Seikatsu Kaizen dan Rahasia Kesuksesan Jepang
Oleh: Edmalia Rohmani, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Dalam buku "Seikatsu Kaizen” karya Susy Ong, pembaca diajak menelusuri perjalanan sejarah modernisasi Negeri Matahari Terbit yang berlangsung sejak 1860-an. Ada beberapa hal yang menarik dan dapat menjadi referensi di era Reformasi Perpajakan ini.
Reformasi Adat di Jepang
Memasuki pertengahan tahun 1880-an, dua belas tahun setelah dimulai pemerintahan Meiji, demam budaya Barat yang menjangkiti penduduk Jepang mulai kehilangan pamor. Para tokoh masyarakat mengkritik gaya hidup kebarat-baratan yang dianut kebanyakan orang. Pada tahun 1889, sejumlah tokoh itu membentuk Asosiasi Reformasi Pola Hidup Jepang.
Dua tahun kemudian, Dohi Masataka, ketua asosiasi tersebut menerbitkan buku berjudul “Reformasi Adat di Jepang”. Menariknya, terdapat bahasan yang menggambarkan karakteristik bangsa Jepang saat itu yaitu ketika beribadah terlihat sangat relijius dan gemar menyumbang dalam jumlah besar tapi tanpa malu menunggak pajak dan uang sekolah anak.
Ada pepatah Barat yang berbunyi: kebiasaan adalah karakter kedua. Artinya, dengan mengubah kebiasaan hidup (adat), maka karakter seseorang akan berubah. Maka, melalui bukunya itu, Masataka berusaha membuka mata masyarakat dan memberikan contoh kejatuhan Turki dan India di akhir abad ke-19 karena buruknya adat rakyat.
Ia menggarisbawahi fenomena modernisasi yang hanya menyentuh tampilan luar tetapi tak mampu mengubah mentalitas dalam masyarakat yang egois, tak mau memikirkan kepentingan umum dan negara, dan tidak punya tanggung jawab sosial. Meski belum diketahui seberapa besar pengaruhnya, sejumlah pejabat Jepang pada waktu itu mulai mengusung ide yang sama.
Pada tahun 1909, Kementerian Dalam Negeri Jepang secara resmi memulai kampanye nasional perbaikan adat. Kampanye yang disebut Local Improvement Movement ini lebih terorganisir, terdokumentasi, dan merata ke seluruh Jepang. Kampanye tersebut terus berlanjut hingga awal tahun 1970-an sehingga terbentuklah karakter bangsa Jepang yang kita kenal sekarang.
Bermula dari Pendidikan
Pada Juli 1937, militer Jepang memulai perang terbuka di daratan Tiongkok dan mulai mengirim pasukan dalam jumlah besar. Untuk mencegah menurunnya produktivitas dan menggenjot penerimaan pajak untuk membiayai operasi militer, pemerintah mengeluarkan sejumlah Undang-Undang mobilisasi massa. Gaya hidup hemat dan rajin bekerja yang sebelumnya bersifat himbauan, selanjutnya menjadi semi pemaksaan.
Pada bulan Agustus 1945, Perang di Asia Pasifik berakhir dengan kekalahan Jepang terhadap Sekutu. Ketika Jepang menyerah, banyak ahli memperkirakan Jepang akan miskin. Sekitar seperempat aset nasional musnah. Enam puluh enam kota hancur karena pengeboman, termasuk Hiroshima dan Nagasaki.
Faktanya, sepuluh tahun kemudian Jepang mampu bangkit dan produktivitas industrinya mampu mampu mencapai level tertinggi melebihi masa sebelum perang. Pada tahun 1960, Jepang memulai era masa pertumbuhan ekonomi tinggi. Pada tahun 1968, PDB Jepang menempati urutan kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Menariknya, Jepang memilih jalur pendidikan sebagai langkah awal untuk bangkit. Satu bulan setelah kalah perang, pemerintah Jepang mengumumkan “Educational Policy for The Construction of a New Japan” atau Kebijakan Pendidikan untuk Rekonstruksi Nasional. Kebijakan itu fokus pada tiga tujuan yaitu: mendidik generasi muda agar mampu berpikir secara ilmiah dan rasional; peningkatan program pelatihan guru agar dapat mengemban misi pendidikan; serta anjuran agar rakyat Jepang bekerja keras demi membangun kembali Jepang pascaperang.
Dua Kunci Utama
Di akhir buku, Susy Ong menggarisbawahi dua hal yang menjadi penyebab utama keberhasilan reformasi pola hidup di Jepang. Pertama, membuka ruang dialog antara pemerintah dengan masyarakat dan menjadikan agenda reformasi sebagai rutinitas. Sebelum masa perang, kampanye dimulai dengan imbauan, kemudian setengah pemaksaan. Setelah Jepang kalah perang, pemerintah tidak bisa lagi menekan rakyat. Pemikiran demokrasi menjadi ideologi yang sah. Strategi komunikasi berubah menjadi dialog dan persuasi. Tujuan kampanye yang sebelumnya berorientasi pada kepentingan negara, berubah menjadi kepentingan bagi individu. Dengan paradigma seperti itulah masyarakat dengan sukarela mau berubah sebab merasakan benefit bagi dirinya.
Kedua, kampanye perubahan ini dilakukan dengan sederhana, tanpa gembar-gembor. Hal ini dapat dibuktikan dengan minimnya penelitian signifikan mengenai kampanye ini di dunia akademik Jepang. Setelah Jepang mencapai keberhasilannya sebagai negara yang paling maju dan makmur di dunia dengan tingkat produktivitas yang tertinggi, para ilmuwan mulai mencari tahu penyebabnya. Di Jepang sendiri, selama masa kampanye perubahan pola hidup ini tak ada tulisan ilmiah yang membahasnya karena semua menganggapnya lumrah.
Tiga Pelajaran Penting
Dari uraian di atas, ada beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik dari sejarah panjang Jepang. Pertama, perubahan bukanlah sesuatu yang instan dan dapat dicapai dalam rentang waktu pendek. Manusia adalah produk dari pengalaman di masa lalu. Dibutuhkan kemauan yang keras untuk berubah ke arah yang lebih baik. Inisiatif perubahan sebaiknya bukan hanya bersifat top-down namun juga bottom-up. Para pemimpin perlu konsisten membuka ruang dialog selama masa reformasi dan secara adaptif mampu menyesuaikan strategi komunikasi dalam melakukan persuasi kepada pelaku reformasi.
Literasi menjadi salah satu senjata penting dalam menyebarkan informasi dan memberikan motivasi kepada pelaku reformasi. Dengan literatur yang bermutu dan mampu menjadi referensi positif tentu akan mendorong semua elemen untuk ikut bergerak dan menyebarkan konten positif seputar reformasi.
Kedua, kecenderungan manusia untuk berubah secara manusiawi adalah untuk kepentingan dirinya sendiri, maka pola komunikasi yang dibangun adalah memberikan gambaran nyata tentang manfaat perubahan bagi dirinya terlebih dahulu. Dengan menyuntikkan motivasi secara persisten, para pelaku reformasi dengan sendirinya akan secara sukarela bersedia terlibat dalam proses perubahan dan menjadi agen perubahan itu sendiri.
Ketiga, betapa dahsyat efek pendidikan. Pendidikan mampu mengubah pandangan manusia. Lebih jauh lagi, ia mampu mengubah karakter sebuah bangsa. Ada satu kisah menarik yang sempat terekam dalam sejarah di masa awal pemulihan Jepang setelah porak-poranda akibat Perang Dunia kedua. Saat itu Kaisar Hirohito bertanya, “Berapakah jumlah guru yang tersisa?” Hal itu menandakan betapa penting fungsi pendidikan dan peranan guru dalam kebangkitan sebuah bangsa.
Maka, program Inklusi Kesadaran Pajak sebagai bagian dari Reformasi Perpajakan menjadi begitu penting dan mempunyai peran strategis dalam mewujudkan generasi baru yang sadar pajak. Dari laman www.edukasi.pajak.go.id, kita dapat mengetahui berbagai macam kegiatan yang telah dilakukan oleh Ditjen Pajak dalam bersinergi dengan para pendidik setelah program ini diluncurkan. Sebuah upaya luar biasa yang patut didukung semua pihak.
Di bulan November akan ada Pekan Inklusi yang serentak dilaksanakan di seluruh Indonesia. Kegiatan ini juga turut mendukung Gerakan Literasi Nasional. Momentum ini tentu tak boleh disia-siakan. Kontribusi sekecil apapun tentu sangat diharapkan. Ayo ambil bagian dalam Pekan Inklusi sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan generasi emas yang sadar pajak!(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 1038 kali dilihat