Bhima, Tirtha Prawidhi dan Pajak

 

Oleh: Gede Suarnaya, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Siapa yang tidak mengenal Bhima? Iya, Bhima adalah putra kedua Panca Pandawa dalam kisah Wiracarita Mahabharata. Bhima dikenal paling kuat badannya di antara saudara-saudaranya yang lain. Bahkan, tak ada satupun Kurawa yang mampu melawan atau menandingi kekuatan Bhima.

Suatu ketika saat para Kurawa sedang bermain di atas sebuah pohon besar, Bhima datang dengan kekuatannya menggoyang-goyang pohon itu. Akibatnya, para Kurawa terpelanting berjatuhan, babak belur dan lari tunggang-langgang. Dari sinilah asal muasal, bibit kebencian anak-anak Kurawa tumbuh terhadap Bhima. Terlebih lagi, setelah mereka dewasa, rasa iri, dengki, dan kebencian terhadap Bhima makin menjadi-jadi.

Sakti Berkat Racun dan Bisa

Duryodhana, kakak tertua Kurawa bersama adik-adiknya berkali-kali mengatur siasat untuk menghabisi Bhima. Pertama, Duryodhana berusaha menenggelamkan Bhima di Sungai Gangga dan berhasil meracuni Bhima. Bhima yang hanyut di sungai, sekujur tubuhnya dipatuki ular berbisa. Berkat lindungan Dewata, “bisa” ular-ular itu malah melawan racun-racun yang dimasukkan ke dalam tubuh Bhima. Alhasil, bisa ular menjadi obat penawar racun Duryodhana. Bhima akhirnya selamat.

Mengetahui Bhima masih hidup, iri hati dan dengki Duryodhana makin menjadi-jadi. Setelah usaha pertama gagal, Duryodhana meminta bantuan Guru Drona untuk memusnahkan Bhima. Menuruti keinginan Duryodhana, Guru Drona sengaja mengutus Bhima mencari tirtha Prawidhi atau air suci kehidupan. Guru Drona paham betul betapa sulitnya mencari dan menemukannya.

Singkat cerita, Bhima kemudian berangkat menjelajahi hutan, mendaki gunung, dan menuruni lembah di kaki Gunung Candramukha yang wingit. Hewan buas, raksasa, bahkan setan atau jin pun tak mampu menghalaunya. Bhima kemudian bertemu dan berduel dengan dua raksasa sakti Rukmukha dan Rukmakhala yang tiada lain merupakan jelmaan Batara Indra dan Batara Bayu. Kedua raksasa itu berhasil dikalahkan. Selepas itu, Bhima kemudian menghadapi naga raksasa Anantaboga yang perkasa. Lagi-lagi lawannya mampu ia kalahkan. Berkat petunjuk naga Anantaboga yang merupakan jelmaan Dewi Maheswari, Bhima mendapatkan petunjuk keberadaan tirtha prawidhi di dasar samudra raya.

Bergegas Bhima menuju samudra selatan, digambarkan penuh dengan tantangan, dengan gelombang bergulung-gulung setinggi gunung. Lagi-lagi, Bhima harus menghadapi ujian berat karena harus berhadapan dengan naga besar Nawatnawa yang terkenal dengan racun bisa yang menyembur bagai hujan. Namun, dengan keajaiban dewata dengan apa yang dialami Bhima ketika tenggelam di Sungai Gangga, Bhima menjadi sakti berkat racun dan bisa. Alhasil, naga perkasa Nawatnawa berhasil dibinasakan.

Akhirnya, selepas pertarungan sengit itu, Bhima akhirnya bertemu dengan Dewa Ruci. Dari Dewa Rucilah Bhima memperoleh pencerahan. Bhimasena akhirnya tersadar bahwa dirinya telah menemukan apa yang dicarinya, yaitu tirtha prawidhi, air suci atau air kehidupan, yang melambangkan hakikat dirinya dan alam semesta. Demikianlah sedikit kisah perjuangan Bhimasena yang kita kenal dalam epos Mahabharata. Kisahnya relevan menjadi suluh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.

Pertama, kearifan dari kisah wiracarita ini adalah terlihat kegigihan Bhima dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Gurunya. Meski berbagai rintangan dan cobaan yang datang silih berganti, di balik semua itu terkandung pesan moral. Berbagai cobaan berat yang mengujinya ternyata membuat sang Bhima semakin kuat, ikhlas, dan tabah dalam menjalani tugasnya mencari air kehidupan hingga mencapai keberhasilan.

Sebagaimana Bhima, Direktorat Jenderal Pajak dalam menjalankan tugas mengumpulkan penerimaan negara juga menghadapi berbagai macam ujian berat untuk mencapainya. Tugas yang tak main-main karena menyangkut kemaslahatan rakyat dan negara. Di tengah semangat reformasi pajak, ada saja ujian-ujian integritas yang berpotensi menggerus kepercayaan publik. Maka, penting untuk diingat bahwa nilai-nilai kejujuran dan integritas harus menjadi pegangan kuat dalam menjalankan tugas apa pun.

