Perempuan dan Hak Perpajakannya

Oleh: Kania Laily Salsabila, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Selamat Hari Kartini untuk seluruh perempuan Indonesia!
Setiap tanggal 21 April, diperingati sebagai Hari Kartini. Hari Kartini merupakan bentuk penghormatan bangsa Indonesia kepada pahlawan nasional Indonesia, Raden Ajeng Kartini, yang memperjuangkan emansipasi perempuan. Beliau menyuarakan semangat agar kaum perempuan mendapatkan kedudukan dan pendidikan yang sama.
Buah dari perjuangannya sudah bisa kita rasakan saat ini. Wanita bisa menjadi apa pun yang diinginkannya. Menjadi ibu rumah tangga, guru, pengusaha, selebgram, pimpinan. Apapun yang menjadi pilihannya, semua wanita itu hebat.
Dalam berkehidupan, kita tidak boleh hanya menuntut kesetaraan hak. Dengan adanya kesetaraan hak, ada pula kesetaraan dalam pemenuhan kewajiban, salah satunya kewajiban perpajakan. Ladies, ada beberapa hal yang perlu kalian ketahui terkait hak dan kewajiban perpajakan.
Berhak memiliki NPWP sendiri
Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, seseorang yang berusia 18 tahun, sudah berhak untuk memiliki NPWP. Hal ini berlaku baik untuk pria maupun wanita. Kebanyakan wanita bekerja yang belum menikah memiliki NPWP sendiri. Seringkali yang menjadi pertanyaan justru setelah mereka menikah, NPWP-nya harus bagaimana ya? Apakah harus dihapus dan menginduk pada NPWP suami?
Perpajakan di Indonesia mengenal konsep family tax unit, yaitu hak dan kewajiban perpajakan kepala keluarga digabungkan dengan anggota keluarga. Setelah menikah wanita tersebut dapat mengajukan permohonan penghapusan NPWP, agar selanjutnya kewajiban perpajakannya bergabung dengan suami. Dengan begitu, mereka hanya perlu melaporkan satu SPT Tahunan yang memuat informasi perpajakan satu keluarga dalam satu tahun.
“Oh berarti wanita yang telah menikah tidak boleh punya NPWP sendiri?”
Kalau kita membaca ketentuan PER-04/PJ/2020, ternyata seorang istri boleh loh kalau tetap ingin memiliki NPWP yang terpisah dari suami. Ada beberapa kondisi yang memungkinkan seorang wanita memiliki NPWP terpisah dari suaminya. Pertama, jika terdapat perjanjian pisah harta dalam pernikahannya. Kedua, jika wanita tersebut telah hidup berpisah dengan suami. Ketiga, jika wanita tersebut memang memilih untuk menjalankan kewajiban perpajakan dengan suami. Satu hal yang perlu diingat, dengan memiliki NPWP terpisah dari suami, kewajiban pelaporan SPT Tahunannya jadi masing-masing juga.
Akses Coretax DJP bagi Wanita yang NPWP-nya Menginduk pada Suami
Membahas family tax unit, di aplikasi DJPonline, yang menjadi concern adalah ketika data nama wajib pajak yang muncul adalah data kepala keluarga. Misal, ada seorang wanita yang menjabat sebagai direktur dengan status kartu tanda penduduk (KTP) kawin. Wanita tersebut memilih kewajiban perpajakannya menginduk dengan sang suami. Pada saat wanita tersebut hendak menjadi penandatangan di aplikasi e-bupot, dia menggunakan NPWP suaminya. Akibatnya, pada saat bukti potong tercetak, nama yang muncul pada kolom penandatangan tetap nama sang suami.
Situasi tersebut terjawab dengan hadirnya aplikasi Coretax DJP. Aplikasi tersebut menyediakan akses masuk bagi mereka yang bahkan tidak terdaftar sebagai wajib pajak. Dengan begitu, para istri yang NPWP-nya menginduk ke suami tetap bisa masuk ke ekosistem Coretax DJP.
Berikut adalah langkah-langkah agar seorang istri tetap bisa memiliki akses Coretax DJP. Pertama, pastikan data istri sudah terdaftar pada data family tax unit NPWP suami, tujuannya agar nomor induk kependudukan (NIK) istri dapat terbaca di ekosistem Coretax DJP. Selanjutnya, daftarkan NIK istri pada menu “hanya registrasi” atau “register only” di Coretax DJP. Setelah NIK terdaftar, jangan lupa untuk mengajukan permintaan kode otorisasi/sertifikat elektronik di Coretax DJP.
Wanita Berhak Menjadi Penambah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Suami
PTKP merupakan jumlah penghasilan wajib pajak pribadi yang tidak dikenai pajak penghasilan. Ketentuan mengenai PTKP diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Terdapat beberapa jenis PTKP, di antaranya Tidak Kawin (TK), Kawin (K), dan Kawin dengan penghasilan istri digabung (K/I). Dalam ketentuan pemotongan PPh Pasal 21, PTKP seorang wanita akan selalu Tidak Kawin (TK) bahkan meskipun wanita tersebut telah menikah.
Seringkali kita bingung dalam membedakan PTKP status (K) dan (K/I). Mudahnya, status (K) digunakan ketika istri tidak bekerja, istri memiliki penghasilan final, atau bekerja hanya dari satu pemberi kerja. Namun, ketika penghasilan dari wanita diperhitungkan dalam pelaporan SPT Tahunan yang sama dengan penghasilan suaminya, status PTKP pada SPT Tahunannya adalah K/I.
Ketiga hal di atas merupakan contoh dari hak seorang wanita dalam perpajakan. Sejalan dengan hak yang diterima, jangan lupa ada kewajiban yang harus ditunaikan juga. Mari kita bersama menjadi Kartini masa kini, sesuai peran dan kapasitas diri kita sendiri. Perempuan Indonesia, kalian hebat!
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 45 kali dilihat