalui permohonan keterangan data atas setiap transaksi Bank ABC dengan mitra cross border correspondent banking yang dimiliki, sehingga dapat menjadi dasar penegnaan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Saran

Setiap klausul yang ada dalam invoice harus diperhatikan dan ketentuan mengenai Beneficial Owner atas penerima penghasilan juga harus menjadi fokus pemotong pajak. Jika terdapat kesalahan dalam melakukan pemotongan maka kedepannya dapat menjadi koreksi fiskal atas transaksi tersebut.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja. 

[1] The Financial Action Task Force (FATF) is an independent inter-governmental body that develops and promotes
policies to protect the global financial system against money laundering, terrorist financing and the financing of
proliferation of weapons of mass destruction. The FATF Recommendations are recognised as the global anti-money
laundering (AML) and counter-terrorist financing (CFT) standard.