Oleh: Anang Purnadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Awal Oktober 2018 ini media massa baik cetak maupun online, serta media sosial diramaikan tentang pemberitaan seorang aktivis perempuan yang mengaku dianiaya beberapa orang sehingga wajahnya menjadi lebam-lebam. Hal ini menjadi viral karena cerita ini dibawa ke ranah politik yang sudah memanas menjelang pemilihan presiden tahun 2019 mendatang.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan hoaks (bahasa Inggris: hoax) atau berita bohong? Hoaks adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut palsu. (Wikipedia)

Secara umum konten-konten tersebut bisa dikategorikan menjadi dua golongan besar, yakni yang berisikan misinformasi dan disinformasi. Misinformasi adalah sebentuk informasi yang salah, sementara disinformasi adalah informasi yang (justru) sengaja dibuat salah. Ciri-ciri misinformasi dan disinformasi sebagai berikut :

1.   Satire atau Parodi

      Mungkin saja dibuat dengan tidak berniat untuk merugikan, namun berpotensi untuk mengelabui.

2.   Konten yang Menyesatkan

      Di sini biasanya ada penggunaan informasi yang sesat untuk membingkai sebuah isu atau individu.

3.   Konten Tiruan

      Ini adalah ketika sebuah sumber asli ditiru/diubahsuai.

4.   Konten Palsu

  Jenis ini berupa konten baru yang 100% salah dan (sengaja) didesain untuk menipu serta merugikan.

5.   Keterkaitan yang Salah

      Ini adalah ketika judul, gambar, atau keterangan tidak mendukung konten.

6.   Konten yang Salah

  Jenis ini adalah ketika konten yang asli dipadankan atau dikait-kaitkan dengan konteks informasi yang salah.

7.   Konten yang Dimanipulasi

  Ini adalah ketika informasi atau gambar yang asli (sengaja) dimanipulasi untuk menipu.

Tujuan pembuatan hoax beragam, mulai dari hanya untuk iseng, untuk mendapatkan uang, bentuk aksi protes, sebagai serangan kepada pihak lawan, dan lainnya. Era digital dengan media sosialnya menjadi ‘jalan pintas’ untuk membuat dan atau menyebarkan berita hoaks.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang sedang melakukan reformasi perpajakan melalui perubahan transformasi bisnis, budaya kerja, teknologi informasi, dan perbaikan peraturan tidak lepas dari serangan hoaks. Setiap perubahan tidak akan lepas dari tantangan dan hambatan entah dikarenakan tidak menginginkan DJP menjadi institusi yang modern dan akuntabel, atau sengaja membuat hoaks untuk mencari keuntungan pribadi.

Beberapa hoaks yang pernah atau yang masih sering terjadi di masyarakat tentang Ditjen Pajak :

·      Daftar NPWP dikenakan biaya

Sebagian besar calon wajib pajak masih mempercayai bahwa untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dikenakan biaya pendaftaran tertentu. Untuk diketahui bahwa pembuatan NPWP tidak dipungut biaya. Bahkan sekarang mendaftar NPWP bisa dilakukan secara online melalui www.pajak.go.id.

·      Bayar pajak di kantor pajak

Banyak masyarakat menganggap tempat membayar pajak adalah di kantor pajak. Di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) disediakan loket pembayaran sebuah bank persepsi, ini bukan berarti bahwa kantor pajak menerima pembayaran pajak. Namun kantor pajak bekerjasama dengan bank persepsi untuk memfasilitasi pembayaran pajak.

·      Bayar pajak hanya hari kerja

Pembayaran pajak sekarang sudah dapat dilakukan melalui ATM dan internet banking sehingga tidak hanya terbatas pada hari kerja bank persepsi. Wajib pajak bisa membuat id-billing sendiri dan atau langsung membayar pajaknya kapan pun.

