Oleh Chandra Budi

Polemik tentang tunggakan pajak minyak dan gas bumi (migas) antara pemerintah dan kontraktor kontrak kerja sama migas masih terus berlanjut. Polemik tampaknya baru bisa berhenti apabila dilakukan revisi terhadap isi tax treaty.

Perselisihan tersulut berawal dari pernyataan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan tunggakan pajak para kontraktor migas mencapai Rp 1,6 triliun, dan ditengarai ada keterlibatan penyelenggara Negara nakal yang menyebabkan tidak dibayarnya pajak oleh perusahaan asing tersebut.

Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Pajak menanggapi bahwa apa yang dimaksud tunggakan pajak migas oleh KPK tersebut sebenarnya masih masuk dalam kategori perselisihan yang belum diselesaikan (pending matters) antara kontraktor migas dan auditor pemerintah, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Penyebab utamanya adalah perbedaan pemahaman tentang skema bagi hasil yang diatur dalam kontrak migas. Makanya, untuk memahami akar masalah perselisihan antara kontraktor migas dan pemerintah, maka harus dicermati terlebih dahulu skema bagi hasil migas yang selama ini berlaku.

Penghasilan bruto (gross revenue) yang merupakan hasil dari jumlah lifting dikalikan international crude price (ICT) sebelum menjadi bagian yang akan dibagikan (equity to be split) harus dikurangi dulu dari cost recovery.

PP No 79 Tahun 2010
Potensi perselisihan paling jelas ada pada komponen cost recovery mana yang dapat atau tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto tersebut. Hal ini terjadi sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu. Dalam PP ini diatur jenis-jenis biaya yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto dan jenisjenis biaya yang tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto.

Persoalannya, PP 79 Tahun 2010 hanya berlaku pada kontrak migas baru sedangkan kontrak migas lama masih mengacu pada aturan sebelumnya. Ini yang membuat perselisihan mengenai cost recovery masih cukup besar. Penghasilan yang akan dibagikan, yaitu penghasilan bruto dikurangi cost recovery, dan dari sinilah pemerintah mendapat bagian 85% dan kontraktor 15%. Dengan skema pembagian tersebut maka kewajiban bukan pajak dan pajak dibebankan kepada kontraktor dan pemerintah sudah mendapatkan bagiannya dengan utuh, yaitu 85%.

Persentase bagi hasil 85% berbanding 15% ini berlaku selama kontrak berjalan. Hanya masalahnya hal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam kontrak. Dengan demikian untuk mempertahankan perhitungan 85% dan 15% tersebut, maka perhitungan tarif pajak juga telah dipatok tetap dan berlaku tetap selama jangka waktu kontrak, yaitu tarif Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) sebesar 35% dan tarif Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti (Pbdr) sebesar 20%. Karena kewajiban bukan pajak, yaitu penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan kewajiban pajak, yaitu Pajak Penghasilan Migas (PPh Migas) dan Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti (Pbdr) menjadi beban kontraktor maka sudah sewajarnya pihak kontraktor fokus pada penelitian mengenai aturan perundangan yang menjadi dasar kewajiban tersebut.

Dengan tidak tercantumnya secara ekplisit persentase bagi hasil 85% dibanding 15% dalam kontrak —hanya gentlemen agrrement —maka penggunaan tarif pajak lebih rendah sesuai perjanjian penghindaran pajak berganda atau tax treaty antara negara asal kontraktor dan Indonesia menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kewajiban pembayaran pajak kontraktor.

Revisi Tax Treaty
Kekayaan alam Indonesia yang begitu berlimpah merupakan anugerah Tuhan bagi rakyat Indonesia. Maka sudah seharusnya kekayaan alam tersebut dijaga, dipelihara, dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ini secara jelas diamanatkan UUD 1945, di mana semua kekayaan alam dan kekayaan yang terkandung di dalamnya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Dengan demikian pemanfaatan seluruh kekayaan alam Indonesia harus bertujuan untuk memakmurkan dan menyejahterakan rakyat serta berpihak kepada kepentingan rakyat bukan kepentingan seseorang atau sekelompok golongan tertentu.

Bertitik tolak dari ketentuan konstitusi tersebut maka langkah tepat guna menyelesaikan perselisihan pajak di atas adalah dengan menagih kekurangan pajak yang harus dibayar oleh kontraktor dengan menggunakan mekanisme surat ketetapan pajak (SKP). Ini sangat memungkinkan dan memiliki landasan hukum yang kuat. Sesuai dengan pasal 13 ayat (1) huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), maka Ditjen Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.

Data yang disampaikan oleh BPKP dan BPK terhadap audit kontraktor migas masuk dalam kriteria keterangan lain seperti dimaksud dalam Undang-Undang KUP tersebut. Kalaupun ada hambatan teknis dalam penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar yang disebabkan Ditjen Pajak tidak dimilikinya data pembayaran pajak, maka patut diragukan hasil audit BPKP atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam hal ini Ditjen Pajak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk memeriksa para kontraktor migas untuk memastikan kebenaran data yang disampaikan tersebut.

Solusi lainnya yang dapat dijalankan adalah dengan mengkaji ulang isi kontrak migas dan/atau tax treaty. Sudah saatnya isi kontrak diperbarui dengan perubahan utama terhadap persentase bagi hasil bersih yang disepakati, 85% bagian pemerintah dan 15% bagian kontraktor, dengan konsekuensi tariff pajak yang dipatok tetap selama masa kontrak (nail down).

Hanya saja solusi dengan memperbarui isi kontrak pasti akan memerlukan waktu yang cukup lama karena harus menunggu kontrak lama berakhir. Oleh karena itu, solusi lebih cepat yang dapat dilaksanakan adalah merevisi isi tax treaty dengan agenda utama adalah mengeluarkan klausul bentuk usaha tetap yang bergerak dalam bidang migas.

Penulis Staf Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan