Oleh: Bayu Arti Nugraheni, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Jika Anda memiliki anak yang sudah berusia tiga tahun, perkembangan apa saja yang terjadi pada mereka? Dari sisi motorik, anak usia tiga tahun umumnya sudah bisa berjalan stabil bahkan berlari. Anak pun akan mulai melompat pada kisaran usia ini. Psikologis anak akan tampak lebih jelas memasuki periode ini. Usia ini biasa disebut dengan usia emas atau golden age. Disebut dengan golden age karena otak anak akan berkembang dengan pesat, sehingga peran orangtua sangat penting untuk dapat memberikan stimulasi bagi tumbuh kembang anak. Saat golden age inilah waktu yang terbaik bagi orangtua untuk mengajarkan anak berbagai hal.

Dan apa makna tiga tahun bagi wajib pajak badan khususnya yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT)? Sebagaimana teori tumbuh kembang anak yang diuraikan di atas tadi, diharapkan tiga tahun tersebut juga menjadi periode emas bagi Perseroan Terbatas untuk bertumbuh dan berkembang. Periode yang cukup untuk mempersiapkan diri menuju jenjang yang lebih tinggi. Jika sebelumnya menghitung pajak dengan cara yang sederhana, yaitu 0,5 persen dari peredaran usaha, kini saatnya menghitung pajak berdasarkan pembukuan yang telah disusun. Periode yang diharapkan menjadi masa pembelajaran bagi Perseroan Terbatas untuk mempersiapkan diri menyelenggarakan pembukuan dan menghitung pajaknya sesuai ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya.

Ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, atau yang lebih dikenal dengan PP 23 Tahun 2018, mengatur bahwa pengenaan PPh final berdasarkan PP 23Tahun 2018 berlaku paling lama, yaitu tiga tahun pajak bagi Wajib Pajak Badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan empat tahun pajak bagi Wajib Pajak Badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), atau firma.

Berdasarkan ketentuan tersebut, dalam hal wajib pajak telah terdaftar pada Tahun 2018, maka pengenaan PPh Final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 bagi wajib pajak badan berbentuk PT, berlaku hingga akhir tahun pajak 2020 sedangkan wajib pajak badan berbentuk koperasi, CV, atau firma, berlaku hingga akhir tahun pajak 2021.

Setelah berakhirnya jangka waktu tersebut, maka wajib pajak dimaksud harus memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) untuk tahun pajak-tahun pajak berikutnya.

Dan akhirnya sekarang kita telah berada di Tahun 2021. Tidak perlu kuatir menghadapi tahun yang baru karena tahun baru pasti membuka harapan-harapan baru yang siap untuk kita sambut bersama. Direktorat Jenderal Pajak siap mendampingi segenap Wajib Pajak Badan berbentuk Perseroan Terbatas untuk membuka lembaran baru di Tahun 2021 dan menghadapi perbedaan baru. Bagaimana memulai kewajiban perpajakan di tahun 2021 ini?

Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 bagi wajib pajak yang tidak lagi memenuhi kriteria sebagai wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, termasuk yang memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum, adalah sebagaimana Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2018, penghitungan besarnya angsuran pajak diberlakukan seperti wajib pajak baru di mana untuk tahun pertama adalah nihil (tidak berlaku bagi bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, wajib pajak masuk bursa, dan wajib pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala). Besarnya pajak terutang akan diperhitungkan pada saat wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh 2021 yang akan disampaikan pada tahun 2022 mendatang.

Dasar penghitungan pajak berdasarkan ketentuan umum UU PPh juga berbeda dengan ketika wajib pajak masih mengikuti ketentuan PP 23 Tahun 2018. Jika ketentuan PP 23 Tahun 2018 memperhitungkan pajak 0,5%  langsung dikalikan peredaran usaha, ketentuan umum UU PPh memperhitungkan prosentase tarif PPh Badan yang berlaku dikalikan penghasilan kena pajak. Penghasilan Kena Pajak adalah penghasilan yang dijadikan dasar untuk menghitung Pajak Penghasilan (PPh), di antaranya adalah dengan memperhitungkan penghasilan kotor dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

Para pelaku UMKM juga tidak perlu kuatir dengan perubahan ketentuan dalam menghitung pajak berdasarkan ketentuan umum UU PPh karena tetap ada perlakuan khusus yang diberikan bagi para pelaku UMKM, yakni berdasarkan ketentuan Pasal 31E UU PPh, Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan peredaran bruto kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dapat menggunakan fasilitas tarif PPh Badan sebesar 50% dari tarif yang berlaku umum, yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/ atau Stabilitas Sistem Keuangan, Pasal 5 angka 1, tarif PPh Badan yang berlaku umum untuk tahun pajak 2020 dan 2021 adalah sebesar 22% dan untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya akan berlaku tarif 20%. Sehingga bagi para pelaku UMKM akan berlaku ketentuan tarif PPh badan 50% dari 22% (pada tahun pajak 2020 dan 2021) atau menjadi 11% saja.

Bagaimana? Sudah siap menghadapi sesuatu yang berbeda?

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja