Oleh: Eko Priyono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Pada permulaan tahun 2024, Indonesia menyaksikan terobosan signifikan dalam ranah perpajakan, terutama pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Terobosan ini tidak sekadar mencakup penyesuaian tarif efektif terhadap penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan wajib pajak orang pribadi, tetapi juga mewujudkan semangat memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Langkah ini mencakup pemotongan PPh Pasal 21 bagi pejabat negara, pegawai negeri sipil (PNS), anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), serta penerima pensiun. Inovasi ini tersirat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi (PP 58/2023). Pajak Penghasilan Pasal 21, diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), merupakan kewajiban pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan apa pun. Terobosan transformasional ini membawa inovasi pada metode perhitungan, merombak dinamika tarif efektif bulanan dan harian, dan memperkenalkan rumus baru yang perlu dipahami dengan baik oleh khalayak.

Tarif Efektif

Salah satu perubahan utama yang diimplementasikan sejak awal tahun 2024 adalah tarif efektif. Penetapan tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21 dirancang dengan mempertimbangkan pengurang penghasilan bruto, seperti biaya jabatan, biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Penentuan tarif efektif bulanan telah mempertimbangkan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan/atau PTKP yang seharusnya menjadi pengurang penghasilan bruto. Penghasilan bruto bulanan yang menjadi dasar penerapan tarif efektif bulanan pemotongan PPh Pasal 21 adalah penghasilan yang diterima wajib pajak orang pribadi dalam satu masa pajak.

Penentuan tarif efektif harian telah mempertimbangkan batasan penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang seharusnya menjadi pengurang penghasilan bruto. Penghasilan bruto harian yang menjadi dasar penerapan tarif efektif harian pemotongan PPh Pasal 21 adalah penghasilan pegawai tidak tetap yang diterima secara harian, mingguan, satuan, atau borongan. Dalam hal penghasilan tidak diterima secara harian, dasar penerapan yang digunakan adalah jumlah rata-rata penghasilan sehari, yaitu rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.

Tujuan penerapan tarif efektif ini adalah untuk memberikan kemudahan dan menyederhanakan proses pemotongan PPh Pasal 21. Perubahan krusial termasuk pengenalan rumus baru, yaitu Tarif Efektif Rata-rata (TER), yang mengalikan penghasilan bruto untuk masa pajak selain masa pajak terakhir. Terdapat dua jenis tarif efektif, yakni bulanan dan harian, yang bergantung pada besarnya PTKP dan status pernikahan A, B, atau C.

Baca juga:
[Siaran Pers] DJP Mudahkan Penghitungan PPh Pasal 21
Lapisan Pajak Penghasilan Kian Progresif
Menyambut Perbedaan Tarif Pajak Penghasilan

Tarif efektif bulanan dihitung berdasarkan besarnya PTKP sesuai dengan status pernikahan. Faktor ini mempertimbangkan kebutuhan hidup wajib pajak dan keluarganya. Sementara itu, tarif efektif harian memberlakukan tarif 0% untuk penghasilan hingga Rp450.000 per hari dan 0,5% untuk penghasilan di atas Rp450.000 hingga Rp2,5 juta per hari.

Proses perhitungan tarif efektif PPh 21 melibatkan penggunaan rumus TER, yang mempertimbangkan penghasilan bruto untuk masa pajak tertentu. Masa pajak terakhir menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh jo. UU HPP, dengan mengurangkan biaya jabatan atau pensiun, iuran pensiun, dan PTKP. Dengan demikian, tarif efektif ini telah mempertimbangkan PTKP bagi setiap jenis status pernikahan.

Perbedaan dengan Tarif PPh Pasal 17

Perbedaan utama antara tarif efektif PPh 21 dan PPh Pasal 17 terletak pada metode perhitungan dan jenis penghasilan yang dikenai tarif. PPh Pasal 17 tetap menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh jo. UU HPP untuk masa pajak terakhir. Sementara itu, tarif PPh Pasal 21 menggunakan rumus TER yang lebih baru dan berfokus pada penghasilan bruto.

Tarif PPh Pasal 17 berlaku untuk penghasilan orang pribadi, termasuk karyawan, pegawai kriteria umum, serta PNS atau TNI/Polri. Tarif ini diterapkan untuk penghasilan setahun, dengan lapisan tarif yang berbeda sesuai dengan besaran penghasilan. PPh Pasal 21, di sisi lain, memberikan fleksibilitas dengan tarif efektif bulanan dan harian, mencerminkan perubahan dalam kebutuhan dan pola penghasilan masyarakat.

Kesimpulan

Perubahan tarif efektif PPh 21 yang diterapkan sejak 1 Januari 2024 membawa inovasi dalam sistem perpajakan Indonesia. Pemerintah, dengan penggunaan rumus TER dan penyesuaian tarif efektif bulanan serta harian, bertujuan untuk memberikan keadilan dan fleksibilitas dalam memenuhi kebutuhan pajak dari berbagai lapisan masyarakat.

Wajib pajak perlu memahami perbedaan antara tarif efektif PPh 21 dan tarif PPh Pasal 17 agar dapat mengelola kewajiban perpajakan mereka dengan lebih efisien. Perubahan ini tidak hanya menandai inovasi substansi hukum perpajakan, tetapi juga mengingatkan kita pada dua komponen lain yang tak kalah penting untuk tegaknya peraturan, yaitu struktur dan budaya hukum.

Adanya substansi hukum perpajakan yang baru dan berlaku dengan cepat membutuhkan upaya ekstra dari struktur hukum perpajakan, terutama petugas pajak, untuk memahami dan mengedukasi wajib pajak terkait perubahan ini. Dengan kombinasi substansi hukum yang baik, didukung oleh struktur hukum yang andal, diharapkan dapat merubah budaya hukum menuju penegakan hukum yang efektif dan adil di masyarakat. Sehingga, perubahan ini menjadi bagian integral dari transformasi perpajakan yang mencerminkan kesadaran akan kebutuhan dan dinamika masyarakat modern.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.