Bagaimana Jika Indonesia Menerapkan Fat Ta?
![](/sites/default/files/styles/max_650x650/public/2023-03/FAT-TAX.jpg?itok=oR3rPtPu)
Oleh: Muhammad Rayhan Safhara, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Men sana in corpore sano “di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat”, begitulah kutipan pepatah latin yang sering kita dengar tentang kesehatan. Memiliki jiwa dan fisik yang sehat merupakan impian hampir setiap individu karena dengan bekal tersebut berbagai prestasi dapat diraih.
Hal itu dibenarkan oleh pernyataan ahli yang mengatakan bahwa kesehatan merupakan suatu bentuk keseimbangan antara individu (sebagai inang), agents (seperti bakteri, virus, dan toksin), dan lingkungan, sehingga interaksinya menciptakan kondisi yang sejahtera (Fretman, & Allenswoth, 2010).
Ironisnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengaku khawatir dengan angka pengidap obesitas di Indonesia yang terus meningkat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kelebihan berat badan dan obesitas sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan.
Berdasarkan data Kemenkes, satu dari tiga orang dewasa Indonesia mengalami obesitas, bahkan satu dari lima anak berusia lima hingga dua belas tahun juga mengalami kelebihan berat badan dan obesitas. Obesitas di Indonesia meningkat dengan angka yang mengkhawatirkan. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi obesitas di kalangan orang dewasa Indonesia meningkat hampir dua kali lipat dari 19,1 persen pada 2007 menjadi 35,4 persen pada 2018.
Bagaimana angka tersebut dapat meningkat secara drastis? Faktor utamanya adalah gaya hidup. Pola makan yang buruk, tidak berolahraga, serta konsumsi makanan yang tinggi gula dan kalori menjadi variabel penentu penyebab obesitas. Hampir setiap negara di dunia mengalami permasalahan ini. Namun, hanya beberapa negara yang melakukan upaya nyata untuk memerangi epidemik tersebut.
Fat Tax di beberapa negara
Konsep fat tax pertama kali diusulkan setelah peristiwa Pearl Harbor pada tahun 1942 oleh psikolog Amerika Serikat bernama AJ Carlson. Psikolog tersebut mengajukan proposal pengenaan pajak untuk setiap kelebihan berat badan agar tentara yang berperang mendapatkan subsidi biaya pangan dan perawatan dari penerimaan pajak.
Salah satu negara di Asia, Jepang ternyata telah memberlakukan pajak atas kelebihan berat badan pada tahun 2008 yang dikenal dengan sebutan “Metabo tax”. Pemerintah mengharuskan pemilik bisnis untuk mengukur pinggang seluruh pegawai secara berkala. Apabila perusahaan dan pemerintah daerah tidak dapat memenuhi standar yang telah ditentukan, pemerintah negara tersebut akan mengenakan denda pajak. Hal ini bertujuan untuk menurunkan angka obesitas sebesar 25 persen. Namun, pada tahun 2021 angka penderita obesitas hanya berkisar 4,3 persen yang menjadi indikator bahwa kebijakan fat tax membuahkan hasil menakjubkan.
Menariknya, Jepang bukan satu-satunya negara di Asia yang memberlakukan fat tax sebagai kebijakan untuk mengendalikan angka obesitas pada masyarakatnya. Pemerintah India mengusulkan pajak sebesar 14,5 persen pada anggaran pemerintahan tahun 2016 untuk makanan tertentu seperti burger, piza, dan junk food yang dijual oleh perusahaan besar di antaranya McDonalds, BurgerKing, PizzaHut, Domino’s Pizza, dan Subway.
Sama halnya dengan India, negara dengan rasio pajak berkisar 45,9 persen (OECD 2016) yaitu Denmark, juga telah mengenakan fat tax pada tahun 2011. Kebijakan ini dikenakan pada makanan olahan yang mengandung lebih dari 2,3% lemak jenuh. Keju, mentega, susu, pizza, daging, dan minyak juga terdampak kebijakan tersebut.
Namun, tidak lama berselang, pada tahun 2012 pemerintah Denmark mengumumkan untuk menghapus fat tax dari negaranya. Penghapusan kebijakan ini dilatarbelakangi oleh tidak berubahnya kebiasaan konsumsi makanan tidak sehat, terjadinya peningkatan impor, serta terancamnya keberlangsungan bisnis sebagian besar perusahaan dan outlet makanan di negara tersebut.
