Berkaca pada Vietnam

Oleh: Riza Almanfaluthi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Menyadari kekurangan pangan dan inflasi, Vietnam meluncurkan program Doi Moi (renovasi) pada 1986. Caranya dengan membuka sektor swasta dan investasi asing besar-besaran. Efeknya dahsyat.
Selama periode 1990 sampai 2000, ekonomi Vietnam menjadi dua kali lipat. Tetapi ada yang salah di sana: pemasukan negara malah turun. Rasio pajak pada 2000 menjadi 14,8%. Walaupun tetap lebih tinggi daripada rasio pajak Indonesia di tahun yang sama.
Muncullah tekanan kuat agar General Department of Taxation (GDT)—lembaga pajak di bawah Kementerian Keuangan Vietnam—mereformasi dirinya. Ada dua alasan lain: kebutuhan untuk menutupi biaya pembangunan infrastruktur dan program kesejahteraan sosial serta hilangnya potensi pabean dari diterapkannya perjanjian bilateral Vietnam dengan Amerika Serikat dan sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia.
Studi kasus bertitel Keeping up with Growth: Building a Modern Tax Administration in Vietnam, 2004-2015 yang ditulis Leon Schreiber dan baru diterbitkan pada Agustus 2018 oleh Princeton University meringkas perjalanan reformasi perpajakan Vietnam dalam kurun waktu itu.
Cerminan pas untuk Indonesia—sebagai negara dalam satu zona geografi yang sama, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak yang sedang menjalankan reformasi perpajakan jilid tiganya.
Identifikasi Luka
Hanya sekitar 1000 orang yang membayar pajak sebelum 1986. Pada 2005 hanya dua juta wajib pajak terdaftar dari total populasi 80 juta orang. Hanya 37% dari 3,3 juta bisnis yang terdaftar di GDT. Hanya 637 pembayar pajak terbesar yang menyumbang lebih dari 70% total pendapatan domestik. Ini gambaran awal kepatuhan wajib pajak di Vietnam.
Vietnam memulai reformasi pajaknya awal 2004. Sedangkan Indonesia mengawali lebih dini dengan meluncurkan Program Reformasi Birokrasi pada 2000 dan Reformasi Perpajakan Jilid Pertama pada 2002.
Mereka memulai mengidentifikasi permasalahan utama yang menjadi borok penggerusan penerimaan negara. Pertama, sempitnya basis data. GDT tak memiliki pajak penghasilan atas orang pribadi dan mengumpulkan pajak kekayaan pada segelintir orang kaya.
Kedua, GDT tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) tunggal yang digunakan wajib pajak untuk semua jenis pajak. Masing-masing jenis pajak memiliki nomor pokoknya sendiri-sendiri. Efeknya tidak ada profil tunggal untuk mengawasi wajib pajak. Ini relevan dengan struktur unit GDT yang terpecah-pecah.
Ketiga, tidak ada sistem informasi yang dijalankan mengakibatkan pengadministrasian pajak menjadi rumit karena masih berbasis kertas dan manual. Jelas tidak bisa menangani wajib pajak yang semakin banyak.
Keempat, minimnya sumber daya manusia baik dalam kuantitas maupun kualitas serta ketiadaan standar pelatihan. Kelima, prosedur pajak yang tidak jelas. Ini terkait pula dengan rendahnya pengetahuan wajib pajak terhadap perundang-undangan. Kesemuanya bermuara pada ketidakpatuhan pajak.
Ditambah stigma negatif masyarakat Vietnam terhadap pajak. GDT masih dianggap sebagai lembaga korup dan warisan masa lampau ketika penguasa Prancis—sebelum Vietnam merdeka di 1954—menarik pajak dengan tarif tinggi.
Reformasi Pajak Pertama
Pada Desember 2004 Pemerintah Vietnam menyetujui proposal reformasi pajak GDT dalam waktu 2005 sampai 2010. Banyak strategi yang diterapkan seperti mengubah sistem pemajakan yang selama ini berlaku menjadi Self Assessment System. Indonesia melakukan ini 20 tahun sebelumnya.
Strategi lainnya GDT membuat kantor pajak percontohan dengan struktur kantor berdasarkan fungsi dan bukan jenis pajak. Tetapi untuk memperluas cakupan ke seluruh kantor pajak baru bisa dilakukan jika Majelis Nasional (DPR Vietnam) mengubah terlebih dahulu dasar hukum pemajakannya.
Baru setelah itu ada, GDT akan dapat merombak proses bisnis pada 758 kantor pajaknya, membuat sistem basis data elektronik, memulai pelatihan pegawai, dan meningkatkan kesadaran pajak.
Pada 1 Juli 2007, terbitlah Undang-undang (UU) administrasi pajak baru yang membuat GDT mampu menerbitkan NPWP tunggal, mengharuskan bank komersial berbagi informasi kepada GDT, dan melegalkan industri konsultan pajak.
Tak kalah penting, terbitlah UU Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi yang mulai berlaku 1 Januari 2009 menggantikan pajak kekayaan dengan tarif paling rendah 5%.
Lalu pada 2008, Majelis Nasional mengubah UU PPh Badan dengan menurunkan tarif pajak menjadi 25%, mengharuskan pengembang real estat membayar pajak perusahaan berdasarkan nilai tanah dan bukan luas lahan, serta memberikan konsesi kepada perusahaan besar.
