Adakah Debt Collector di Kantor Pajak?

Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Apakah kantor pajak memiliki debt collector? Apakah juru sita pajak merupakan debt collector? Pertanyaan seperti ini mengemuka menyusul pengalaman tidak menyenangkan dengan “debt collector pajak” yang dialami salah seorang figur publik kenamaan Indonesia. Lagi-lagi kritik pun dilayangkan pada institusi pajak di tanah air saat gelombang permasalahan yang belum kunjung usai dihadapi institusi penghimpun pajak negara ini.
Debt collector atau juru tagih utang menjadi istilah yang rasanya cukup familier bagi masyarakat. Biasanya profesi ini cukup akrab dengan dunia perbankan dan lembaga keuangan. Pihak lembaga keuangan dan perbankan tidak jarang menggunakan jasa pihak ketiga untuk menagih utang debitur yang dianggap lalai atau tidak melaksanakan kewajiban membayar angsuran utang sesuai perjanjian yang telah dilakukan sebelumnya. Pihak ketiga ini yang biasa dikenal dengan debt collector.
Dalam menagih utang debitur, pihak kreditur melalui debt collector berpegang pada jaminan fidusia yang merupakan perjanjian utang piutang antara kreditur dan debitur di hadapan notaris. Tanpa adanya jaminan fidusia, kreditur tidak memiliki hak untuk mengeksekusi atau menyita objek yang dijaminkan dalam perjanjian.
Berdasarkan pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Nomor. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selanjutnya pasal 15 ayat 3 menegaskan bahwa penerima fidusia atau pihak kreditur memiki hak untuk menjual benda jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri jika pihak debitur cedera janji.
Adanya ketentuan terkait jaminan fidusia ini yang menjadi latar belakang maraknya kasus penarikan kendaraan yang dilakukan oleh pihak leasing melalui debt collector. Dalam praktiknya, masih ada perbedaan pendapat mengenai teknis penarikan barang jaminan, apakah harus melalui pengadilan atau dapat dilakukan langsung oleh kreditur. Profesi debt collector pun menjadi identik dengan kekerasan, teror, intimidasi, dan pengancaman kepada debitur. Tidak jarang penarikan paksa dilakukan terhadap barang jaminan.
Juru Sita Pajak
Bagaimana dengan juru sita pajak? Jika hanya melihat arti harfiah, boleh jadi banyak yang beranggapan bahwa juru sita pajak dapat dipersamakan dengan debt collector karena sama-sama menjalankan fungsi penagihan. Namun, jika diselisik lebih mendalam, pelaksanaan tugas juru sita pajak sangat berbeda jika dibandingkan dengan pelaksanaan tugas debt collector.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, juru sita pajak merupakan sekelompok orang yang memiliki tanggung jawab sebagai pelaksana tindakan penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan, serta penyanderaan. Juru sita pajak adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat dan diberhentikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Juru sita pajak bukanlah pihak ketiga sebagaimana posisi debt collector terhadap kreditur lembaga keuangan.
Dalam melaksanakan tugasnya, juru sita pajak dibekali surat tugas dan identitas resmi. Tugas juru sita pajak dimulai dengan tindakan penagihan aktif berupa penyampaian surat paksa kepada wajib pajak atau penanggung pajak.
Dalam proses tindakan penagihan yang dilakukan oleh kantor pajak, ada tahapan yang harus dilalui. Salah menerapkan prosedur, maka petugas dan juru sita pajak akan rawan mendapat gugatan dari wajib pajak.
Tujuh hari setelah utang pajak jatuh tempo, terhadap wajib pajak diterbitkan dan dikirimkan surat teguran. Wajib pajak memiliki waktu empat belas hari untuk merespons surat teguran tersebut atau membayar utang pajak. Jika utang pajak belum lunas, juru sita pajak akan menerbitkan dan menyampaikan surat paksa. Surat paksa dibacakan di hadapan wajib pajak atau penanggung pajak. Wajib pajak memiliki waktu 2 x 24 jam untuk menanggapi dan melunasi utang pajak.
