Oleh: Windah Ferry Cahyasari, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Dalam beberapa minggu terakhir, Indonesia berduka dengan terjadinya dua musibah yang memakan banyak korban jiwa di perairan Indonesia. Sebuah Kapal Motor Sinar Bangun tenggelam di Danau Toba pada tanggal 18 Juni 2018, mengakibatkan banyak korban meninggal dunia dan sebagian besar lainnya masih dinyatakan hilang. Tak berapa lama kemudian sebuah musibah kembali terjadi dengan karamnya Kapal Motor Lestari Maju di perairan Bira Kepulauan Selayar yang juga mengakibatkan korban jiwa. Duka yang mendalam tidak hanya dialami oleh keluarga korban, namun juga oleh seluruh rakyat Indonesia.

Pemerintah melalui Komite Nasional Keselamatan Transportasi segera melakukan investigasi untuk menemukan penyebab musibah. Beberapa simpulan ditarik, bahwa musibah di Danau Toba misalnya, disinyalir selain karena faktor cuaca, juga karena kondisi kapal yang tidak laik jalan dan melebihi kapasitas. Berbagai perbaikan dan evaluasi pun dilakukan agar tidak terjadi musibah serupa dikemudian hari. Sebuah pembelajaran besar yang harus dibayar mahal.

Pembelajaran tersebut mengingatkan penulis pada pernyataan Suryo Utomo, Staf Ahli  Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak saat dirinya masih menjadi punggawa Tim Reformasi Perpajakan pada pertengahan tahun 2017 lalu. “Ibarat sebuah kapal besar, Direktorat Jendral Pajak perlu berubah,”

Direktora Jendral Pajak (DJP) ibarat sebuah kapal besar yang menampung penumpang melebihi kapasitas. Awak kapal yang dimiliki tidak cukup banyak untuk melayani penumpang dari seluruh negeri. Bayangkan, jumlah wajib pajak yang terdaftar di DJP pada awal tahun 2018 tercatat sebanyak 36.031.972. Angka ini tentunya setiap hari akan mengalami kenaikan sejalan dengan salah satu program DJP untuk menambah basis pajak. Jumlah tersebut sangat tidak sepadan dengan jumlah pegawai DJP di Indonesia yang jumlahnya hanya 42.599 pegawai.

Selain itu, kapal besar DJP ini juga dibebani tugas yang berat, namun masih digerakkan oleh mesin yang sudah usang. Mesin ini sudah sangat tertinggal baik dari segi umur maupun kemampuan. Data yang sangat besar milik DJP butuh untuk segera diolah dan dikembangkan.

Data milik DJP kian hari kian berkembang. Kebutuhan pengolahan data kian menantang. Ditambah sejak berakhirnya program Tax Amnesty dan adanya program Automatic Exchange of Information (AEoI), basis data makin tak terbilang.

Kemampuan mesin sudah tidak bisa lagi diupgrade maupun dimodifikasi. Maka sebagai sebuah kapal besar, sudah sangat tepat bahwa DJP sedang berubah melalui sebuah program Reformasi Perpajakan. Sebuah kapal sedang disiapkan, dengan mesin baru yang lebih menjanjikan. Tantangan baru terbentang, harus menyiapkan mesin kapal baru, namun kapal harus tetap berlayar.  Menjalankan tugas dan fungsinya menjaga penerimaan negara.

PR besar berikutnya adalah tentang kesiapan para awak kapal. DJP secara masif memperbaiki diri pada berbagai lini dan para awak kapal ini juga harus siap menghadapi perubahan. DJP melalui Reformasi Perpajakan ini sedang berbenah dalam lima pokok pilar yaitu Organisasi, Sumber Daya Manusia, Sistem Informasi dan Basis Data, Proses Bisnis, dan Peraturan Perundang-Undangan. Salah satu contohnya dengan perubahan yang terjadiakan terdapat ribuan Standar Operating Procedures (SOP) yang berubah. Dan semua pihak harus mampu cepat beradaptasi dengan perubahan ini.

Perlu diingat, Reformasi bukan hanya milik Nahkoda kapal, namun juga milik semua pihak. Baik fiskus maupun wajib pajak.

Reformasi Perpajakan adalah sebuah misi penyelamatan kapal yang hampir karam. Semua harus terlibat dan memberi dukungan, demi perbaikan DJP dan demi Negeri yang kita cintai.

Jangan sampai kita seperti Zainuddin yang menyesali diri karena telah mengabaikan Hayati. Karena sikap penolakannya, Hayati, sosok yang sangat ia cintai tenggelam bersama dengan karamnya Kapal Van der Wijk.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.