Majelis Nasional juga menurunkan tarif PPN untuk berbagai jenis produk. Terkait UMKM, jika omzet di bawah US$5.800 dalam setahun mereka diberikan pembebasan PPN. Jika di atas US$5.800 sampai US$58.000 setahun, maka mereka tidak diharuskan melakukan pembukuan dan hanya dikenakan tarif 1%. Tarif lainnya dikenakan untuk UMKM yang bergerak di bidang tertentu. Dampaknya, jutaan UMKM masuk dalam basis data GDT.
GDT merombak struktur organisasi kantor pajak berdasarkan fungsi dengan memberikan layanan satu pintu kepada wajib pajak, mengurangi banyak titik interaksi antara wajib pajak dan pegawai pajak, dan mengembangkan sistem penilaian risiko terhadap wajib pajak (semacam Compliance Risk Management).
Sistem teknologi informasi terintegrasi menjadi kebutuhan mendesak. Pada 2006, GDT meminta bantuan Bank Dunia untuk bekerja sama dalam menciptakan sistem tersebut. Sebelumnya Bank Dunia berhasil membantu Bea Cukai Vietnam dalam meluncurkan perangkat lunak basis data.
Namun proyek senilai US$ 80 juta itu gagal karena proses tender melampaui tenggat yang telah ditentukan. Kebuntuan pada isu berkisar kompleksitas sistem, kualifikasi perusahaan, bobot harga, dan metodologi evaluasi penawaran.
Akhirnya pada 2007, GDT membeli Tax Management Systems (TMS) yang dibuat oleh perusahaan perangkat lunak terbesar di Vietnam. Sistem baru itu mulai digunakan pada 2009 untuk mengelola basis data perpajakan.
Dengan dibayangi risiko tambal sulam perangkat lunak, di tahun-tahun berikutnya GDT mulai meluncurkan pelaporan PPN elektronik, restitusi PPh elektronik, dan e-Filing.
Pada tahapan reformasi perpajakan jilid pertama ini, kode etik pegawai mulai diterapkan dengan meningkatkan fungsi audit internal, pembentukan tim komunikasi (humas), dan pemusatan pelatihan pegawai agar lebih terstandardisasi. Selain bekerjasama dengan Bank Dunia dan JICA dalam membuat sistem pelatihannya.
Tiga Masalah Tertinggal
Reformasi perpajakan jilid dua mulai diagendakan kembali dari 2011. Direncanakan sampai 2020. Di sana GDT mulai mengenalkan layanan faktur pajak elektronik dan mengubah ketentuan pelaporan PPN yang mulanya bulanan menjadi tiga bulanan.
Pada saat itu GDT memiliki 44 ribu pegawai untuk melayani 55 juta wajib pajak. Artinya satu pegawai GDT melayani 1250 wajib pajak. Rasio ini jelas melebihi Korea Selatan (1421), Afrika Selatan (1.486), dan Amerika Serikat 1.621).
Pada periode inilah masalah itu muncul akibat dari pemberlakuan ketentuan sebelumnya. Pertama, terkait insentif pajak yang berlebihan untuk menarik investasi asing. Strategi ini memang berhasil menggaet investor, namun pada akhirnya menghambat perusahaan lokal. Mereka tak mampu bersaing di negeri sendiri. Selain itu insentif malah menggerus penerimaan pajak sebesar 1,85%.
Kedua, penerapan pajak UMKM memang mudah secara administrasi, namun gampang disalahgunakan. Para pelaku UMKM tetap berusaha pada level yang tidak dikenakan pajak atau cukup 1% saja. Selain masalah UMKM yang masih bergantung kepada petugas pajak untuk menghitung pajak terutang yang mengakibatkan interaksi berkelanjutan. Ketiga, pergeseran laba perusahaan multinasional.
Tiga masalah ini tertinggal, namun tidak memungkiri keberhasilan reformasi pajak: peningkatan pesat pendapatan negara yang berimbas pada tingginya rasio pajak, pertambahan jumlah berjuta-juta wajib pajak, dan peningkatan peringkat kemudahan berbisnis dari 104 di 2007 menjadi 79 pada 2015.
Dari perjalanan itu studi kasus tersebut mencatat bahwa kunci keberhasilan reformasi perpajakan Vietnam terletak pada pemangku kepentingan yang memiliki “sense of crisis” untuk melihat sistem perpajakan lama sudah tidak mampu lagi menangani keadaan dan tekad kuat untuk berubah, serta ketepatan memilih pemimpin GDT yang reformis.
Direktorat Jenderal Pajak dihadapkan pada situasi yang sama. Terutama pada pergeseran laba yang dilakukan perusahaan multinasional, walaupun skema UU Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan dan program pertukaran informasi secara otomatis sudah mulai dijalankan.
Terkait pula dengan mulai dijalankannya skema memasukkan sebanyak-banyaknya pelaku UMKM dalam sistem pajak dengan penurunan tarif menjadi 0,5%. Selain itu, titik krusialnya pada jaminan agar tender proyek pengadaan Sistem Teknologi Informasi Administrasi Pajak Baru senilai Rp3,3 triliun tetap berjalan sesuai jadwal.
Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan yang mulai berlaku 8 Mei 2018 menjadi “titik tak boleh kembali” untuk selamat sampai tujuan atau rasio pajak yang tetap berada di titik nadirnya.
Dari Vietnam kita bisa berkaca.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.
- 1823 kali dilihat