Jika wajib pajak belum melunasi utang pajak, penyitaan terhadap aset wajib pajak atau penanggung pajak dapat dilakukan. Namun, pelaksanaan penyitaan ini juga tidak dilaksanakan dengan kekerasan. Penyitaan dilakukan di hadapan para saksi dari pihak wajib pajak dan/atau aparat pemerintah daerah. Aset wajib pajak atau penanggung pajak yang disita kemudian akan melalui proses lelang setelah lewat waktu empat belas hari dari dilakukannya sita. Hasil lelang akan digunakan untuk membayar utang pajak.
Juru sita pajak memiliki kewenangan khusus dalam melakukan penagihan pajak. Surat paksa yang disampaikan pun memiliki kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun, pada praktiknya justru juru sita pajak yang kerap mendapatkan penolakan dan bahkan ancaman kekerasan dari wajib pajak.
Dalam kasus-kasus tertentu, juru sita pajak dapat meminta bantuan pendampingan dari aparat kepolisian dalam melaksanakan penagihan. Hal ini dilakukan bukan untuk menakut-nakuti wajib pajak atau penanggung pajak. Namun, ini semata-mata untuk menjamin keselamatan juru sita pajak dalam melaksanakan tugasnya.
Hal yang terjadi tujuh tahun lalu tentunya tidak diinginkan untuk kembali terjadi. Kala itu, seorang juru sita pajak gugur dalam melaksanakan tugas tindakan penagihan aktif kepada wajib pajak di Gunung Sitoli, Sumatera Utara. Peristiwa ini menjadi pembelajaran berharga bagi institusi pajak untuk selalu memperhatikan keselamatan dan keamanan petugas penagihan. Bagaimanapun penagihan aktif harus terus dilakukan untuk melaksanakan amanah pengumpulan penerimaan negara.
Kondisi yang berbeda memang ada pada kasus utang pajak jika dibandingkan dengan utang debitur pada kreditur lembaga keuangan. Dalam utang pajak tidak ada jaminan fidusia. Tidak ada jaminan aset yang diterima kantor pajak ketika utang pajak muncul. Utang pajak muncul ketika ada ketidakpatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan yang dapat berupa penghitungan, pembayaran, dan/atau pelaporan pajak.
Dalam melaksanakan penagihan atas utang pajak ini barulah dapat dilakukan eksekusi penyitaan atas aset untuk melunasi utang pajak. Hal ini yang cukup sering menimbulkan friksi antara petugas pajak dan wajib pajak. Friksi yang bisa jadi disebabkan karena kurang pahamnya wajib pajak dengan aturan dan ketentuan perpajakan. Hal ini yang seharusnya juga menjadi pekerjaan rumah bagi institusi pajak untuk terus menyebarluaskan pengetahuan dan informasi terkini terkait perpajakan kepada wajib pajak.
Akhirnya, fungsi debt collector boleh jadi ada pada tugas dan fungsi juru sita pajak, khususnya terkait pelaksanaan penagihan pajak. Namun, lingkup pelaksanaan tugas dari juru sita pajak lebih luas dari hanya menagih utang pajak. Walaupun pelaksanaan penagihan masuk dalam kegiatan penegakan hukum, namun ada aspek pelayanan yang tetap harus dikedepankan.
Sebagai salah satu nilai Kementerian Keuangan, aspek pelayanan harus ada dalam diri seluruh petugas pajak, tidak terkecuali juru sita pajak. Pelaksanaan tindakan penagihan secara persuasif dan santun menjadi salah satu pengimplementasian aspek pelayanan dalam pelaksanaan tindakan penagihan. Mengimbau dan memberikan informasi terkait pemenuhan kewajiban pajak menjadi tanggung jawab seluruh petugas pajak.
Akan menjadi sebuah keberhasilan ketika wajib pajak tidak melakukan kesalahan yang sama yang dapat menimbulkan utang pajak setelah mendapatkan informasi dan persuasi dari juru sita pajak. Bukan hanya tentang tertagihnya utang pajak, tetapi lebih indah lagi jika dengan tindakan penagihan dapat tumbuh kesadaran pajak dan meningkatnya kepatuhan pajak sukarela.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 404 kali dilihat