Kasus yang terjadi belakangan membuka memori akan kasus-kasus ujian integritas yang menimpa otoritas pajak. Sejarah yang berulang seyogianya menjadikan kejadian tersebut sebagai pelajaran berharga kepada kita semua bahwa instropeksi diri diperlukan agar kita bisa melihat tantangan yang dihadapi khususnya godaan sifat angkara murka, kerakusan, ketamakan, serta korupsi, ada dari dulu hingga sekarang. Ungkapan yang pas kira-kira dalam bahasa Perancis yaitu L’histoire se repete atau “sejarah itu berulang” bermakna bahwa sejarah perlu kita pelajari agar kejadian-kejadian serupa tak terulang Kembali.

Di lain sisi, semua ujian itu harus menjadikan hal ini momentum perbaikan secara menyeluruh di seluruh institusi publik negeri ini. Sehingga, kesadaran ini mampu memberikan kekuatan untuk menghadapi ujian, serta tabah dan ikhlas dalam melaksanakan tugas mengumpulkan penerimaan negara.

Di samping itu, solidaritas dan esprit de corps insan Kementerian Keuangan juga harus semakin kuat. Dengan demikian, selaras dengan pesan Wakil Menteri Keuangan, perbaikan ini harus mampu memberikan dampak positif agar pengelolaan keuangan negara tetap terjaga dan dikelola oleh pegawai yang perilakunya baik.

Filosofi Air

Kedua, mengutip laman forestdigest, filosofi air yang disampaikan oleh Raymond Tang dalam TedTalk berjudul Be Humble-and other lessons from the philosophy of water salah satunya adalah kerendahan hati (humble), air selalu mengalir di tempat yang rendah, merunduk dari yang lain. Dia menolong semua tanaman untuk bertumbuh, menjaga binatang tetap hidup. Air tidak menarik perhatian untuk dirinya sendiri, tidak pula membutuhkan penghargaan atau pengakuan. Hanya kerendahan hati.

Tirtha prawidhi atau air kehidupan yang diperjuangkan Bhimasena relevan dengan konteks bangsa kita terutama dalam menghadapi pandemi dan kondisi perekonomian global yang serba tak menentu. Bahwa, tirtha prawidhi sebagai air kehidupan sangat dekat dengan peran pajak yang nyata hadir di masyarakat. Peran pajak sebagai wujud sistem gotong royong membiayai pembangunan bangsa demi kemaslahatan seluruh rakyat secara merata dan adil tanpa kecuali.

Masyarakat tentu masih ingat bahwa, bagaimana suasana batin ketika pandemi melanda sejak 2020 lalu. Belanja negara melalui APBN digunakan untuk melindungi masyarakat dari guncangan ekonomi, terutama dalam bentuk subsidi dan kompensasi energi serta program perlindungan sosial. Berbagai insentif pajak diberikan untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi nasional, menjaga roda perekonomian terus berputar agar usaha masyarakat tak gulung tikar, menjaga masyarakat tetap sehat dan selamat menghadapi pandemi Covid-19.

Kita semua setuju, air tidak bisa lepas dari kehidupan mahluk hidup. Fakta bahwa dua per tiga permukaan bumi terdiri dari air. Bahkan, komponen tubuh kita 60%-70% juga terdiri dari air, memberikan kesadaran akan pentingnya air sebagai sumber kehidupan. Maka, kita bisa membayangkan kengerian apa yang akan terjadi ketika pasokan air tiba-tiba terhenti?  Demikian halnya dengan pajak sebagai urat nadi bangsa, 80% penerimaan negara berasal dari pajak, tak bisa rasanya membayangkan apa yang terjadi jika pajak benar-benar terhenti?

Tantangan ketidakpastian ekonomi sudah di depan mata, maka perjuangan untuk mengumpulkan penerimaan negara bukanlah tugas mudah. Diperlukan dukungan semua elemen masyarakat untuk bahu-membahu bergotong-royong bersama-sama  dalam pembangunan. Alih-alih sebagai beban, maka sikap taat dan patuh pajak harus dipahami sebagai kewajiban berbangsa dan bernegara.

Sama halnya dengan pertahanan wilayah, maka penting kekuatan keuangan negara harus dijaga kemanannya dengan menguatkan ketahanan pajak (fiskal). Kekuatan pajak kini menjelma sebagai Pertahanan Nirmiliter. Maka, ketahanan pajak sama pentingnya dengan ketahanan wilayah (Panca Mugi Priyatno, 2019). Kekuatan pajak telah menjadi bukti bagi negara-negara adidaya menjadi negara yang disegani. Pajak yang kuat  mampu melindungi kedaulatan bangsa melalui alutsista yang kita beli dari uang pajak.

Akhirnya, dengan peran serta rakyat, pajak sebagai tirtha prawidhi atau air kehidupan bisa terwujud. Pajak mampu memberikan kesejukan, menjaga semua elemen kehidupan sekitar berjalan dengan harmonis dan damai. Selalu mengalir ke bawah memberi manfaat ke sesama mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.  

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.