Treaty Shopping, Sebuah Upaya Penghindaran Pajak yang Patut Diwaspadai
Oleh: Ahmad Dahlan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty dibuat sebagai upaya untuk menghindari terjadinya pajak berganda antara dua Negara. Akan tetapi dalam praktinya, P3B justru dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk menghindari pajak melalui skema treaty shopping. Treaty Shopping adalah suatu skema yang dilakukan untuk mendapatkan fasilitas, misalnya penurunan tarif pemotongan pajak (withholding taxes) yang disediakan oleh suatu perjanjian penghindaran pajak berganda, oleh subjek pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut.
Treaty Shopping merupakan sebuah upaya penyalahgunaan P3B (treaty abuse) karena karena menggunakan pasal-pasal dalam perjanjian penghindaran pajak berganda yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya tax treaty, yaitu untuk menghindari pajak berganda dan mencegah terjadinya penghindaran pajak.
Ada beberapa contoh upaya penyalahgunaan P3B, di antaranya, transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B. Contoh lain, transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B. Contoh lainnya lagi, penerima manfaat P3B bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari suatu transaksi (beneficial owner).
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sebenarnya sudah mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan P3B. Yakni melalui Peratura Dirjen Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan PER-25/PJ/2010. Peraturan tersebut kemudian diganti dengan PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Contoh nyata yang sedang saya hadapi adalah begini. Perusahaan yang saya periksa adalah PT D. Ia mebayar royalti kepada PT C yang berdomisili di Uni Emirat Arab (UEA). PT A membayar royalti atas penggunaan sebuah merek sabun mandi. Antara Indonesia dan UEA sudah ada P3B. Dalam P3B itu, diatur tentang tarif royalti yaitu 5%. Maka PT D membayar royalti kepada PT C dengan tarif sesuai P3, lima persen.
Persoalanya, siapa pemilik sebenarnya manfaat ekonomis (beneficial owner) atas merek sabun tersebut? Berdasarkan seritifikat merek yang dikeluarkan oleh Direktorat Kekayaan Intelektual, pemilik merek atas sabun dimaksud adalah PT A yang berdomili di Hongkong. PT A mengadakan perjanjian pemberian lisensi kepada PT B yang berdomisili di Swiss. Berdasarkan dokumen BPOM, pemberi otorisasi penggunaan merek di Indonesia adalah PT B. Pada setiap kemasan sabun yang dijual di Indonesia tertera “Made under authority of PT B”.
Lalu, di mana posisi PT C sebagai penerima royalti dari wajib pajak yang saya periksa? Saya menduga PT C merupakan perusahaan cangkang (conduit). Ia dibentuk oleh sebuah korporasi hanya untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di P3B Indonesia – UEA, di mana dalam P3B tersebut tarif pajak atas royalti relaif rendah yaitu 5 persen. Menurut hemat saya, PT C bukan beneficial owner atas merek sabun tersebut. Beneficial owner yang sebenarnya adalah PT B yang berdomisili di Swiss. Tarif pajak royalti yang diatur dalam P3B Indonesia – Swiss adalah 12.5%. Dengan demikian ada dugaan telah terjadi penyalahgunaan P3B.
Untuk menentukan apakah entitas luar negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia (WPLN) itu sebagai beneficial owner atau bukan, PER-10/PJ/2017 memberikan kriteria sebagai berikut:
a. bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
b. bagi WPLN badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit, yang harus memenuhi ketentuan:
1. mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
2. tidak lebih dari 50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain;
3. menanggung risiko atas aset, modal atau kewajiban yang dimiliki; dan
4. tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.
Kriteria-kriteria itulah yang sedang saya dalam terhadap Wajib Pajak (PT C).(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 17395 kali dilihat