·      Jenis pajak yang dilaporkan terlalu beragam

Keluhan tentang banyaknya jenis laporan pajak atau Surat Pemberitahuan (SPT) setiap bulan meskipun nilainya nihil kini sudah tidak perlu di kawatirkan lagi. Saat ini untuk jenis SPT PPh pasal 25 dan SPT PPh pasal 21/26 Nihil tidak perlu dilaporkan lagi, kecuali SPT PPh pasal 21/26 masa Desember.

·      Lapor pajak antri

Dengan laporan bulanan yang sudah dikecualikan, dan dengan fasilitas lapor online maka anggapan antri lapor pajak tidak relevan lagi. SPT Masa PPh pasal 21/26, SPT Masa PPN sudah diwajibkan lapor secara online (e-filing). Bahkan bukti potong PPh pasal 23/26 dapat dibuat secara elektronik melalui e-bupot bagi pemotong dan wajib pajak.

Untuk SPT Tahunan sudah bisa dilakukan secara online, bahkan beberapa jenis wajib pajak diwajibkan melalui cara tersebut. Laporan SPT Tahunan online bisa dilakukan dengan petunjuk yang mudah dan otomatis sehingga bisa mengurangi resiko kesalahan dalam pengisian SPT.

·      Petugas pajak galak

Kesan bahwa pegawai pajak galak masih sering kita dengar di masyarakat, hal ini bisa berdampak masyarakat enggan berhubungan dengan instansi pajak. Anggapan ini salah besar, Ditjen Pajak saat ini jauh lebih ramah. Komposisi pegawai yang didominasi generasi milenial membuat institusi ini terlihat semakin muda, dekat dengan wajib pajak sesuai dengan cita-cita reformasi perpajakan untuk menjadi institusi yang memberikan pelayanan terbaik dan terpercaya.

·      Konsultasi dengan AR membuat pajak makin rumit

Pemikiran bahwa jika konsultasi dengan pegawai pajak atau Account Representative (AR) membuat urusan pajak menjadi makin sulit dan semakin banyak kewajiban pajak yang harus dibayar. Entah siapa yang memulai munculnya anggapan tersebut, bisa dipastikan bahwa AR di KPP bertugas memberikan bimbingan perpajakan secara benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dan bisa dipastikan layanan konsultasi tidak dipungut biaya. Hal berbeda jika konsultasi dengan jasa konsultan pajak di luar.

·      Pemeriksaan pajak tidak transparan

Tahap pemeriksaan pajak bukan hal yang harus ditakuti oleh wajib pajak. Pertemuan pemeriksa dan wajib pajak harus dilakukan di kantor pajak dan wajib direkam secara visual dan didampingi oleh petugas khusus yang ditunjuk oleh pejabat eselon III dalam proses pemeriksaan pajak. Wajib pajak tidak perlu merasa takut jika terjadi penyalahgunaan wewenang, dan apabila terjadi hal ini bisa dilaporkan ke saluran-saluran yang telah ditentukan.

·      Pembelian tiket wajib mencantumkan NPWP

Sempat beredar berita bahwa untuk pembelian tiket pesawat wajib mencantumkan NPWP. Hal ini adalah tidak benar, penumpang merupakan konsumen akhir dan tiket pesawat merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sehingga tidak wajib mencantumkan NPWP.

·      Permintaan data atas nama DJP melalui email, call center

Banyak pihak-pihak luar yang mencoba mengambil keuntungan menggunakan nama Ditjen Pajak. Permintaan data penting wajib memalui email maupun call center yang mengatasnamakan Ditjen Pajak.

Masih banyak hoaks lain yang salah informasi atau yang mengatasnamakan Ditjen Pajak dengan tujuan tertentu. Jika kita meragukan tentang kebenaran suatu informasi yang berhubungan dengan Ditjen Pajak, kita dapat melakukan klarifikasi dengan menghubungi kantor pelayanan pajak terdekat atau ke saluran resmi Ditjen Pajak.

Sebagaimana kita ketahui Call Center resmi 1500200, web resmi www.pajak.go.id, dan media sosial resmi Ditjen Pajak facebook, twitter, instagram, youtube dengan akun @DitjenPajakRI.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.