Walaupun fat tax tidak berhasil mengubah kebiasaan konsumsi secara menyeluruh, tetapi terdapat tujuan jangka pendek yang berhasil dicapai. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Universitas Oxford dan Copenhagen, terjadi peningkatan konsumsi makanan rendah lemak, buah, dan sayuran sebagai respons dari kebijakan yang diberlakukan. Di samping itu, terdapat peningkatan penerimaan pajak negara Denmark sekitar $216 Juta.
Penerapan Fat Tax di Indonesia
Ada dua fungsi pajak menurut Mardiasmo (2016:4), yang pertama yaitu fungsi bujeter sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dan kedua berupa fungsi mengatur (regulerend) yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Dalam hal ini, tentu fat tax berperan sesuai dua fungsi tersebut dengan menyumbang penerimaan melalui pajak atas makanan tidak sehat dan mengatur tingkat kesehatan masyarakat di suatu negara.
Pertanyaannya, bagaimana penerapan dan implementasi fat tax atau tax on food di Indonesia? Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menyebutkan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan barang kena pajak (BKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha dan impor barang kena pajak. Jadi pada dasarnya seluruh penyerahan dan impor BKP dikenakan PPN kecuali yang dikecualikan pada pasal 4A ayat (2) UU PPN.
Melalui UU HPP yang disahkan pada 29 Oktober 2021, pemerintah menghapus pengecualian pengenaan PPN terhadap kebutuhan pokok yang menurut penjelasan UU terkait di antaranya berupa beras, garam, daging, dan susu. Namun demikian, penyerahan kebutuhan pokok tersebut mendapat fasilitas PPN dibebaskan sebagaimana diatur dalam pasal 16B ayat (1a) huruf j UU PPN untuk mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis antara lain barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat banyak.
Hal tersebut menjadi indikasi bahwa pemerintah Indonesia memilih untuk menjalankan amanat UUD 1945 alinea keempat yaitu pemenuhan barang kebutuhan pokok yang merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya memajukan kesejahteraan umum serta menjadi kewajiban konstitusional negara untuk mewujudkannya.
Tidak berhenti sampai di situ, pemerintah ternyata telah menggunakan konsep yang sama dengan fat tax dalam mengendalikan kesehatan, serta tingkat obesitas di masyarakat. Saat ini, Indonesia mengenakan tarif cukai terhadap rokok dan alkohol untuk membatasi peredaran komoditas tersebut di masyarakat.
Kemudian, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga telah melakukan pembahasan mengenai UU cukai terhadap minuman berpemanis, bersoda, dan berkemasan plastik bersama komisi XI DPR. Usulan tersebut tidak semata untuk meningkatkan penerimaan negara namun juga sebagai wujud upaya pemerintah untuk menekan tingkat konsumsi masyarakat terhadap minuman yang berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan apabila limbah plastik terus bertambah.
Kebijakan ini dipandang cukup menguntungkan bagi Indonesia jika diberlakukan. Bila ditotal, potensi penerimaan negara dari pengenaan ’’fat tax’’ pada minuman berpemanis ini adalah 6,25 triliun pertahun yang akan difokuskan pada peningkatan fasilitas kesehatan. Di sisi lain, kebijakan ini juga didukung oleh WHO yang sedari awal mendorong semua negara untuk membuat kebijakan agar masyarakat mengubah pola hidup menjadi lebih sehat dengan salah satunya mengurangi minuman berpemanis yang berpengaruh buruk bagi kesehatan dan beresiko kematian.
Wacana ini masih menjadi pro kontra di masyarakat karena terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah di antaranya pertumbuhan ekonomi, serta penurunan penerimaan dari sektor PPh industri minuman berpemanis dan industri plastik.
Apakah Indonesia dapat mendulang kesuksesan seperti Jepang dalam menangani obesitas di masyarakat sekaligus meningkatkan penerimaan pajak seperti Denmark? Kembali kepada upaya pemerintah dalam membuat kebijakan, bukan?
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 600 kali dilihat